Jumat, 31 Mei 2013

Pekerja



Bekerja adalah salah satu kegitan yang lumrah dilakukan oleh pekerja urban. 

Ada yang tidak setuju dengan pendapat ini? Kalau ada, berarti akan siap-siap mendapat stigma yang kurang baik dari masyarakat. Bekerja itu aktivitas untuk mendapatkan uang. Titik. Pendapat kolot mengatakan bahwa bekerja adalah memakai kemeja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Pendapat modern mengatakan, bekerja adalah love what you do and do what your love. Money will follow.

Dulu saya mendefinisikan orang yang bekerja adalah seperti ayah saya. Harus berangkat jam sekian dan pulang jam sekian. Menggunakan pakaian rapi dan sopan, ada bau yang wangi, dan menenteng tas.
Dulu, saya melihat orang bekerja adalah orang-orang yang sudah berada dalam “fase selanjutnya”. Dan jujur, saya merasa ngeri jika harus berada di fase itu. Pikir saya, itu pasti memusingkan. 

Entah seperti apa ceritanya, bagaimana awal mulanya, apa motivasinya, saya pun lupa. Tau-tau  saya sudah menjadi seorang pekerja. Ya.. pekerja, orang yang bekerja. Hingga saya erat kaitannya dengan “wah, ipeh nih, wanita karir”. Kenapa orang mengatakan demikian ya? orang jelas-jelas, saya inginnya jadi wanita yang setia mendampingi lelaki saya. Hehe.

Lantas setelah saya dewasa, apa yang berubah dari definisi saya tentang bekerja? Tidak banyak! Yang berubah hanya soal penampilan, selebihnya sama. Bekerja itu ya harus datang jam sekian dan pulang jam sekian. Justru malah ketika sudah bekerja, saya malah berkenalan dengan tanggung jawab dan tekanan! Sesuatu yang tidak sama sekali terfikir sewaktu kecil. Feeling saya sewaktu kecil ternyata benar. Bekerja itu memusingkan.

Saya masyarakat urban dan saya bekerja. Malah pekerjaan saya merangkul dua definisi tentang bekerja yang saya singgung di awal. Saya menjadi pekerja dengan definisi kolot yang menjadikan saya berteman dekat dengan deadline, lembur, objective, market, ide, insight, visual, eksekusi, dan REVISI! Dan definisi modern dimana saya berteman dengan microfon, lagu, berbicara, berinteraksi dan hobi.

Saya masyarakat urban, bekerja, dan menjadi buruh industri.

Tapi biarlah… menjadi buruh tak selamanya buruk kok. Setidaknya, saya punya kontribusi untuk tidak menambah panjang daftar pengangguran di Indonesia.

Apa yang selalu ditunggu dari seorang yang bekerja? Gaji!

Orang bijak pernah berkata bahwa : waktu akan mencuri semua hal di hidupmu, untuk itu berilah hidupmu waktu. Untuk itu mari tinggalkan sejenak.

Objective harus selalu dicari,

Klien akan banyak bertanya,

Market akan selalu berubah,

Jadwal siaran akan selalu menunggu,

Revisi akan selalu ada,

Deadline akan selalu menghadang.

Sudahlah ya. Ini yang namanya bekerja, ini namanya yang menjadi buruh industri.

Sudahlah, toh besok akhir pekan dan hari ini rekening sudah berubah angkanya semakin gemuk, mari menutup jumat ini, mari kita rehat!
Mari lepaskan penat dengan rehat. Karena kita butuh waras untuk bisa bekerja keras.

NB : selamat berakhir pekan untuk semua pekerja yang akan menikmati akhir pekan dengan gaji yang telah ada di tangan.

#17
#31harimenulis
#bagian2

Pada secangkir kopi, kita menyerah


Satu

Aku hanya tak habis pikir pada pertengkaran ini. Satu, apa yang coba kamu utarakan ini sangat tidak masuk akal. Dua, ini bukan waktu yang tepat untuk kita bertengkar. Tak bisakah kamu mencari waktu yang ideal untuk kita bertengkar? Ataukan kamu merasa hari ini hari yang tepat? Hey, Ini hari dimana satu mimpi besarku telah tercapai. Dan kamu menodainya dengan mengajakku bertengkar. 

Tapi ya begitulah kamu.. keras kepalas, idealis, random!

“Mungkin kamu bisa bebas untuk menggapai semua mimpi-mimpimu tanpa aku”

Kamu menyeret mimpi-mimpiku sebagai tersangka dalam pertengkaran pertama kita. Dimana rasionalnya kamu mempermasalahkan itu? Setelah sebelumnya kita berjalan beriringan dengan malah memimpikan banyak mimpi untuk dapat kita gabungkan. Tapi ini, justru saat aku menggandengmu dalam satu mimpiku yang sudah terlaksana, kamu malah gamang..
Dasar kamu.

Dua

Entah aku yang seharusnya berbangga hati karena bisa memenangkan hatimu atau kamu yang seharusnya berbangga karena telah menyeruduk puluhan hati lain dan menjadi raja di hatiku. Atau justru kita yang sama-sama beruntung karena telah bertemu?

Ah.. aku tak pernah repot memikirkan ini. Biarkan saja orang lain yang repot menebak siapa yang beruntung mendapatkan siapa. Bagiku yang terpenting saat ini adalah, aku siap membagi semua semestaku bersamamu.
Mereka bilang kita dua orang yang berbeda dunia. Memang iya kan? justru bagus ketika dua dunia yang sempurna berbeda, menyatu. Itu artinya kita bisa membuat satu dunia yang besar, dengan kamu dan aku sebagai raja dan ratunya. Menyenangkan bukan?

Kamu dengan panggung, aku dengan leptop
Kamu dengan santai, aku dengan terburu
Kamu dengan penggemar, aku dengan klien
Kamu dengan lokalitas, aku dengan modernitas

Lebih banyak yang membedakan ketimbang yang mempersatukan. Tapi lihatlah kita, selalu ada canda di setiap sisi bedanya hidup hidup kita kan? 

Ketika jam 1 dini hari aku baru pulang karena harus mengirim deadline kerjaan, kamu baru pulang karena menghibur ratusan orang dalam pertunjukan musik. Lalu kita bertemu untuk makan soto sampah dan menertawakan kejadian menyebalkan hari ini.

Ketika aku harus membicarakan mengenai bagaimana liciknya industri komersil ini, kamu akan banyak berbicara tentang industri lokalitas. Dan ini akan berujung pada khayalan aneh kita berdua.

Begitu seterusnya. Dan aku tak ingin berhenti.

Jadikan ini selamanya…

Tiga

 Pada sebuah cangkir kopi ini kita akan menyerah..

“kamu bertemu aku, di usiamu yang telah dua puluh sekian. Puluhan tahun, sebelum kita saling mengenal, kamu telah bermimpi. Kamu telah menjadi manusia yang aku lihat hari ini”

Kamu diam

“pun aku, kamu mengenalku saat puluhan tahun aku terbentuk. Bahkan jauh sebelum aku mengenalmu, mimpi-mimpuku sudah terbentuk”

Kamu masih diam

“Jadi apa yang salah sekarang? Kenapa aku harus mengejar mimpi-mimpiku sendiri?”

Kamu tetap saja diam

“padahal, dalam mimpiku, aku mau kamu berlari bersama untuk semua mimpiku. Itu juga bagian dari mimpiku, jadi apa yang salah?”

Pada sore dengan segelas kopi didepan kita, kamu diam dengan pandangan menerawang. Di sebuah coffe shop, dengan alunan music jazz yang tak begitu aku pahami. Aku ikut hanyut dalam diammu. 

5 menit..

10 menit..

Dan tawaku berderai
Disusul tawamu.

Cangkir kopi ini menjadi saksi pada ketakukan terdalam dari hati seorang manusia. Alunan music jazz ini menjadi pengiring yang tepat pada ketidakmampuan seseorang untuk menyatakan.
Pada secangkir kopi ini kita akan menyerah.

“aku, hanya takut kehilangan kamu, cantik”


Itu tidak akan.
Itu tidak akan pernah terjadi.
Nanti kita akan diskusikan ini dengan waktu.

#16
#31harimenulis
#bagian2


Rabu, 29 Mei 2013

Kenapa ya Tuhan?

"Aku bergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku" (HR Bukhari)

Siang tadi, seorang teman siaran saya (yang kebetulan beragama kristen) mengirimkan pesan di Blackberry saya. Kurang lebih seperti ini isinya :

Aku (A): Tuhan, bolehkah aku bertanya PadaMU?
Tuhan (T): Tentu, hambaku. Silahkan
A: Tapi janji ya, Engkau takkan marah.
T: Ya, AKU janji.
A: Knapa KAU izinkan banyak HAL BURUK t'jadi padaku hari ini?
T: Apa Maksudmu?
A: Aku bangun terlambat.
T: Ya., Trus,
A: Mobilku mogok & butuh waktu lama tuk menyala.
T: Oke. Trus,
A: Roti yg kupesan dibuat tak seperti pesananku, hingga kumalas memakannya.
T: Hmm. Trus,
A: Dijalan pulang, HPku tiba2 mati saat aku b'bicara bisnis besar.
T: Benar. Trus,
A: Dan akhirnya, saat kusampai rumah, aku hanya ingin sedikit b'santai dg mesin pijat refleksi yg baru kubeli, tapi MATI! Knapa Tak ada yg LANCAR hari ini?
T: Biar KUperjelas HambaKU, ada malaikat kematian pagi tadi, dan AKU mengirimkan malaikatKU tuk b'perang melawannya agar tak ada hal buruk t'jadi padamu. KUbiarkan terTIDUR disaat itu.
A: Oh, tapi...
T: AKU tak biarkan mobilmu menyala TEPAT WAKTU karna ada pengemudi mabuk lewat didepan jalan & akan MENABRAKmu.
A: (merunduk)
T: Pembuat burgermu sedang sakit, AKU tak ingin kau tertular, oleh karenanya KUbuatnya salah bekerja.
A: (tarik nafas)
T: HPmu KUbuat mati karna mereka PENIPU, KUtak mungkin biarkanmu tertipu. Lagipula kan kacaukan KONSENTRASImu dlm mengemudi bila ada yg menghubungimu kala HP menyala.
A: (mataku berkaca-kaca) aku mengerti Tuhan
T: Soal mesin pijat refleksi, KUtau kau blm sempat beli voucher listrik, bila mesin itu nyalakan maka ambil banyak listrikmu, KU yakin kamu tak ingin berada dlm kegelapan.
A: (menangis tersedu) Maafkanku Tuhan.
T: Tak apa, tak perlu meminta maaf. Belajarlah tuk percaya PADAKU.

Awalnya saya malas membaca, namun akhirnya saya membaca sampai selesai dan mengucapkan terimakasih pada veni yang telah mengirimkan pesan itu.
Saya sadar, pesan itu adalah analogi yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi saya saat ini.

Inilah yang kini tengah terjadi pada saya. Bahwa semakin hari, saya semakin yakin dan percaya bahwa tak ada satupun hal didunia ini yang terjadi tanpa seijinNya. Bergeraknya kuman satu sentimeter saja, tak ada yang luput dari ijinNya. Apalagi hidup saya? Pasti sudah tertata rapi olehNya
Sekarang saya semakin yakin dan percaya bahwa, jikapun ada hal buruk yang terjadi pada hidup saya, ya karena itu diijinkan terjadi, untuk sebuah makna yang saya yakin baik.

Ya contohnya malam ini, sebuah email masuk dan membuat saya bersujud sambil berkata "Ya Allah.. terimakasih"

Sudahlah ya.. saya masih harus berkutat dengan pekerjaan di srengenge. Hap!

#15
#31harimenulis
#bagian2

© RIWAYAT
Maira Gall