Minggu, 31 Mei 2015

Bait Pertama

Kemarin saya mendapat free access untuk melihat Sheila on 7 manggung di salah satu kampus di Yogyakarta. Well, itu bukan kali pertama saya melihat Sheila On 7 dan karenanya, saya tidak begitu euforia. Tebakan saya, mereka akan membawakan song list yang itu-itu lagi.

Dan saya benar!

Tapi bukan itu yang mengganggu saya, yang sedikit mengusik saya adalah ketika saya mendengar sepenggal lagu dari album musim yang baik dinyanyikan oleh Om Duta semalam. Kurang lebih liriknya begini, “Please Baby say, you love me too…”. Saya hanya bisa melongo loh dengernya. Itu beneran tuh liriknya Sheila begitu?

Saya memang bukan pengamat musik, saya hanya penyiar yang sudah siaran selama hampir 7 tahun. Jadi maaf kalau kuping saya belum peka untuk urusan musik. Pun belum jelas apakah saya masuk dalam katagori Sheila Gank atau bukan, tapi yang jelas, Sheila on 7 adalah band yang saya masukan ke dalam ucapan terimakasih saya di skripsi. Itu saking seringnya saya mendengar lagu-lagu Sheila. Bahkan saya memasukan erros Chandra sebagai salah satu penulis lirik favorite saya di Indonesia. Dengan background saya yang masih ecek-ecek ini, tentulah saya tidak qualified untuk menulis review untuk band sekaliber Sheila on 7. Hence, jangan masukan pendapat saya ini sebagai pendapat professional ya, saya ini sedang mbacot.

Oke, kembali lagi ke konser. Alhasil, sepanjang konser, saya menyadari bahwa saya adalah penggemar Sheila yang posesif. Saya ternyata tidak bisa terima ketika mereka tidak lagi membuat lagu-lagu klasik macam dahulu kala. Ekspektasi saya, Sheila akan tetap membuat lagu dengan lirik-lirik seperti ini:

“Seakan-akanlah kau tetap disini….” Dari lagu last pretence
“Kau kemasi kasih sayangmu, bergegas ambil langkah sendu” dari lagu Berai
“Tetes tatapmu, iringi tanyaku..” dari lagu tanyaku

Itulah mengapa saya merasa sedih karena kehilangan greget Sheila On 7. Atau mungkin ini saatnya pasrah ketika akhirnya Sheila on 7 pada akhirnya harus mengikuti perkembangan jaman (atau kemauan label, atau Mas Erros sudah engga galau asamara lagi) untuk membuat musik yang 'lebih anak sekarang'. Entahlah.

Tapi ini tidak hanya terjadi pada Sheila On 7 saja, ini juga terjadi pada Peterpan. Kemana Ariel sang maestro lirik itu?
Saat Noah akan rilis, saya salah satu orang yang setia menunggu. Begini-begini saya ini penggemar Ariel loh. Tapi ketika Noah keluar dengan hits pertama dengan lirik yang “Karna separuh aku, dirimu…”, saya sedih. Kemana Ariel yang menciptakan lirik “Coba bertanya pada manusia tak ada jawabnya, aku bertanya pada tua, langit tak mendengar”. Di telinga saya, Peterpan bukanlah Noah. Jadi maaf ya bang Ariel, saya lebih sering memutar lagu-lagu Peterpan ketimbang Noah.

Saya menempatkan lirik sebagai komponen yang penting dalam sebuah lagu.
Jujur, sulit bagi saya mencintai musik Indonesia. Mereka yang mendapat atensi saya adalah mereka yang sangup menciptakan lirik dengan diksi yang seksi. Itu kenapa, saat ini maliq and d’essential masih jadi kesayangan hati.

Liriknya bikin senyum-senyum “Coba bayangkan sejenak, sepuluh tahun lagi, hidupmu. Coba bayangkan sejenak, misalkan ada aku, yang menemani hari, demi hari yang tak terhitung, misalkan itu aku yang terakhir untukmu, untuk itu kan kupersembahkan, Himalaya….”

Tapi ini bukan sekedar lirik. Saya melihat mereka mencoba merepresestasikan kondisi percintaan anak jaman sekarang melalu lagu terbaru mereka, yang mana, buat saya itu terdengar sangat menye-menye. Apakah perlu band sebesar Sheila On 7 atau Noah, berkutat di lagu cinta standar? Saya yakin seyakin-yakinnya, definisi mereka tentang cinta pasti lebih dalam. Kemana mereka yang bisa menangkap cinta dengan pandangan yang berbeda?
Ada apa dengan mereka?

Lirik bukan hal yang bisa disepelekan. Jika nada adalah kurir, maka lirik adalah pesananya. Jadi terletak di liriknyalah semua pesan dan curhatan hati itu.
Lirik yang baik akan mengantarkan pendegar pada imajinasi. Dan karena imajinasi itu terletak di kepala, lirik yang baik akan membuat sebuah lagu menjadi lebih tahan lama berada di pikiran, dan di hati tentunya.

Itu hanya sekilas pandangan saya tentang Sheila on 7. Lupakan sajalah. Toh bagaimanpun juga, saya selalu terhibur melihat Sheila On 7. Apalagi bonusnya mendengar Om Duta berkata "Piye sih?". Ah lelaki dari Jogja itu emang seksi ya... #eh

Sambil kita kenang kembali saat mereka punya lirik dahsyat yang membuat saya rela lompat dari atas pesawat, dalam lagunya yang berjudul bait pertama.
"Di sini ku menggenggam, takdir di tanganku. Aku coba menahan tak menangisimu. Di bait pertama.Di bait pertamaaaa..."

Yak semuaaaa~

"berjalaaaaaan... hidupku, tanpamu...."



#31harimenulis
#bonus

Sabtu, 30 Mei 2015

Limbung



Sebelah mataku, yang mampu melihat, bercak adalah sebuah warna-warna mempesona…
Tapi sebelah mataku yang lain menyadari, gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang.
(Efek Rumah Kaca – sebelah mata)

Langit tidak pernah sekelam itu. Itulah kali pertama dan terakhir aku melihat langit sekelam itu. Kami masuk ke rumah masing-masing dengan membawa serta ketakukan. Aku masih ingat dengan jelas saat-saat itu. Itu bulan Puasa, bulan Ramadhan, sudah sepatutnya kami berkonsentrasi untuk beribadah pada Allah. Itu bulan suci. Itu bulan suci, aku ingat betul itu adalah bulan suci, di tahun 1999.

Kami diusik. Kedamaian kami terusik.

“Keluar… semua yang Islam keluar!”

Pintu rumahku digedor. 

“Semua muslim, sekarang juga pergi ke Gereja. Sekarang!” Begitu kata mereka.

Aku tidak pasrah. Kutanyai dulu mengapa kami harus pergi ke Gereja? Katanya, mereka akan menjaga kami. Memastikan kami tetap aman dari Pasukan Merah.

Oh Allah, ada apa ini? Mengapa ini terjadi? Kami bersaudara ya Allah. Tolonglah kami. Itu doaku. Itu adalah doaku yang tidak terjawab.

“Ayo cepaaat! Semua muslim ke gerejaaaaaa!”

Semua berbondong-bondong ke Gereja. Semuanya. 

Rasanya aku tidak ingin pergi, hatiku merasa bahwa ini adalah hal yang janggal. Mengapa kami harus pergi dan bersembunyi di Gereja, sementara kami punya Masjid?
Andai bisa aku mengulang waktu, aku akan memilih membawa seluruh keluargaku pergi ke hutan dan kabur. 

“Semua muslim, cepaaat ke gerejaaaa!”

Kami tergesa-gesa meninggalkan rumah menuju gereja. Aku, suamiku, anak remajaku, dan anak bungsuku. Kami lari kesana. Dan sesampainya di sana, benar adanya, hanya ada muslim di gereja itu.  

“Kalian disini saja ya. Kami akan pastikan kalian aman” begitu kata tetanggaku yang bukan muslim, dan kemudian meninggalkan kami di gereja.

Dari dalam gereja, kami hanya mampu berdoa, serambi mendengar bom dan tembakan terjadi di luar. Berdetum-detum hebat tiada henti. Aku memeluk anakku kuat-kuat. Ya Allah lindungi kami. Lindungilah semua muslim disini. 

Waktu terasa sangat mencekam dan lama….

Sangat lama…

Hingga kemudian, kami tak lagi mendegar tembakan dan bom. 

Dan disaat itulah kejanggalan itu terjadi.

Kami terkunci!
Kami terkunci di dalam gereja!

Kami meronta-ronta, berteriak-teriak, tapi tak ada satupun yang mendengar. Kemana mereka, kemana?
Para lelaki mencoba untuk keluar melalui jendea, beberapa dari kami membantu mendobrak pintu keluar.

Tapi terlambat! Semua terlambat!

Mereka lebih siap. Kami ditipu. Kami ditipu.


Aku kehilangan semuanya malam itu. Semuanya, kecuali satu hal: Kenangan saat anaku terjatuh dari atap gereja dan dipotong-potong, dan saat suamiku dibunuh.

Hanya itu yang tersisa. Hanya itu. 

Itu yang menemani hingga aku renta kini.


#31harimenulis
#6-31

Jumat, 29 Mei 2015

Rahasia


Diantara semua warna, hanya hitam yang tidak memiliki pilihan. Hitam ya hitam. Tidak ada hitam dongker, hitam tosca, hitam tua, hitam muda, hitam cerah, atau pilihan hitam lainnya. Hitam itu warna sederhana. Seperti sederhanya rahasia.


Kini aku sadar mengapa sesuatu itu disebut rahasia. Karena itu hitam. Hitam ingin dijaga agar tetap hitam. Ada sesuatu yang gelap disana. Ada misteri dibaliknya. 

Ini sama seperti saat kita sedang asik-asiknya ngobrol di malam hari bersama beberapa teman, dan tetiba PET! mati lampu. Reflek kita akan mencari-cari dimana lilin atau korek. Sambil meraba-raba, kita tak akan sadar bahwa selangkah lagi ada meja yang akan kita tabrak, ada gelas yang akan akan kita senggol, dan ternyata sepasang teman kita tengah berciuman.
Semua yang terjadi dalam kondisi gelap adalah tentang ketidaktahuan. Itulah esensi rahasia.

Satu-satunya penyingkap gelap adalah cahaya. Itulah mengapa Tuhan itu Tuhan dan hanya Dia yang mengetahui rahasia-rahasia. Tak peduli segelap apapun, setersembunyi apapun, serahasia apapun, Dia pasti tau. Karena Dialah Cahaya. 

Well, semua orang pasti suka bila mendapatkan hadiah, tapi tidak semua orang siap diberi kejutan. Untuk itu, beberapa dari kita lebih suka membiarkan yang gelap tetap gelap, tetap menjadi rahasia. Tapi sayangnya, rahasia dan kejutan akan datang sebagai sebuah pasangan. Tepat disaat kita menerima rahasia, tepat disaat itulah kita mendapatkan kejutan. 

Dan  disinilah kejutan itu.
Di Maluku!


Surprise, surprise!

#31harimenulis
#5-31

Kamis, 28 Mei 2015

Euforia


Kurasakan lagi euforia.
Seperti akan terjadi pesta kembang api. Meledak-ledak dengan warna-warni cahaya, dengan suara yang berdetum-detum.
Seperti gunung yang hendak meletus. Panas dan tak lama memuntahkan lahar dengan api yang mengkilat-kilat.
Seperti pertandingan basket pada babak akhir. Saat para pemandu sorak dan masing-masing suporter menyerukan dukungan pada masing-masing tim. Penuh tegang dan bising.

Jika hati bisa menjelma menjadi kejadian heboh apapun yang ia mau, akan kubiarkan saja. Biar ia menjelaskan sendiri ketegangan jenis apa yang sedang terjadi, saat bertemu denganmu.

Tapi cukup hati yang euforia, kita jangan.
Kita tidak akan menjadi sebentar yang meledak-ledak. Tidak juga hingar bingar yang sesaat.
Aku bilang tidak.
 

Kita, tak akan kubiarkan menjadi euforia.
Tidak akan.
Tidak akan pernah.

Selamanya.

#31harimenulis
#bonus

Rabu, 27 Mei 2015

Hukuman

Here's to all that we kissed, and to all that we missed. To the biggest mistakes, that we just wouldn't trade. Here's to us! (Halestrom)


Pagi ini saya tidak sengaja membaca berita tentang seorang Ayah, yang menarik anak lelakinya bak anjing, karena si anak selalu bermain di luar dan  jarang belajar. Kata si Ayah setelah ditangkap polisi adalah, "Saya kehabisan kesabaran". Saya hanya mampu melongo.

Itukah alasan manusia boleh menghukum manusia lain? Karena dia adalah orang tua dan karena dia kehilangan kesabaran?

Pertanyaannya: Apakah kita layak dihukum dengan alasan-alasan artificial seperti itu?

Saya ingat sebuah hukuman yang pernah saya terima waktu saya masih SD. Saya ingat betul kesalahan saya apa. Saya menghilangkan gunting. Iya, hanya gunting. Bayangkan! Gegara itu, saya dihukum oleh mama untuk membeli gunting baru dengan memotong uang saku saya. Jadi saya harus menabung semua uang jajan saya yang kala itu masih 500 rupiah hingga bisa membeli gunting baru yang seharga 3.000 perak.
Masalahnya, yang hingga detik ini saya ingat bukanlah disiplinnya, tapi omelan mama.

Saya pernah dihukum oleh ayah karena menghilangkan topi sekolah. Memang sih, itu kali kedua atau ketiga saya menghilangkan topi sekolah yang berwarna merah itu. Karenanya, saya dihukum untuk tidur di kamar pembantu semalaman. Ya walaupun pada akhirnya ayah saya engga tega, dan menggendong saya diam-diam kembali ke kamar. Tapi tetap saja itu bentuk hukuman.
Hanya saja, hingga kini yang saya ingat adalah perasaan takutnya, bukan esensi hukumannya.

Mungkin alasan orang tua menghukum saya adalah supaya saya menjadi lebih disiplin. Tapi senyatanya bukan itu yang saya ingat. Merasa bersalahkah orang tua saya, karena mereka gagal memberikan pesan dari sebuah hukuman?
Jadi ketika saya membaca berita itu, saya tidak habis membayangkan apa jadinya anak itu ketika dewasa? Dia bisa jadi diktator hebat hanya karena hukuman itu. Saya bisa paham, mungkin si Ayah lelah dan dongkol anaknya selalu bermain. Tapi siapa yang bisa memberikan garansi bahwa hukuman itu akan membuatnya belajar sesuatu? Kalau akhirnya si anak dendam, bagaimana?

Ini membuat saya berfikir, apakah semua kesalahan akan selalu berjodoh dengan hukuman?
Kalau setiap benar harus melalui kesalahan, mengapa setiap salah harus melalui hukuman?

Rasa-rasanya tidak ada yang bisa kita lakukan dengan urusan hukuman ini. Ironisnya, kita tidak membutuhkan orang lain untuk menghukum. Kitalah yang mengambil inisiatif untuk menghukum diri kita sendiri, dan hidup bersalah seumur hidup kita. Beberapa orang bahkan merasa lebih berhak dihukum ketimbang membiarkan orang lain dihukum. Beberapa bahkan menjadikan hukuman sebagai tumbal. Well done, people!

Apalagi yang mau dikata? Toh dunia ini memang gudangnya hukuman. Manusianya juga senang-senang saja menjadi hakim bagi orang lain dan dirinya sendiri.
Mungkin ini adalah cara Tuhan meningatkan bahwa kita di sini tak lebih karena kesalahan yang dilakukan Adam dan Hawa.

Sudahlah, terima saja, dunia dan seisinya adalah hukuman. Begitu garis takdirNya.






#31harimenulis
#bonus

Selasa, 26 Mei 2015

Jatuh Cinta

"Bila kau jatuh cinta katakanlah jangan buat sia-sia..." (HiVi)


Teman saya sedang jatuh cinta. Dan benar mitos bahwa cinta itu tidak ada logika. Seberapa keras saya wanti-wanti agar dia tidak terlalu berekspektasi, sepertinya percuma. Orang yang jatuh cinta itu mirip wanita yang sedang datang bulan. Perkataannya selalu benar. Kalau sudah begini, kita hanya mampu berdoa agar mereka sehat selalu. Mereka yang jatuh cinta itu kadar logikanya minus. Berani taruhan, diminta mati demi pasangan juga pasti bersedia. Ironisnya, mereka jadi overthinking. Belum juga melakukan aksi sudah berfikir tentang reaksi. Memalukan Newton saja!

Sebagai teman yang baik, saya hanya mampu menemeninya bercerita. Hanya itu yang bisa saya lakukan.

Biarkan saja insan yang sedang kasmaran itu mabuk serambi berharap mereka tidak mabuk ekspektasi.


Aku jahat ih :(


#31harimenulis
#bonus

Asal-Usul

"While staring at the moon and the sun, just trying to remember where we came from" (Phillip Phillips)

Kalau bertemu orang baru, pertanyaan basa-basi kedua setelah menanyakan nama adalah pertanyaan: “Aslinya mana?”. Pertanyaan itu seakan menjelaskan bahwa kita ini pasti lahir dengan membawa identitas kesukuan. Padahal kan tidak semua orang Indonesia lahir dengan suku bangsa yang jelas. Belum lagi setelah menjawab pertanyaan "aslinya mana?" kita dipaksa mendengar komentar yang berkaitan dengan stereotip atau logat daerah.

“Aslinya dari mana?” 
“Jawa” 
“Ooh wong jowo” dengan logat jawa yang di medok-medokin 

“Aslinya mana?” 
“Tegal” 
“Ooh.. kepriben kabarek” Dengan aksen ngapak 

“Aslinya dari mana?” 
“kalimantan” 
“….” 
“Kok diem?” 
“Tapi situ engga makan orang kan?” 
"...."

Hingga kinipun, aku tak kunjung mengerti maksud dan tujuan dari pertanyaan itu apa. Atau mungkin akunya saja yang masih kesulitan memahami arti dari pertanyaan "Aslinya mana?"
Lagipula apa yang membuat kita bisa mengatakan bahwa kita ini orang dari X, atau asalnya dari Y? Apakah sebatas lahir di sana sudah cukup? Atau kita harus beranak pinak dulu disana? Atau bagaimana sih? 
Saat aku kecil, Ibu selalu berpesan “Re, kalau ditanya sama orang, Re orang mana, jawabnya orang Sunda ya. Inget-inget”. Hingga kini, perkataan ibu seperti menjadi doktrin. Kemanapun dan dimanapun aku ditanya tentang asal-usulku, maka aku akan lantang menjawab “Saya dari Sunda” dan jawaban itu akan dibalas dengan “Sundanya mana?” “Sukabumi!”.

Aku sendiri tak pernah bertanya “Eh, kamu orang mana?” kepada siapapun yang aku temui. Aku punya dua alasan untuk ini. Pertama, aku tak mau membuat orang itu harus berfikir tentang asal-usulnya. Kedua, karena jujur, aku tak suka ditanya begitu. 
Sadarkah mereka, bahwa beberapa orang mencoba untuk mengubur dalam-dalam akar tempat ia tumbuh. Mereka ingin dikenal di tempat mereka saat ini, bukan masa lalu. Untuk itu, pertanyaan “Asli nya dari mana” bagi sebagian orang adalah pertanyaan setan yang akan memaksanya mengingat dari mana asalnya. 

Ditambah bagiku, pertanyaan asal-usul ini sangat sulit dijawab karena aku hanya bayi yang numpang lahir disana. Pun ayahku tidak berasal dari sana. Lalu aku tidak tumbuh besar disana. Aku juga tidak mewarisi streotipe orang Sunda yang konon katanya putih dan matre itu. Jadi Sundaku itu sebatas menghormati pesan dari Ibu saja. Abal-abal. KW!

Walau begitu, tetap saja aku menghormati akar tempatku tumbuh.
Untuk itu aku pulang.
Pulang kampung bagiku adalah pulang ke Sukabumi dan mengunjungi Nini dan Abah yang kini semakin renta. 
Kota kecil bernama Sukabumi ini sepertinya mengalami stagnasi yang cukup konsisten. Seberapa lamanyapun aku absen mengunjungi kota ini, aku pasti akan tetap hafal jalannya. Mall atau tempat hang out anak muda juga tak banyak yang dibangun. Sukabumi ya begitu saja dari tahun ke tahun, kecuali masalah kenaikan jumlah pemotornya. 
Setiap kemari, aku hanya punya satu agenda wajib yang monoton, yaitu makan!
Aku tidak akan rela untuk absen untuk makan bubur ayam Bunut, kroket, cingcau hijau, bakso depan SMA 3, dan tentunya masakan nini. Oh satu lagi, aku akan mengikuti kebiasan Nini untuk melintas di depan rumah sakit bersalin bahagia dan mendengarnya berkata “Ini nih… rumah sakit, tempat kamu lahir".  Tak peduli berapa seringnya kami lewat, kalimat itu seperi mandatori, pasti akan terucap.
Sudahlah aku datang ke daerah asal, Nini menegaskan bangunan tempat aku lahir pula. Komplit. Ini memang perjalanan rekap sejarah.

Awalnya Nini dan Abah memiliki rumah seluas 3 hektar. Lengkap dengan kebun, lapangan mini, hingga tambak ikan. Komplit. Namun karena hal-hal yang aku tidak mengerti dan tak mau mengerti, rumah itu dijual. Kini Nini dan Abah tinggal di rumah yang lebih kecil di daerah dekat gunung Salak.Tapi mau dimanapun Abah dan Nini tinggal, aku selalu bahagia mengunjungi mereka. Walaupun, aku akan sulit mengelak dari beberapa pertanyaan klasik.

“Gimana atuh kerjaan? Lancar?” 
“Alhamdulilah Ni… Ini lagi sibuk muter-muter aja, buat ngerjain proyek” 
“Syukur atuh. Didoain ku nenek, sing damang nyak. Sholat teu boleh khilaf…” 
“Muhun…” 
“Ari Re udah punya jodoh belom?”

 Tuh kan?!

“Jangan lama-lama atuh, sebelum meninggal Nini mau dateng ya ke nikahan cucu tercinta” 
“Doain aja Ni…” 
“Insha Allah. Abis ini kemana lagi?” 
“Mau ke Maluku… doain sehat ya Ni…” 
“Didoain ku nenek, damang selalu Re…” 

Nini adalah orang ketiga yang paling paham tentang aku. Jika bukan karena permintaannya, aku pasti akan selalu lupa untuk pulang ke Sukabumi. Walau singkat, tapi aku bisa kembali bersilaturahmi dengan tante, aki, dan nini yang ternyata seperti mengisi baterai hati.  

Beginilah sensasi pulang ke tempat yang selalu ditanyakan orang "Aslinya mana?" ini. 
Seakan memberi pesan bahwa akar tempat kita tumbuh adalah tempat pulang kita yang sesungguhnya. 
Karena disitulah awal mula kita sebagai manusia. Tak peduli seberapa kuatnya kita melupakan, akar tetap saja akar!




#31harimenulis
#4-31

Senin, 25 Mei 2015

P untuk Perbedaan

Kalau dilihat teori pergerakan lempeng tektonik, awalnya kita ini hidup aman sentosa di sebuah daratan indah, besar, dan nyata bernama Pangea. Seakan ingin menguji ketangguhan hati para manusia di bumi, olehNya dipisahkanlah tanah lapang itu menjadi dua, Laurasia dan Gondwana. Tak puas akan perpisahan itu, lempeng-lempeng itu terus bergerak dan bergerak hingga Laurasia berkembang menjadi Eurasia, sedangkan Gondwana berkembang menjadi  lempeng Afrika, Amerika Selatan, dan Indo-Australia. Itulah cikal bakal perpisahan yang ada saat ini. Salahkan saja pergerakan lempeng yang membuat kita tercerai berai.

Papua juga bernasib sama. Mereka sendiri konon adalah keturunan Afrika yang karena pergerakan lempeng harus menerima suratan takdir untuk berada di Indonesia, dan menjadi minoritas. Kasian sebenarnya. Jika saja aku mampu, rasanya aku ingin mengembalikan mereka kepada leluhurnya. Ah, ternyata kisah putri yang terpisah itu nyata adanya.

Seorang teman sempat bertanya sebelum aku pergi ke sini, "Kenapa sih Papua engga merdeka aja? Kasian tau mereka..".
Aduh! Pertanyaan itu lagi. Itu pertanyaan yang paling sering aku dengar. Bosan juga lama-lama. Heran sebetulnya aku, mengapa kini rasanya semua pihak pasrah melepas Papua? Padahal di tahun 1961, Bapak tampan Sokarno kita tercinta itu, sudah berkoar-koar tentang TRIKORA. Tentang bagaimana mengembalikan Papua Barat. Jangan bilang lupa!

Obrolan tentang Papua akan semakin dramatis saat kita semua ingat bahwa Papua punya ladang emas. Akhirnya menjadi samar apa yang coba kita obrolkan tentang Papua. Sebenarnya, kita ini sedang membela masyarakat Papua atau emasnya?
Pelik!

Berhari-hari di sini, melakukan aktivitas sebagai antropolog, membuatku semakin menyadari betapa pentingnya mendengar.

Apakah selama ini kita pernah benar-benar mendengar Papua?

Aku sendiri melihat Papua seperti anak kecil yang polos dan banyak maunya. Membiarkan mereka merdeka sama seperti menelantarkan balita. Lihatlah mereka, masih asik mengunyah sirih pinang dan memakan Papeda atau ulat sagu. Merasa aman dan nyaman dengan berkebun dan tidur di rumah kayu tanpa listrik. Jika besok kita biarkan mereka merdeka, apakah lantas mereka akan tidur di real estate mentereng? Itukah yang diharapkan orang-orang yang ingin Papua merdeka? Agar tak lama setelah itu mereka menjadi kaya raya? Siapa yang menjual mimpi palsu itu?
Membuat mereka terlepas dari kebiasaan mabuk yang sudah melekat sejak jaman koloial saja sulit, apalagi membuat mereka mandiri sebagai negara.

Semua orang yang pernah mengunjungi Papua pasti setuju bahwa provinsi ini tertinggal. Tapi memburu-buru mereka agar sejajar dengan orang Jawa juga bukan cara yang tepat. Orang Jawa juga pernah mengalami kertertinggalan sebelum akhirnya sejumawa sekarang. Pun Papua yang kini tengah berproses. Coba lihat sekarang, apa jadinya saat mereka diarahkan menjadi modern? Mereka akhirnya timpang.

Ini seperti memaksa meraka masuk kelas akselerasi tanpa mengukur kemampuan mereka sebelumnya.

Aku hanya melihat satu kesalahan di sini, yaitu saat mereka diminta secepat kilat keluar dari kemiskinan dan kesengsaraan. Dengan tergopoh-gopoh dibentuklah lembaga-lembaga percepatan dengan tujuan membuat mereka segara kaya. Padahal mereka sendiri tidak paham apa itu miskin.

Terlepas dari itu, berada di Papua selalu membuat hatiku hangat. Melihat dan mendengar mimpi-mimpi mereka selalu jadi pengalaman yang tidak terlupa. Mimpi adalah barang mahal di sini. Tidak semua orang mampu bermimpi.

Dalam perjalanan pulang, aku kembali mengingat kejadian semalam. Saat aku berbincang dengan seorang pastur dibawah bintang-bintang. Sambil mendengar ombak, dan melihat bulan yang bulat sempurna, kami membicarakan banyak hal.
Itu akan menjadi salah satu malam yang layak dikenang.

Di ujung perjalanan di bumi cendrawasih, aku merasa berhutang pada Papua. Bumi dengan kekayaan yang melimpah-limpah ini pada akhirnya mengajarkanku bagaimana rasanya menjadi minoritas.  Menjadi satu-satunya Islam diantara Kristen atau Katolik. Menjadi putih di antara hitam. Menjadi sendiri diantara banyak. Menjadi pendatang diantara yang tetap.

Ternyata begini rasanya menghargai perbedaan.

Sayonara, P!
You'll be in my heart.
Always and always!

http://blog.crabb.com.au/recent-work/burnet-institute-in-papua-new-guinea/


***

"Re, pulang atuh ke Sukabumi. Nini kangen..."

#31harimenulis
#3-31 

Minggu, 24 Mei 2015

Toko buku

Rasanya seperti punya kerajaan sendiri saat berada di toko buku. Berjalan memasukinya, aku seperti seorang putri yang paling cantik sejagad raya.
Tak apa tersesat karena aku tau akan tersesat di surga.
Rutinitas klise yang selalu menyenangkan di lakukan. Berjalan dari satu rak ke rak lainnya.
Jongkok dan berlama-lama membaca sinopsisnya di belakang bukunya. Lalu memilih beberapa buku untuk dibawa ke kasir. Rasanya semua penat, semua stress, dan semua keluh teruarai dan tersebar di toko buku. Sungguh menyenangkan berlama-lama di toko buku.

Apalagi saat kita pergi kesana.
Kamu dan aku akan tersesat disana. Berjalan bersama-sama melewati buku-buku, mencium aromanya, memperhatikan sampulnya, dan saling menengok pilihan buku masing-masing.

"Kenapa buku itu?"
"Penasaran aja"

Kamu, aku, dan kerajaan buku kita. Diam tersesat, berlama-lama.
Mungkin kalau kita bisa tinggal di toko buku ini selamanya, kita akan seperti  sepasang buku tua yang berdebu, karena tak mau beranjak.



Psst, kamu menawan sekali jika tengah serius begitu.

#31harimenulis
#bonus

Sabtu, 23 Mei 2015

Yakin?

Hari ini masih dalam rangka absennya saya dalam menulis kisah perjalanan. Ugh mengingkari janji ternyata engga enak juga ya. Tuh kan benar, saya payah dalam urusan berjanji. Kzl!

Oke anyway, hari ini saya punya tugas yang lebih mulia karena saya harus menemani seorang teman yang datang ke Jogja. Konon kabarnya, dia sedang patah hati yang mendalam karena hubungannya kandas. Dengar-dengar alasannya adalah karena mereka tidak yakin atas hubungan mereka sendiri. Saat ini ia sedang dalam proses menenangkan diri. Bukan hal yang spekatakuler sih, tapi menemani orang yang sedang dalam proses penyembuhan itu memang selalu menjadi hiburan.

Selalu saya bilang pada mereka yang tengah mendayu-dayu pikirannya, bahwa patah hati itu ibarat imunisasi pada bayi. Walau sakit tapi manfaatnya jelas, yaitu membuat daya tahan tubuh menjadi kuat. Sewaktu saya bilang ini, seorang teman saya menjawab, "Harus dong kita patah hati? Harus banget?"

Hmmm...
Iya ya? Apakah patah hati itu suatu keharusan? Apakah itu satu-satunya cara membuat kita kuat?

Saya pernah patah hati dan pernah membuat orang patah hati. Ajaibnya, ketika saya patah hati saya selalu mempertanyakan 'kenapa', namun jika saya membuat orang lain patah hati, saya akan diam saja. Hmm.. kenapa ya?

Saya jadi ingat tentang seorang lelaki yang pernah mendekati saya. Dalam usahanya mendekati saya dia pernah bertanya, "Peh, kamu tuh nyari cowo kayak gimana sih?" Ini pertanyaan jebakan. Karena apapun jawaban yang akan saya jawab pasti dia akan menjawab dengan jawaban tentang dirinya sendiri. Maka saya putuskan untuk bertemu langsung dan menjawab pertanyaannya.


Singkat cerita, dia patah hati karna saya tidak bisa menerima cintanya. Seorang teman saya, yang juga temannya bertanya
"Kenapa sih Peh? Dia kurang apa coba?"
Saya jawab "Gimana bisa aku ngejalin hubungan sama orang, yang bahkan engga yakin kalau aku bisa yakin sama dia?"
"engga ngerti!"
"gini loh... dia bahkan engga yakin, kalau aku bisa yakin sama dia. Dia coba yakinin aku, kalau dia itu lelaki yang baik"
"kamu ga suka diyakinin"
"Aku yang harus ngeyakinin diri aku sendiri, bukan dia"

Cinta itu seharusnya bukan tentang meyakinkan orang lain. Tapi meyakinkan diri sendiri. Banyak pasangan yang kandas ataupun hati yang patah karena alasan yakin-meyakinkan ini. Bagaimana caranya kita bisa meyakinkan orang lain, saat kitapun merasa tidak yakin? Bukankah jadinya kita melakukan dua hal yang berbeda dalam waktu yang sama?. Belum selesai kita meyakinkan diri sendiri, kita sudah berusaha meyakinkan orang lain. Hubungan macam apa yang sekiranya akan terjadi dari proses seperti ini?

Itulah kenapa Sheila On 7 bernyanyi "Seberapa pantaskah kau untuk ku tunggu? Cukup tangguhkan dirimu untuk selalu ku andalkan? Sanggupkah kau menyakinkan disaat aku bimbang?"
Coba perhatikan liriknya. Lagu itu sebenarnya monolog, tentang seberapa pantasnya 'aku untuk menunggunya', bukan sebaliknya.

Patah hati itu lumrah. Alasan-alasannya yang kadang konyol.

Jadi apakah kita sedang patah hati? atau hanya sekedar gagal meyakinkan diri sendiri?




#31harimenulis
#bonus


Pada sebuah malam dengan mata yang belekan.

Jumat, 22 Mei 2015

Human Nature

"If They Say 'Why..? why..?' Tell 'Em That Is Human Nature" -Micheal Jackson-


Oke, mari rehat sebentar dari menulis cerita perjalanan panjang, yang proses meulisnya lebih ribet dari apa yang saya bayangkan. Huft.

Hari ini tetiba saya memutar semua lagu-lagu Micheal Jackson tanpa sebab. Dari mulai Smooth Criminal, Black and White, Billie Jean,  Beat it, They Don't Care About Us, P.Y.T, Rock With You, Man In The Mirror, sampai lagu Micheal Favorite saya: Human Nature.

Ngomong-ngomong soal Human Nature, saya bersyukur bahwa Human Nature itu tidak di daur ulang oleh siapapun. Saya engga akan rela kalau ada yang mencoba menyanyikan lagu itu kemudian mempunyai versi yang lebih baik dari Micheal. Saya akan tanpa ampun menudingnya sebatas mengambil cahaya dari bintang tanpa pernah menjadi bintangnya. Begitu juga kalau ternyata itu lebih buruk. Saya pasti akan menudingnya sebagai perusak lagu.
Syukur tidak ada yang berinisiatif, jadi saya aman dari dosa menggunjingkan orang lain.

Dimulai dari mendengarkan lagu-lagunya, saya lalu iseng bertanya ke beberapa teman "eh kenapa sih Micheal Jackson bisa sampe operasi pelastik trus jadi mengerikan begitu?"
Jawabannya ternyata beragam. Ada yang bilang dia berusaha keras agar diterima sebagai golongan kulit putih. Ada yang bilang juga kalau Micheal jackson itu punya penyakit fitiligo. Ada juga yang dengan cueknya bilang "Ya... biasalah artis", dan jawaban yang terakhir itu bikin saya ketawa keras. Dasar ih, sukanya memukul rata!

Bagi saya, apa yang dilakukan dan dinyanyikan Micheal Jackson itu sudah sangat mampu membuat ribuan jiwa termotivasi, tanpa perlu kita peduli seperti apa bentukan dari Micheal Jackson itu sendiri.
Jadi kenapa ya dia harus punya wajah yang aneh di akhir hayatnya? Why? Saya juga engga tau alasannya sampai sekarang.

Oh atau mungkin itulah yang namanya human nature. Mungkin pada dasarnya manusia itu adalah mahluk yang tidak akan pernah puas, banyak maunya, dan susah sekali bersyukur! Itu mungkin human nature.

Seumur hidup, kita akan selalu menggunakan human nature, no matter what!
Kita disakiti, kita sedih.
Kita lapar, kita makan.
Kita diserang, kita melawan.
Kita diejek, kita sakit hati.
Kita liat yang lebih baik, kita insecure.
Wajar kan? Kalau ada yang disakiti dan dia merasa bahagia, mungkin dia punya sifat angel nature.

Karena saya percaya Tuhan itu adil, saya pun percaya bahwa kita ini diciptakan dengan paketan sifat yang sama satu dan yang lainnya. Barulah di dunia sifat-sifat itu berkompetisi, menjadi unggul satu dengan lainnya. Kalau mau tau sifat mana yang dominan dalam diri kita, sayangnya, kita harus sabar menunggu hingga akhir.

Masalahnya adalah jika sudah sampai di akhir, dan kita sadar sifat mana yang lebih dominan tumbuh dalam diri kita, apakah kita akan merasa puas? atau justru akan menyesal?

Apakah Michael Jackson bahagia di akhir hayatnya? Atau Whitney Houston menikmati apa yang pernah dia miliki? Saya tidak tahu. Satu yang saya tahu, human nature bisa sangat mematikan jika tidak dipergunakan dengan baik.
Jadi ini bukan semata-mata karena human nature yang kita miliki, lalu kita berkuasa penuh akan itu. Ini justru tentang bagaimana kita menggunakan human nature.

Bukankah kita masih ingat saat Micheal Jackson menyanyikan dengan syahdunya "Heal The World.. Make It A Better Place.. For You... And For Me... And The Entire Human Race.."

Jika demikian, bagaimana kita akan menggunakan human nature kita mulai saat ini? Itu pertanyaannya.

 

  
I miss you dear M.J

#31HariMenulis
#Bonus

Kamis, 21 Mei 2015

Laboratorium

Indonesia memang laboratorium manusia. Jika mau meneliti apa saja tentang manusia, tinggal datang kesini. Semuanya lengkap tersedia. Dari yang paling kaya hingga yang paling miskin. Dari yang paling pintar sampai yang berpura-pura pintar, semuanya ada.
Jika ini makanan, maka benarlah bahwa Indonesia adalah gado-gado.
Mengakui bahwa kita adalah bagian dari Indonesia, berarti mengakui ke gado-gadoan itu. Itulah mengapa Bhineka Tunggal Ika menjadi sangat sedap ketika diucapkan, mungkin karena inilah saus kacang yang jadi pengikat semua keragaman suku dan bangsa.

Tapi gado-gado tak melulu lengkap dan komplit sebagaimana adanya. Sama seperti kita ketika memesan gado-gado, kadang kita punya special request yang bikin ribet si penjual.
"Mas, engga pake telor ya",
"Mas, ketupatnya separo aja",
"Engga pake ketimun ya mas",
"Sayurnya dikit aja"
"Ga pedes mas. Ehh... pedes deh dikit. Dikit aja tapi"

See? Jadi konsep gado-gado itu sebetulnya bukan makanan mutlak, itu semua terserah bagaimana kita mau mengkastemnya.

Ya sama seperti Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Jika benar bahwa kita adalah penghuni tulen negeri ini, seharusnya kita memakan semua keragaman ini dengan lengkap, tapi berhubung kita ini penikmat gado-gado dengan special request. Jadi suka-suka kita dong bagaimana Indonesia itu. Ada yang merasa sangat Indonesia walau belum pernah keluar dari Pulau Jawa. Ada juga yang merasa sangat Indonesia karena sering membuat aksi-aksi sosial untuk Indonesia. Apapun itu, pokoknya jangan sampai lupa bumbu kacangnya alias Bhineka Tunggal Ika nya.

Apakah aku paham soal Indonesia? Entahlah. Tapi aku akan selalu tertarik dengan manusia-manusia di Indonesia. Untuk itulah aku di sini, tiba dengan selamat bahkan ketika matahari bahkan belum terlihat jelas. Aku tiba dengan penampilan yang masih sangat kacau. Mata yang masih setengah melek, mulut masih asam, dan hati masih belum sepenuhnya sadar.
Ini sih bukan pengalaman pertama aku ke sini. Beberapa tahun silam aku pernah kesini bersama dengan teman-teman kuliah. Kami dengan bangganya bisa mendarat di Bumi Cendrawasih untuk melakukan kegiatan paling seru, KKN atau Kuliah Kerja Nyata. Tapi ini pun tak kalah seru. Ada misi yang harus dituntaskan di sini. Sebagai Antropologis, pulang ke Indonesia sama halnya seperti berkutat di labolatorium bagi para ilmuwan. Jadi ini bukan dalam rangka diving di Raja Ampat atau mendaki pegunungan Jayawijaya. Ini dalam rangka bermain di labolatorium manusia.

"E.. Kakak Re, mobil su ada.."
"Oh iya. Kita pergi sekarang aja kak" Aku menjawab supir.

Papua pagi ini memesona seperti seharusnya. Cantik sekali. Bukit di kiri dipadu dengan danau Sentani di kanan adalah hiburan sempurna untuk mata. Danaunya bersih dan sangat biru, bukit batunya juga meliuk-liuk apik sepanjang jalan. Aku serasa disambut tarian alam.
Untung aku tiba di pagi hari, jadi masih bisa kebagian udara segarnya. Komplit sudah pagi ini.
Aku hirup dalam-dalam udara Papua yang berbeda ini, sebelum habis.

Here I am, Papua.






#31harimenulis
#2-31

Bandara

Selalu ada tujuan bagi setiap orang yang berpergian.
Pada setiap koper yang mereka tarik, ransel yang mereka pikul, tas tangan yang mereka genggam, disematkanlah tujuan pada setiap langkahnya. Masing-masing mempunyai tujuan yang berbeda. Beberapa diantaranya dengan lugas mengatakan pergi adalah proses untuk menemukan diri sendiri, tapi ada juga yang meniatkan pergi agar tau tempat untuk kembali. Aku sendiri tidak tahu pasti masuk ke golongan yang mana. Mungkin keduanya atau mungkin bukan keduanya.

Di setiap perjalanan, pastilah kita akan bersisipan dengan satu atau dua orang, atau bahkan lebih. Beberapa dari mereka mampu membuat kita terkenang, sisanya hanya sebagai pemanis saja. Tapi itulah yang aku nikmati dari setiap perjalanan, karena perjalanan bagiku berarti perjumpaan. Perkara nanti akan jadi masalah atau anugerah, yang jelas perjumpaan itu sendiri sudah menjadi berkah. 
Perjumpaan demi perjumpaan membuatku akhirnya memiliki sebuah hobi, yaitu menganalisis manusia. Rasanya bahagia sekali bisa melihat, mendengar, dan kemudian menganalisis manusia-manusia yang aku temui secara membabi buta. So if you ask me what my guilty plessure? I will tell you loudly, guessing human! Jahat engga sih?
Dan karena ruang tunggu bandara adalah rutinitas bagiku, maka disinilah lokasi paling strategis untuk menyalurkan hobi dan kesenanganku itu. Maka sembari menunggu, aku dengan senang hati melakukan observasi. Aku kadang suka lupa diri jika sudah begini. Pikiranku akan menjadi sangat liar dan tidak tahu diri. Aku bisa jadi sangat kejam didalam pikiran untuk menghakimi mereka. Jahat sih..

Seperti saat ini. Di hadapanku ada seorang lelaki berjas hitam dengan sepatu kulit, sibuk benar dia dengan handphonenya. Dari caranya berbicara di telfon dan lokasi tujuannya, aku bisa pastikan kalau dia adalah broker proyek. Hidupnya kemungkinan besar hanya didekasikan untuk meyakinkan orang-orang penting di pemerintahan agar mau memberinya proyek.Kasian aku dengan orang tipe ini.
Saat aku menolehkan kepala, aku melihat wanita menggunakan baju yang sangat tidak modis. Well, aku bukan fashion blogger tapi siapapun setuju bahwa jegging leopard warna coklat akan sangat aneh jika dipadukan dengan tank top warna ungu. Sepertinya dia hanya anak orang kaya baru yang baru mengalami pengalaman naik pesawat mentereng. Dari caranya berpakaian, caranya memegang handphone, dia berusaha keras menunjukan statusnya agar layak disebut kaya dan modern. Biasanya hanya orang-orang yang baru kenal dengan kekayaan saja yang mau bersikap begitu. Orang kaya betulan mana sudi sok pamer di ruang tunggu bandara?. Orang kaya beneran akan melenggang dengan anggunnya ke kelas bisnis tanpa perlu susah-susah show off.

“Panggilan terakhir untuk para penumpang dengan nomor penerbangan GA 456 tujuan Manokwari, diharapkan untuk segera naik ke pesawat melalui pintu nomor 5”

Oke cukup observasinya. 
Papua, aku datang lagi!

#31harimenulis
#1-31

Rabu, 20 Mei 2015

Prolog



Saya percaya, bahwa setiap hati adalah panggung. Dimana pertunjukan demi pertunjukan akan terjadi setiap detiknya. Ada kalanya pertunjukan itu tentang cerita klasik yang sering terulang, atau bisa juga tentang cerita modern dari sesuatu yang tengah ramai dibicarakan.

Keduanya sama, baik klasik atau modern, jika itu sudah dimainkan di hati maka akan selalu menarik untuk disimak.

Karena setiap hati adalah pangung, maka tak ada satupun yang mampu lari dari drama-dramanya.
Siapalah yang mampu menahan godaan menyaksikan pertunjukan dalam lakon klasik yang berjudul ‘patah hati’ atau ‘jatuh cinta’?
Saya sebegitu yakinnya bahwa siapapun tak akan mampu lari saat hatinya tengah memainkan drama jatuh cinta. Saat hatinya penuh bunga, terompet yang berbunyi nyaring, dan kembang api menyala.
Pun tak ada yang mampu pergi saat tetiba hatinya layu, sendu, dan biru saat drama dihatinya berubah menjadi drama patah hati.

Hati memang gudangnya pertunjukan.

Menulis adalah merayakan pertunjukan hati, agar tak hanya dinikmati oleh si pemain, tapi juga seluruh penonton.
Letupan-letupan yang terjadi dalam hati sama semaraknya seperti pertunjukan di broadway. Untuk itulah saya menulis.

***

Saya payah dalam urusan berjanji, tapi saya berniat untuk bisa menyuguhkan cerita yang berbeda tahun ini. Untuk itu, jika tidak ada kesibukan, saya ingin mengajak tuan dan puan berjalan-jalan bersama saya. Cukup duduk dan siapkan saja hati yang tenang, karna ini adalah waktu yang tepat untuk berpetualang!

Selamat datang kembali, 31 hari menulis!


#31harimenulis
#1
© RIWAYAT
Maira Gall