Rabu, 27 Mei 2015

Hukuman

Here's to all that we kissed, and to all that we missed. To the biggest mistakes, that we just wouldn't trade. Here's to us! (Halestrom)


Pagi ini saya tidak sengaja membaca berita tentang seorang Ayah, yang menarik anak lelakinya bak anjing, karena si anak selalu bermain di luar dan  jarang belajar. Kata si Ayah setelah ditangkap polisi adalah, "Saya kehabisan kesabaran". Saya hanya mampu melongo.

Itukah alasan manusia boleh menghukum manusia lain? Karena dia adalah orang tua dan karena dia kehilangan kesabaran?

Pertanyaannya: Apakah kita layak dihukum dengan alasan-alasan artificial seperti itu?

Saya ingat sebuah hukuman yang pernah saya terima waktu saya masih SD. Saya ingat betul kesalahan saya apa. Saya menghilangkan gunting. Iya, hanya gunting. Bayangkan! Gegara itu, saya dihukum oleh mama untuk membeli gunting baru dengan memotong uang saku saya. Jadi saya harus menabung semua uang jajan saya yang kala itu masih 500 rupiah hingga bisa membeli gunting baru yang seharga 3.000 perak.
Masalahnya, yang hingga detik ini saya ingat bukanlah disiplinnya, tapi omelan mama.

Saya pernah dihukum oleh ayah karena menghilangkan topi sekolah. Memang sih, itu kali kedua atau ketiga saya menghilangkan topi sekolah yang berwarna merah itu. Karenanya, saya dihukum untuk tidur di kamar pembantu semalaman. Ya walaupun pada akhirnya ayah saya engga tega, dan menggendong saya diam-diam kembali ke kamar. Tapi tetap saja itu bentuk hukuman.
Hanya saja, hingga kini yang saya ingat adalah perasaan takutnya, bukan esensi hukumannya.

Mungkin alasan orang tua menghukum saya adalah supaya saya menjadi lebih disiplin. Tapi senyatanya bukan itu yang saya ingat. Merasa bersalahkah orang tua saya, karena mereka gagal memberikan pesan dari sebuah hukuman?
Jadi ketika saya membaca berita itu, saya tidak habis membayangkan apa jadinya anak itu ketika dewasa? Dia bisa jadi diktator hebat hanya karena hukuman itu. Saya bisa paham, mungkin si Ayah lelah dan dongkol anaknya selalu bermain. Tapi siapa yang bisa memberikan garansi bahwa hukuman itu akan membuatnya belajar sesuatu? Kalau akhirnya si anak dendam, bagaimana?

Ini membuat saya berfikir, apakah semua kesalahan akan selalu berjodoh dengan hukuman?
Kalau setiap benar harus melalui kesalahan, mengapa setiap salah harus melalui hukuman?

Rasa-rasanya tidak ada yang bisa kita lakukan dengan urusan hukuman ini. Ironisnya, kita tidak membutuhkan orang lain untuk menghukum. Kitalah yang mengambil inisiatif untuk menghukum diri kita sendiri, dan hidup bersalah seumur hidup kita. Beberapa orang bahkan merasa lebih berhak dihukum ketimbang membiarkan orang lain dihukum. Beberapa bahkan menjadikan hukuman sebagai tumbal. Well done, people!

Apalagi yang mau dikata? Toh dunia ini memang gudangnya hukuman. Manusianya juga senang-senang saja menjadi hakim bagi orang lain dan dirinya sendiri.
Mungkin ini adalah cara Tuhan meningatkan bahwa kita di sini tak lebih karena kesalahan yang dilakukan Adam dan Hawa.

Sudahlah, terima saja, dunia dan seisinya adalah hukuman. Begitu garis takdirNya.






#31harimenulis
#bonus

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall