Sabtu, 30 Mei 2015

Limbung



Sebelah mataku, yang mampu melihat, bercak adalah sebuah warna-warna mempesona…
Tapi sebelah mataku yang lain menyadari, gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang.
(Efek Rumah Kaca – sebelah mata)

Langit tidak pernah sekelam itu. Itulah kali pertama dan terakhir aku melihat langit sekelam itu. Kami masuk ke rumah masing-masing dengan membawa serta ketakukan. Aku masih ingat dengan jelas saat-saat itu. Itu bulan Puasa, bulan Ramadhan, sudah sepatutnya kami berkonsentrasi untuk beribadah pada Allah. Itu bulan suci. Itu bulan suci, aku ingat betul itu adalah bulan suci, di tahun 1999.

Kami diusik. Kedamaian kami terusik.

“Keluar… semua yang Islam keluar!”

Pintu rumahku digedor. 

“Semua muslim, sekarang juga pergi ke Gereja. Sekarang!” Begitu kata mereka.

Aku tidak pasrah. Kutanyai dulu mengapa kami harus pergi ke Gereja? Katanya, mereka akan menjaga kami. Memastikan kami tetap aman dari Pasukan Merah.

Oh Allah, ada apa ini? Mengapa ini terjadi? Kami bersaudara ya Allah. Tolonglah kami. Itu doaku. Itu adalah doaku yang tidak terjawab.

“Ayo cepaaat! Semua muslim ke gerejaaaaaa!”

Semua berbondong-bondong ke Gereja. Semuanya. 

Rasanya aku tidak ingin pergi, hatiku merasa bahwa ini adalah hal yang janggal. Mengapa kami harus pergi dan bersembunyi di Gereja, sementara kami punya Masjid?
Andai bisa aku mengulang waktu, aku akan memilih membawa seluruh keluargaku pergi ke hutan dan kabur. 

“Semua muslim, cepaaat ke gerejaaaa!”

Kami tergesa-gesa meninggalkan rumah menuju gereja. Aku, suamiku, anak remajaku, dan anak bungsuku. Kami lari kesana. Dan sesampainya di sana, benar adanya, hanya ada muslim di gereja itu.  

“Kalian disini saja ya. Kami akan pastikan kalian aman” begitu kata tetanggaku yang bukan muslim, dan kemudian meninggalkan kami di gereja.

Dari dalam gereja, kami hanya mampu berdoa, serambi mendengar bom dan tembakan terjadi di luar. Berdetum-detum hebat tiada henti. Aku memeluk anakku kuat-kuat. Ya Allah lindungi kami. Lindungilah semua muslim disini. 

Waktu terasa sangat mencekam dan lama….

Sangat lama…

Hingga kemudian, kami tak lagi mendegar tembakan dan bom. 

Dan disaat itulah kejanggalan itu terjadi.

Kami terkunci!
Kami terkunci di dalam gereja!

Kami meronta-ronta, berteriak-teriak, tapi tak ada satupun yang mendengar. Kemana mereka, kemana?
Para lelaki mencoba untuk keluar melalui jendea, beberapa dari kami membantu mendobrak pintu keluar.

Tapi terlambat! Semua terlambat!

Mereka lebih siap. Kami ditipu. Kami ditipu.


Aku kehilangan semuanya malam itu. Semuanya, kecuali satu hal: Kenangan saat anaku terjatuh dari atap gereja dan dipotong-potong, dan saat suamiku dibunuh.

Hanya itu yang tersisa. Hanya itu. 

Itu yang menemani hingga aku renta kini.


#31harimenulis
#6-31

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall