Minggu, 21 Juni 2015

Menjadi Seragam



“Tak semua orang bisa punya kesempatan yang sama. Andaikan engkau dapat membuka mata”
(Ran dan Tulus – Kita Bisa)

Hampir setahun belakangan ini saya disibukan dengan pikiran tentang “umum” dan “tidak umum”. Tentang yang biasa dilakukan orang dan tidak biasa dilakukan orang. Tentang mainstream dan anti mainstream. Saya banyak merenung tentang kenyataan bahwa jalan hidup saya ternyata tidak seperti jalan hidup mayoritas orang. Dan akhirnya membuat saya bertanya-tanya, apa nanti kata orang? Apa yang harus saya jelaskan pada mereka? 
Akibatnya saya jadi banyak berkubang dengan kebingungan bahwa seharusnya saya menjadi bagian dari masyarakat pada umumnya.

Apakah menjadi berbeda itu salah?

Sejak ada di bangku sekolah, menjadi berbeda itu hanya ada dua pilihannya. Nerd atau trendsetter. Tapi alih-alih menjadi trendsetter, orang-orang yang ‘kuat mental’ untuk menjadi berbeda, lebih memilih untuk dikatakan nerd. Selebihnya, (dan saya yakin termasuk golongan ini) memilih untuk menjadi kekinian seperti anak-anak gaul yang ada di sekolah. Saya jadi ingat, saat SMA, betapa bencinya saya dengan gaya bahasa SMS yang “gaul” itu. You know, yang nulis aku aja jadi aqu atau Q. Ugh! Saya kesel banget sebenernya. Tapi saat itu saya berfikir, kalau saya engga nulis SMS dengan bahasa begitu, saya tidak termasuk dalam dunia remaja kekinian, dan itu artinya saya nerd. Untuk status sosial yang lebih baik, maka ikut-ikutan lah saya menulis SMS dengan gaya begitu. Walau aslinya saya merasa jijik dengan gaya SMS begitu.
Di bangku sekolah menjadi berbeda itu tidak mudah ternyata. Mungkin itulah awal mula, bahwa ternyata saya ini, sangat sangat sangat terbiasa dengan menjadi seragam. Saya takut malah menjadi berbeda.

Makanya, dari dulu saya selalu merasa bahwa saya ini mainstream. Terbukti dari tidak ada hal yang berbeda dari apa yang saya lakukan. Saya tidak berpenampilan nyentrik atau bergaya yang aneh-aneh. Saya bukan vegetarian, saya suka makan mie, saya juga lebih memilih menggunakan sepeda motor ketimbang sepeda. Dan saya juga suka musik-musik top 40. Tuh kan, tidak ada hal-hal yang saya lakukan, yang mengindikasikan kalau saya ini seorang yang anti mainstream

Hingga sebuah percakapan terjadi.

Teman baik saya menyentil dengan berkata, “Banyak orang, yang anti mainstream-nya tuh cuma luarnya aja. Tapi dalemnya mah sama… pikirannya mainstream. Kalau kamu itu luarnya mainstream, pake baju aneh aja engag pede, cuma kalau dibedah, kamu tuh anti mainstream!”.
Tentu saja saya GEER setengah mati dibilang begitu. Sambil tersipu saya jawab “Ah masa sih?” Lalu teman menimpali dengan, “Tapi masalahnya kamu sendiri yang pengen jadi mainstream.. semua orang pengen jadi anti mainstream Peh, kamu udah anti mainstream, tapi pengennya mainstream. Tuh kan, kamu emang anti mainstream”

Ah apa iya? Apakah saya terobesi menjadi seragam, di saat saya justru sudah memiliki jalan yang berbeda?

Percakapan dengan teman saya itu akhirnya memberikan saya tamparan, bahwa ternyata tidak semua orang diberikan kepercayaan diri dan kekuatan untuk mensyukuri apa yang ada. Dan yang paling menyedihkan, ternyata tidak semua orang sanggup menjadi berbeda.
Sebelum percakapan itu terjadi, saya adalah contoh orang itu. Saya yang tidak pede, saya yang merasa harus sama, dan saya yang kurang bersyukur. 
Tapi kini saya sudah lebih siap menerima kenyataan bahwa saya ini anti mainstream dalam tataran yang lebih spesifik. Bukan soal fashion atau referensi musik musik tapi tentang pandangan dan pilihan-pilihan hidup.

Pada akhirnya saya harus belajar bahwa tidak semua orang harus tau dan paham mengenai alasan-alasan pemilihan hal-hal di hidup saya ini. Toh saya juga tidak punya tanggung jawab apapun kepada mereka. Dan yang kedua, saya harus belajar lebih keras lagi untuk bisa menerima garis hidup yang berbeda dari orang lain.
Semua orang harus berani untuk menjadi berbeda. Jangan takut jadi anti mainstream! Karena menjadi berbeda itu sah-sah saja.




Mari bersyukur, mari merayakan hidup.

Cheers,
A
#31harimenulis
#Penutup
#Bonus

Sabtu, 20 Juni 2015

Selamat Ramadhan

"Kemenangan Ramadan kemenangan semua yang ikhlas berjuang"
(Nidji)


Bagi adik saya Enzo yang tidak suka makan, puasa Ramadhan adalah alasan paling mujarab untuk menolak paksaan mama agar dia mau makan. Berbeda dengan Dian Citra teman saya yang mau menikah bulan Agustus, puasa Ramadhan adalah salah satu caranya agar bisa sedikit lebih kurus. Bagi nenek saya, Ramadhan adalah moment agar semua cucu dan anak-anaknya kembali berkumpul. Bagi para pedagang, Ramadhan adalah salah satu cara agar dagangannya bisa semakin laris. Dan bagi brand besar, inilah masa untuk membuat short campaign.

Kalau saya, saya jadi bisa kembali melihat tayangan ‘Para Pencari Tuhan’ yang notabene hanya tayang di bulan Ramadhan. 

Semua punya tujuan dan niat. Semoga semuanya menuju pada Allah Swt, karena pada akhirnya kita akan dibangkitkan sesuai dengan niatan kita masing-masing. 

Jangan sampai kita merugi di Bulan ini. 
Kadang cobaan paling berat dalam berpuasa bukan tentang lemas dan nagntuknya, tapi menolak hal-hal yang malah menjauhkan kita dengan Ramadhan. Ya, seperti sibuk yang malah melalaikan misalnya. Deadline yang sampai mengorbankan waktu tidur sehingga tahajudnya lalai. Buka puasa bersama yang malah melalaikan sholat tarawih. Ya hal-hal remeh temeh seperti itu yang membuat kita rugi. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal macam itu ya. 

Walau sulit, tapi mari kita sama-sama belajar untuk tidak menghamba pada dunia. Pun Allah menjanjikan "Barang siapa yang mengingatKu di dalam dirinya maka Aku akan mengingatnyanya dalam diriKu. Dan barang siapa yang mengingatku dalam kesibukan, maka Aku akan mengingatnya dalam kesibukan yang lebih baik darinya" (HR Bukhari)

Selamat menuaikan ibadah bulan suci Ramadhan teman-teman, mari kita sama-sama mencurahkan waktu untuk berpacaran dengan Allah Swt.


Jumat, 19 Juni 2015

Hello, Goodbye

You say yes.
I say no
You say stop, I say go go go!
(The Beatles)


Kadang aku berfikir tentang sihir atau guna-guna yang mungkin saja dipasang di kota ini. Karena setiap kali aku pulang, rasanya aku tidak mau lagi beranjak kemana-mana. Ingin berhenti saja disini, untuk selama-lamanya.
Tidak sedikit juga yang merasa aditif dengan kota ini. Mereka bilang kota ini adalah kota seribu satu kenangan. Banyak juga malah, yang walaupun tidak punya rumah atau hubungan darah dengan kota ini, tapi selalu menyempatkan kembali pulang ke sini. 
Sepertinya memang Jogja selalu bisa memaksa orang untuk kembali. Atau memang kota ini dipasang susuk?
 
Aku salah satunya. 
 
Walau begitu, kota ini adalah awal dan sekaligus akhir. Dulu aku sempat bermimpi untuk tinggal selamanya di sini, hingga aku merasa mabuk dengan semua fasilitas yang disediakan di kota ini. Tenang, nyaman, damai, tanpa paksaan adalah menyenangkan sekaligus mematikan.
Untuk itu, tepat di saat aku merasa keracunan dengan semua kenyaman yang diberikan kota ini, tepat di saat itulah aku merasa harus pergi.
Toh aku akan selalu kembali ke sini, setelah sejauh apapun aku pergi.
 
Sepertinya memang benar bahwa tidak ada yang lebih butuh pulang ketimbang seseorang yang sedang perjalanan. 

 
 

***
"Assalamuaikum..." Kataku

#31harimenulis
#18-31
#kisahRee

Kamis, 18 Juni 2015

Kemana Niatmu?

"And I don't know where I'm going...
But I know it's gonna be a long time"
(Beating Heart - Ellie Goulding)


Aku jadi ingat lagu lama Dewa 19 yang berjudul ‘Cinta Kan Membawamu’. Liriknya yang cukup melankolis mengingatkanku pada tujuan dari setiap perjalananku. Jika Dewa 19 ingin berkata bahwa cinta yang tidak tahu bagaimana wujudnya itu, bisa membawa seseorang kembali pulang, maka aku ingin berkata bahwa setiap orang akan sampai kepada apa yang diniatkannya dari awal.

Menurut Wikipedia backpacker atau wisata beransel adalah perjalanan ke suatu tempat tanpa membawa barang-barang yang memberatkan atau membawa koper. Biasanya orang yang melakukan perjalanan seperti ini adalah dari kalangan berusia muda, tidak perlu tidur di hotel tetapi cukup di suatu tempat yang dapat dijadikan untuk beristirahat atau tidur.
Tidak ada definisi khusus dari backpacker itu sendiri. Orang-orang bisa menerjemahkan backpacker-an dengan banyak pengertian. Termasuk sebagai aktivitas berpergian dengan tas besar hanya dengan tujuan eksistensi diri. Ah maaf aku terlalu mengeneralisasi. Tentu tidak semuanya begitu. Dan lagipula, aku juga tidak bisa menebak isi hati dan niatan seseorang dalam berpergian. Pun pergi dengan tujuan eksistensi diri juga bukan sesuatu yang salah.

Backpacker identik juga sebagai perjalanan dengan uang yang terbatas. Itu juga tidak sepenuhnya salah. Asal bisa kuat-kuatan bertahan di jalan, aku pikir tidak susah untuk bisa menempuh perjalanan dan bertemu dengan pojok-pojok menarik di belahan bumi manapun. 

Semua orang punya hak yang sama untuk melakukan eksplorasi, mau itu dengan backpacker atau cara lainnya. Point yang harus dicermati adalah niat. Semua perjalanan itu hanya tergantung pada niat. Jadi kalau niatan perginya adalah demi pengakuan, konon tak ada yang didapat selain pengakuan itu sendiri dan pujian yang basa-basi.
Bagi seorang pejalan, petualang, atau apapun sebutannya, niatan bagaikan adalah kompas. Ketika tersesat maka niat yang akan mengantarkan mereka kembali pada tujuan. Jadi, sangat penting mencari tahu mengapa kita harus pergi. 

Walau begitu, aku sendiri tidak tau pasti mengapa suka sekali berpergian. Aku tidak tahu apa yang sesungguhnya aku cari. Bahkan aku tidak punya niat yang spesifik. Sekalipun pekerjaaan mengharuskanku untuk selalu jalan-jalan, namun aku tetap merasa harus pergi sendiri. 

Aku sedang curiga, apa jangan-jangan ini hanya caraku saja untuk melarikan diri? Hmm.. Bisa jadi.

Seperti perjalananku kali ini menuju Sumbawa dengan metode backpacker. Dari Jakarta aku memesan tiket pesawat menuju Bali. Dari bali aku naik kapal menuju pelabuhan lembar Lombok. Lalu naik angkutan umum, aku menuju pelabuhan kayangan di Lombok dan menuju pelabuhan Pototano di Sumbawa. Tidak rumit-rumit amat kan?

Aku sudah 3 kali pergi ke Sumbawa dengan metode ini. Di Sumbawa aku kenal dengan satu keluarga lokal yang selalu menampungku selama aku disini. Verani hanya memberiku jatah cuti seminggu, artinya aku hanya punya waktu kurang dari seminggu untuk mengurai semuanya. Mengurai apa motifku selalu berpergian.

Kak Re... lama kan disini?” Kata Ibu Joko
Kayaknya cuma sampe lusa deh…”
Loh, kan barusan aja sampe.. biasanya 5 atau 6 hari baru pulang. Ada kerjaan?”
engga sih Bu… pengen pulang aja dulu bentar…”

Mungkin aku harus kembali ke titik awal dan mengingat apa sebenarnya niatanku.



Mungkin memang inilah saatnya, pulang sejenak ke Yogyakarta!


#31harimenulis
#17-31
#kisahRee

Rabu, 17 Juni 2015

Kunci dan Pintu



Aku bukan seseorang yang percaya ramalan bintang, namun aku sering membaca watak orang dari zodiak yang dimiliknya. Jika melihat dari tanggal lahir Jakarta yang jatuh di tanggal 22 Juni, maka bisa dipastikan bahwa Jakarta berbintang cancer.
Sungguh celaka jika ibukota Negara memiliki zodiak cancer. Cancer itu dikenal dengan sifatnya yang seperti roller coaster, tidak tertebak, dan diam-diam menghanyutkan. Oh satu lagi, penyayang. Dan benar saja, Jakarta memang mewarisi sifat-sifat cancer. Lihatlah bagaimana tidak tertebaknya Jakarta, dan selalu menghanyutkan rumah-rumah warganya setiap tahun karena banjir. Walaupun begitu, Jakarta sangat sayang dengan penduduknya. Terbukti dari walaupun diterpa banyak cobaan dan derita, mereka enggan (atau tidak punya pilihan) untuk keluar dari Jakarta. Jakarta sungguh cancer sejati.

Mungkin akan jauh lebih baik kalau Jakarta berzodiak Leo yang jelas-jelas terkenal dengan ketangguhan hatinya dan sifat kompetitif. Atau mungkin sagitarius yang impulsif. Lebih baiklah aku pikir, ketimbang cancer yang sangat sensitif.

Tapi apa daya, pada tanggal 22 Juni 1527 lah, seorang pemuda dari kerajaan Demak, bernama Fatahillah berhasil menaklukan daerah yang terkenal dengan sungai ciliwungnya ini. Dengan inisiatif khas anak muda, dibuatlah sebuah nama bernama Jayakarta yang artinya kemenangan berjaya. Sekaligus menjadikan tanggal itu sebagai penetapan hari jadi Jakarta.
Satu abad kemudian, kemenangan itu kandas dan berganti nama menjadi Batavia di tahun 1619 oleh (tentu saja) Belanda, yang artinya adalah nenek moyang bagi orang Belanda. Dan berganti lagi Jakarta di tahun 1942.

Dan inilah dia Jakarta!
Selamat datang di Ibukota. Tempat yang konon paling banyak menjual mimpi dan ilusi.

Bagiku semua ibukota di belahan dunia manapun akan sama situasinya. Hingar bingar, ramai, dan menjadi pusat dari semua pusat. Menyandang gelar ibukota tentu tak hanya membuat kotanya berbangga hati, tapi juga bagi mereka yang menjadi penghuni.
Jika ingin mendapatkan advantages untuk memiliki status sosial tinggi, tinggal bicara dengan menggunakan LOE dan GUE. Dijamin, status sosial bisa naik 2 hingga 3 tingkatan. Walau sebenarnya, aku sendiri juga tidak tau sejarah asal-muasal LOE dan GUE. Tapi yang pasti, semua orang akan selalu mengasosiasikan Loe dan Gua sebagai Jakarta. Dan menjadi Jakarta akan selalu dipandang lebih tinggi. See? Tidak sulit menjadi Jakarta. Tinggal bicara dengan Loe dan Gue. Selesai perkara.

Suatu hari Ibuku pernah bertanya, "kenapa ya Ree, anak-anak  muda lulusan universitas kenamaan, kalo lulus larinya ke  Jakarta semua?", yang kemudian aku timpali dengan “Kayaknya ga cuma lulusan kenamaan aja deh Bu. Semua orang, kayaknya kalo lari ke Jakarta”
Sampai sekarang pun aku belum sepenuhnya mengerti, mengapa diantara 17.504 pulau dan 34 provinsi, Jakarta terlihat paling menarik dan paling menyilaukan mata. Apakah hanya karena dia Ibukota? Atau kita yang membuatnya tampak bersinar?
Jika memang setiap ibukota itu menyilaukan mata, lalu mengapa ada seribu satu wajah temaram disana? Mengapa banyak kepalusuan, banyak kemiskinan, dan kepura-puraan? Sangat sulit menemukan mana wajah asli Jakarta. Semuanya tersembunyi dan terasa berjarak.
Apalagi Jakarta. Tidakah kita merasa bahwa Jakarta terlampau ringkih untuk ukuran ibukota? Bagaimana bisa setiap tahunnya provinsi seluas 740,3 km² itu terendam banjir? Ibukota gituloh... Come on!

Tapi datang ke Jakarta bukanlah hal yang salah atau berdosa. Jakarta sangat bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka yang berani, walau di satu sisi Jakarta juga sangat kejam membunuh mereka yang tidak punya nyali.

Aku tidak antipati dengan Jakarta, toh aku pun satu dari sekian juta umat manusia yang berdesakan di dalam busway. Hanya dalam beberapa hal, aku merasa tidak mengerti dengan pikiran orang-orang yang menganggap Jakarta adalah kunci. Hingga berbondong-bondong datang tanpa rencana dan berbekal nekat. Why?
Jakarta itu hanya pintu, kitalah kunci itu. Bukan sebaliknya! Jangan mau menjadi pintu dan dirampok habis oleh Jakarta. Hingga tau-tau tidak ada yang tersisa dari kita selain hampa. Tidak semua kunci itu cocok dengan semua pintu.
Lagipula kenapa harus jauh-jauh ke Jakarta, kalau hanya bermimpi menjadi pesuruh?

Seriously, why?

Oh atau karena di Jakarta ada GI?

***

Di sebuah ruang rapat yang cukup dingin di sebuah gedung pencakar langit tidak ramah energi di Jakarta.

“Ree, lo dapet jatah libur seminggu… ”
“Thank you Vir! Gue mau bekpekeran!”
“Kemana?”
“Sumbawa!”
“Cuma seminggu tapi ya…”
“Siap boss!”

 
https://www.tumblr.com/search/explore%20jakarta
#31harimenulis
#16-31
#KisahRee

Selasa, 16 Juni 2015

Tapi, Aku Gendut!


“Aku gendut engga?” 
Aku sering bertanya itu padamu. Tidak peduli mau berapa kali aku bertanya itu padamu, kamu akan menjawab “engga…”.

Aku sudah hapal luar kepala jawaban itu. Tapi itu akan terus terjadi secara otomatis setiap kali kita bertemu. Apalagi setelah kita mencoba makanan baru di tempat makan yang tidak sengaja kita singgahi. Aku akan menutup pembicaraan dengan, “Eh, aku engga gendut kan?” Lalu kamu akan begitu saja menjawab pertanyaanku dengan sedikit tertawa “Engga...”

Suatu hari aku pernah bertanya pada seorang teman, seperti apa komponen terbaik untuk pasangan hidup itu? Apakah harus sama hobi? Sama profesi? Atau bersama karena sama-sama tidak ingin sendiri?
Lalu temanku menjawab, bahwa aku cukup harus menemukan orang yang paling ikhlas mendengarku mengeluh. 

Aku langsung ingat kamu.
Kamu tau, setiap aku bertanya ‘aku gendut engga?’ yang sebetulnya terjadi adalah aku ingin mendengarmu menjawab ‘engga’. Bukan karena perkara berat badanku yang sudah dipastikan naik, tapi karna aku tau, kamu tidak akan kemana-mana. Tidak peduli, seberapa seringnya aku bertanya.

#31harimenulis
#BONUS
#AllahuakbarNgantuk!

Senin, 15 Juni 2015

Obrolan Tentang Narkoba Di Kereta

Dari semua perjalanan kereta api yang aku alami, ada satu kejadian yang tidak bisa aku lupakan. Kejadian itu terjadi, sekitar setahun yang lalu. Saat itu aku duduk berhadapan dengan orang asing dan tanpa sengaja berbicara banyak tentang hal-hal.
Tentu saja kami memulai dengan hal-hal yang sepele nan klise terlebih dahulu seperti "Mau kemana", "Kamu kerja dimana sih?", "Sendirian aja?", dan pertanyaan pembuka remeh temeh khas lainnya.

Kemudian, obrolan kami semakin berlanjut dan berlanjut. Dari narkoba hingga dongeng tentang hukum di Indonesia.

Beginilah kira-kira percakapan kami saat itu.

"Aku pernah loh nyoba narkoba di Singapur, gilak mahal banget cuy selintingnya!" Katanya bersemangat.

"Serius? enak ga?" Jawabku tak kalah bersemangat.

"Kalo ngomongin tentang narkoba bukan gitu pertanyaannya..."
"Trus apa dong?"
"Enak mah udah pasti Ree, nanyanya kudunya 'sakaw ga Lo?' gituuu.."
"Kok serem sih? kudu sakaw banget?"
"Yaiyalah. Narkoba!"
"Kok mau sih make?"
"Waktu itu Gua juga cuma ditawarin Ree, dibeliin doang sama temen... bilangnya tester. Yaudalah yaa.. Gua coba aja"
"Gimana sih rasanya"
"Rasanya? Rasanya tuh... jadi bikin Lo tenang gitu"
"Tenang?"
"Iya.... walo yaa... cuma bentar yaa.. tapi kita jadi chill gitu loh. Lo coba deh!"
"Ogah. Tapi gilak juga ya, cuma buat perasaan tenang, orang-orang sampe rela beli dan mahal pula?"
"Palsu pula!" katanya sambil tertawa.

Ohya, nama orang asing itu adalah Rio. Dia seorang pengacara yang sebenarnya sangat benci dengan profesinya. Tapi di satu sisi dia ingin menjadi salah satu orang yang membuat perubahan dari hal-hal brengsek di Indonesia. Ya semacam love-hate relationship dengan kerjaan.
Dia sempat berkata "Ya, Gua sebenernya enek banget sama urusan hukum di Indonesia, tapi Gua bakal semakin enek kalo mereka-mereka yang punya duit, makin gampang beli hukum. Jadi gua telen ajalah".

Sebuah percakapan yang sarat esensi. Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, bahwa ketenangan ternyata menjadi hal yang paling dicari oleh seluruh mahluk di dunia ini. Hingga tak peduli apakah itu palsu atau asli, yang penting adalah bagaimana bisa mencicipi rasanya ketenangan walau hanya sebentar saja. Hingga terciptalah imaji bahwa ketenangan bisa dibeli lewat selinting barang bernama narkoba.

Manusia memang kerap berasumsi bahwa semua hal bisa dibeli, termasuk ketenangan yang sebetulanya hanya bisa didapat dari hati yang selalu bersyukur. Hati yang selalu cukup.
Itulah mengapa istilah money can't buy happiness menjadi sangat terkenal. Uang hanya propaganda mereka-mereka yang sesungguhnya tidak pernah bahagia. Karena uang hanya mampu membeli hal-hal yang dibutuhkan jasmani, bukan hal-hal yang dibutuhkan rohani.
Lagipula, jika narkoba memang sungguh bisa mereduksi perasaan tenang, lantas mengapa penggunanya bisa sampai sakaw? Bukankah sakaw itu artinya sesuatu sudah melewati ambang batas? Sedangkan ketenangan hanya bisa dirasa bagi mereka yang tau apa itu cukup.

Percakapan itu membuatku berfikir, jika ketenangan adalah hal yang paling dicari saat ini, mengapa kita tidak berlari saja menuju hal-hal yang membuat kita tenang? Mengapa justru kita berlari ke arah sebaliknya? Ke arah yang menjauhkan kita dari rasa tenang? Jika ketenangan hanya bersumber dari hati yang cukup, mengapa justru hati kita menjadi sumber utama keresahan?
Kontradiktif bukan?

Ah, sungguh percakapan yang membekas.

Semenjak obrolan tidak terduga dengan orang asing yang kini menjadi salah satu temanku, perjalanan dengan kereta api selalu membuatku berharap agar aku bisa bercengkrama lagi dengan orang asing yang cukup asik seperti Rio.
Sayangnya kesempatan bicara dengan orang-orang asing yang kemudian menjadi berharga di hidup kita adalah jarang. Prosentasenya cukup rendah.

Jadinya kini aku hanya berada di kereta api memandangi pedesaan menuju Ibukota. Tanpa obrolan tak terduga, tanpa orang asing yang asik.
Pertemuan memang mahal harganya.

Kulirik jam tanganku, masih 6 jam lagi menuju pusat huru-hara Indonsia, Jakarta. Kota yang tidak pernah bisa tenang.

Ah, Ibukota lagi!



#31harimenulis
#15-31

Minggu, 14 Juni 2015

Hal-Hal yang Tergantikan

When I look back on my ordinary life, I see so much magic, though I missed it at the time”
(Photograph – Jammie Cullum)


Semua hal di dunia ini memang replaceable.
Sam Smith sudah menggantikan era kejayaan Aerosmith. Jaman John Travolta bernyanyi-nyanyi di Grease kini berganti dengan jaman Lea Michele di Glee. Jaman The Police sudah berganti dengan 5 second of summer. Disket berganti flashdisk, iTunes menggantikan piringan hitam, radio berganti streaming, Alan Budikusuma berganti dengan Ihsan Maulana Mustofa, dan yang paling sering mengalami pergantian, tentu saja klub sepak bola.

Semua pergantian itu tentu saja baik, walau tetap dengan konsekuensi-konsekuensinya. Seperti Maslow's hierarchy of needs yang dengan lantang berkata bahwa piramida teratas manusia adalah aktulisasi diri. Dia berkata “What a man can be, he must be” yang mengindikasikan bahwa manusia akan selalu berubah. Dan untuk mendukung itu, manusia akan sibuk bermain bongkar pasang. Tapi itu bukan hal yang buruk, karena tanpa itu, mustahil sebuah peradaban terbentuk.

Di satu sisi, sebagai manusia, kita adalah penikmat hal-hal yang senantiasa silih berganti itu. Kitalah penikmat iPhone dan tak mau lagi menggunakan pager. Penikmat streaming, karena malas membawa-bawa radio. Penikmat WhatsApp, karena menulis surat akan memakan banyak waktu. Sadar atau tidak, kita adalah pihak yang mengganti, dan sekaligus pihak yang tidak akan ambil pusing pada hal-hal yang tergantikan.
Apakah kita peduli bahwa di tahun 2009, Kodak menghentikan produksi roll film fotonya setelah dipasarkan selama 74 tahun? Atau siapa menyadari boy band BLUE, Westlife, dan bahkan almarhumah Whitney Huston bangkrut, saat perlahan mereka tergantikan?

Tapi bagaimana jika, jika kitalah hal-hal itu?
Bagaimana jika kitalah hal yang tergantikan? Atau tanpa sadar, kita sudah digantikan?
Bagaimana jika ternyata kita adalah disket, pager, whitney Huston, westlife, dan hal-hal yang tergantikan lainnya?
Bagaimana jika ternyata, kita tidak lagi berarti untuk seseorang? Apakah kita masih sama tidak pedulinya?

Lalu kitapun mulai berimajinasi, dan memberikan doktrin bahwa ada beberapa hal yang tidak akan tergantikan no matter what. Tapi sebenarnya kita tau, nothing last forever!
Sayangnya... oh sayangnya, kita tidak bisa berharap kembali ke masa The Beatles untuk melihatnya perform. Tidak bisa bersisikukuh ingin menggunakan disket, tidak bisa menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Walaupun kita mau, dunia yang tidak menginjinkan. Hukum alamnya jelas, matahari tidak akan bertemu bulan, selamanya.

Ternyata, kita tidak bisa menjadi pihak yang penting bagi hidup seseorang, ketika di saat sama kita menghilang.
Kita tidak bisa berharap bahwa kita adalah pihak yang diingat, ketika di saat yang sama kita lupa.
Kita tidak bisa memaksa waktu untuk menunggu, ketika di saat yang sama kita pergi.
Kita tidak bisa berharap sesuatu akan terjadi selamanya, ketika di saat yang sama kita tidak berjuang.
Kita tidak bisa selamanya menjadi istimewa.

Dan yang lebih penting, kita tidak bisa membuat keadaan kembali seperti semula, saat kita sudah terlalu jauh melangkah.
Untuk sesuatu yang sudah terlanjur berganti, kita hanya mampu menyimpan memorinya, tapi tidak untuk menjadikannya nyata.
Kita tidak bisa menjadi disket dan berharap Apple Inc menciptakan slot khusus untuk kita. Kita harus menghargai apa yang sudah berganti, bukankah begitu?

Kita harus menerima, bahwa akan selalu ada dua sisi dalam kehidupan ini. Saat kita sudah mencoba mengganti, di saat yang sama, di sisi yang berbeda, kita sudah menjadi yang terganti.


Sesederhana itu.
***


Untuk Ujang Fahmi.


#31harimenulis

#Bonus

Jarak

Kalau aku bisa, aku sudah berlari ke masa lalu, dan merekatkan waktu-waktu yang hilang.
Aku akan bawa tangga dan mendekatkan hal-hal yang kini terasa menjauh.
Tidak lupa notes, agar aku bisa mencatat hal-hal yang tidak aku tahu.
Andai aku bisa, kita mungkin tidak saling menggantikan.
Andai aku bisa, kita pasti masih menjadi 2 racun.
Kalau saja aku bisa….

Kita sudah berlari.

Dan ketika berbalik,

kita sudah jauh…
Jauh.

Dan saling melewatkan satu sama lain.


Sabtu, 13 Juni 2015

Percakapan Subuh

 And I'd give up forever to touch you
Cause I know that you feel me somehow 
You're the closest to heaven that I'll ever be 
And all I can taste is this moment 
And all I can breathe is your life 
When sooner or later it's over 
I just don't wanna miss you tonight  
And I don't want the world to see me, cause I don't think that they'd understand 
When everything's made to be broken, I just want you to know who I am.
(Goo Goo Dolls - Irish)



Di sebuah subuh, aku terlibat sebuah pembicaraan lagi dengannya. Dia datang tiba-tiba saja ke hadapanku sambil mengenakan kaus warna biru dongker bertuliskan “Die Young” dan celana jins belelnya itu. Aku tidak begitu terkejut dengan kedatangannya. Dia memang sering datang tanpa undangan dan kami biasanya terlibat pembicaraan super absurb. Kami pernah berbicara tentang sejarah Anne Frank, sesekali membicarakan tentang Gordon Ramsay dan masakannya, terakhir kami membicarakan tentang pernikahan Gibran dan Selvi. Dia memang datang tanpa bisa diduga, dan membawa bahan pembicaraan yang sama tidak terduganya. Dia memang selalu tidak terduga.
Pagi itu pembicaraannya adalah tentang mendengarkan.

“Ree… kamu pernah engga dengerin aku?”
“Aku engga punya pilihan apa-apa Dim selain dengerin kamu”
“Jadi kamu selalu dengerin aku?”
“Dibilangin, I have no choice! Kamu nerocos terus kalau dateng. Ya pastilah aku dengerin” Kataku tanpa berbohong.
“Terus kenapa kamu selalu bilang ‘jangan pergi’?”
“Kali ini kita mau ngomongin apa ya?”
“Kamu tau Ree, dalam sebuah percakapan, kamu justru harus menghargai hal-hal yang engga kamu pahami. Justru malah hal-hal yang engga diceritakanlah yang seharusnya kamu hargai dalam sebuah percakapan. Banyak cerita yang engga diceritakan, dan kamu harus belajar buat menghargai itu. Kamu harus belajar untuk lebih toleran sama kisah yang engga diceritakan. Sesuatu yang engga kamu tau, bukan berarti sesuatu yang engga layak dihargai. Kalau kamu ketemu orang jahat, yang kamu tau, dan yang kamu ingat adalah dia orang jahat, titik. Tapi kan kamu engga tau, ada cerita apa dibaliknya. Dia butuh dihargai atas sesuatu yang engga pernah dia ceritakan Ree… Siapaun orang yang kamu anggap jahat, butuh dihargai untuk sesuatu yang engga pernah sanggup di ceritakan. Everybody have untold stories Ree! Inget itu. Semua orang punya, alam semesta juga.”
“Aku engga anggap kamu jahat, walau kamu pergi”
“Tapi kamu mengutuk keadaan. Sampai kapan kamu mau paham, sesuatu yang kamu angap jahat ini adaalh karena kamu engga paham bahwa inilah yang terbaik buat kamu. I told you, sesuatu yang engga kamu tau, bukan berarti sesuatu yang engga layak dihargai”

Tipikalnya, setelah berbicara panjang dan absurb, dia akan mencium keningku dan berbalik pergi.

“Jangan pergi Dim! Please!”

Siapa sebetulnya yang tidak pernah mendengarkan?

***

Drrrt... drrrt... drrrttt... Alarm handphoneku bergetar dan menunjukan pukul 5 pagi.

Aku mematikan alarm dan menyeka mataku yang basah.



Its time to go!

#31harimenulis
#14-31
© RIWAYAT
Maira Gall