Senin, 07 November 2016

Kontemplasi

Aku dapati diriku menyadari sesuatu pagi ini.
Tidak seketika dan tiba-tiba memang, tapi kesadaranku ini  memberikanku sedikit penjelasan.

Alasan aku memilih dan bertahan dalam pekerjaan ini, dan menolak semua pekerjaan lain. Bukan tentang jiwa humanisku yang sedemikian tinggi dan mulianya. Melainkan, aku menikmati berada di sebuah bandara, menuju sebuah tempat yang belum pernah aku kunjungi, akan berjumpa dengan orang yang belum pernah aku temui, dan akan melihat sesuatu yang belum pernah aku lihat. Aku menikmati perjudian antara aku yang akan mendapati pengalaman baik, atau tidak. Aku menikmati ketersesatan yang entah mengapa terasa seperti menemukan.
Bonus pekerjaan ini adalah aku belajar tentang masyarakat. Aku tau tentang kebijakan. Aku paham sedikit-sedikit realitas sosial. Tapi itu hanya bonus, karena yang aku cari adalah petualangannya, yang aku nikmati adalah sensasi bebasnya.

Saat negeri habis aku jelajahi, lalu aku berniat sekolah lagi. Tidak di sini, tapi jauh di sana. Bukan karena aku sedemikian cintanya dengan ilmu pengetahuan, walaupun belajar di ruang kelas juga bukan hal yang aku benci. Tapi yang sebenarnya aku harapkan adalah perjalannnya. Berada lama di sebuah negeri yang belum pernah aku temui, menghilang dan tenggelam dengan orang-orang baru, kultur baru, dan rutinitas baru.

Jadilah pagi ini aku menyadari bahwa aku sedang lari, aku sedang mencari, aku sedang kabur.

Entah dari apa, entah untuk apa, dan entah untuk mencari apa.

Hidupku selama ini sepertinya hanya tentang kabur dari satu titik ke titik lain. Bukan beranjak, tapi kabur. Aku buronan. Dari entah apa.


Dialetika Jogja

Kalau kamu dengar, beberapa sudut jogja bercerita tentang kamu.

Ingat jalan Mamgkubumi? Saat aku bawa kamu kesana di malam terakhirmu, saat kunjungan pertamamu?  Aku jujur bingung mau mengobrol apa saat itu, dan aku hanya bertanya ‘kenapa sih putus?’. Lalu kamupun bercerita dan aku takzim mendengar.

Atau mungkin kamu masih ingat belokan kecil di jalan Demangan? Waktu itu, aku mengajak kamu makan es buah. Kita cerita soal buku-buku Pram. Kamu bilang akan menamai anakmu dengan sebutan Ken, katamu “Ken itu artinya bebas jadi apa aja”

Bercerita pula hotel tempat kamu menginap. Maka tiap kali aku lewat, dia semacam membawa gambaran nyata, saat aku mendatangi kamu.

Begitu juga sebuah toko buku di Malioboro. Malam itu, kalau kamu ingat, kita hanya berandai-andai. Lalu aku di belakang jok motor, ternsenyum-senyum sipu.

Lalu tentu saja, tempat makan kwetiau. Malam itu, sebetulnya aku agak malas menemuimu. Jadilah kita bicara tanpa begitu bersemangat, dan lalu kita berkeliling acak mengitari kota ini.

Kota ini berdialetika tentang kamu.

Tentang kita.


Bandara, 2014

“Aku kadang berharap kalau aku bisa ketemu kamu dari dulu,waktu kamu masih kuliah”  


Adegan kesukaan saya ketika menonton film adalah saat si tokoh utama mendapat kesulitan, dan kemudian secara tepat waktu diselamatkan oleh sesuatu atau seseorang.
Misal di adegan The Golden Compass, ketika si Lyra Belacqua diselamatkan Serafina Pecaqala di adegan tempur. Atau ketika di film X-man Apocalypse, si ganteng dan lucu Quicksilver, tiba-tiba muncul dan mengeluarkan semua orang dari dalam gedung. Atau ketika Dr. Sienna Brooks membelot menjadi antagonis di film Inferno. Oh, atau adegan picisan yang mungkin akan selalu diingat semua orang, yaitu ketika Cinta akhirnya berhasil bertemu Rangga tepat sebelum Rangga masuk ke security check. “Ranggaa... Tunggu!”, Kata Cinta dengan nafas sengal.

Adegan-adegan itu rasanya selalu bikin saya tersenyum haru. Melihat semua adegan berada pada detik yang seharusnya, berjalan secara presisi tanpa terlambat sedetik atau kurang sedetik, adalah penghiburan bagi saya. Si tokoh, mungkin mereka juga tidak pernah mengetahui tentang bantuan apa yang akan dia dapat. Semuanya serba rahasia di tangan sutradara.

Maka begitulah saya mencoba mendefinisikan tentang pertemuan antara saya dan dia.

Kemarin saya datang ke kampus, untuk satu dan dua hal. Sewaktu mau pulang, hujan deras turun dan membuat saya harus berdiam di kampus agak lama. Ternyata, hanya butuh hujan dan sebuah lokasi untuk membuat manusia kembali mengingat hal-hal.
Maka jadilah, saya di sore itu mulai mengingat hal-hal di jaman perkuliahan. Saat saya berlarian masuk kelas PNI atau PMI, saat harus ngemsi beberapa acara kampus, saat saya merasa aneh berpapasan dengan mantan pacar, saat makan di kantin dan menatap nyinyir geng kelas sebelah, dan sebagainya, dan sebagainya.

Lalu terpikirkanlah juga di sore itu, sedang apa dia, di masa-masa saya sedang kuliah. Dan kalau kami betulan bertemu di masa-masa saya yang masih kuliah, seperti yang dia pernah bilang, apa yang sekiranya akan terjadi dengan kami ya?

Maka sayapun membayangkan beberapa skenario.

Mungkin kami akan LDR, dan dia akan ke jogja tiap semester. Atau, dia mungkin akan impulsif pindah kuliah ke Jogja. Hmm...
Atau, kami justru akan menghindari satu sama lain. Atau malah tidak tertarik sama sekali.

Hingga lamunan saya terhenti pada awal pertemuan kami yang sesunguhnya.
Saat membayangkan itu, saya menarik nafas cukup panjang dan tersenyum.

Saya menjadi lebih yakin bahwa tidak ada waktu yang lebih tepat bagi kami untuk bertemu selain pada saat kami bertemu. Bandara Soekarano Hatta, malam hari, menjelang penerbangan ke Papua. Begitu juga cerita-cerita yang terjadi selanjutnya. Seperti dia datang ke Jogja untuk nonton Maliq, kami satu tim ke maluku, hingga hari ini dia di rumah sakit karena malaria dan saya di kampus membayangkan macam-macam.

Saya tidak akan meminta untuk diperlambat atau dipercepat barang sedetikpun untuk sebuah pertemuan dengan dia. Detik selalu jatuh pada waktunya, pada sebagaimana mestinya. Seperti detik saat saya menjabat tangannya untuk pertama kali, dan dia menyebutkan namanya. Lalu kembali sibuk main game...  

Dan tentu saja, hanya Tuhan yang selalu lebih tau tentang konsep waktu. Itulah kenapa, tentang waktu akan selalu jadi pertanyaan besar manusia. Seperti halnya film, kita hanya aktor dari sebuah skenario besar yang penuh rahasia milik Tuhan.

Begitu juga pertanyaan-pertanyaan saya yang kadang bernuangsa nelangsa, tapi kadang juga optimis tentang dia. Tentang kita.‘Kapan ini semua menjadi jelas, wahai Tuhan?’, ‘Sampai kapan sih ini semua akan saya alami, Tuhan?’, atau 'Jadi, kami punya kesempatan engga sih, Tuhan?'

Semua masih samar dan sedemikian misterinya saat ini. Tapi ibarat semua adegan di film, saat semua kejadian diatur tepat waktu, maka semua detik dalam hidup sayapun akan jatuh pada waktunya. Semua jawaban yang saya butuhkan akan hadir pada episodenya.

Saya selalu yakin itu.




"Sungguh bodoh seseorang berharap sesuatu terjadi di waktu yang tidak dikehendakiNya"
(Ibnu Atha'illah as-Sakandari)

Sabtu, 05 November 2016

Sebuah titik

Aku agak kelelahan mencari sebab musabab dari ini semua, atau harus merangkai kejadian demi kejadian untuk mencari jawaban.
Alih-alih aku temukan, aku malah dihadapakan pada pertanyaan tentang kenapa aku butuh jawaban atau kenapa aku harus berpayah-payah mencari.

Tentang aku yang mencintaimu, atau tentang aku yang merasa menemukan hatimu, aku pikir itu adalah sebuah kejadian. Sehingga tidak membutuhkan apapun untuk dijelaskan.

Walau sebanyak itu pula aku bingung dan kesal, namun sebanyak itu pula aku menerima. Secara pasrah dan senang.

Ini seperti jawaban yang akhirnya menemukan pertanyaan. Seperti alasan yang akhirnya menemukan kejadian. Dan seperti pembenaran yang akhirnya menemukan kenyataan. Seperti hasil yang menemukan usahanya.  Seperti titik di akhir kalimat.

Aku dan mencintaimu. Maka seperti itulah. Tidak akan pernah ada penjelasan lebih lanjut.



Malam Terakhir Dengan Shofi dan Obrolan Metafisika

“Aku paham sih gimana pandangan orang-orang itu kalau liat kita Peh. Kita percaya sesuatu yang bagi mereka itu engga ada”  
(Shofi Awanis, 2016)  

Tidak semua orang mempunyai teman bicara yang seimbang untuk memperbincangkan topik-topik berat seperti metafisika. Beruntungnya saya, saya punya Shofi Awanis. 
Perempuan mandiri nan cerdas yang saya kenal sejak masih di komunikasi.  

Kalau sudah ketemu Shofi, rasanya semua hal yang paling tabu sampai yang paling ruwet, habis kami perbincangkan. Dan dengan semangat sok tau, kami analisa topik-topik itu dengan bermodalkan buku-buku yang pernah kami baca.   

Di malam terakhir sebelum Shofi ke Amerika, kami menyempatkan diri untuk bertemu dan duduk di kafe Affandi. Semacam perpisahanlah. Setelah membahas tentang kisah asmara masing-masing, kami beranjak ke topik tentang rencana hidup ke depan, dan akhirnya membahas tentang Tuhan.   

Tuhan dan hal-hal metafisika yang mengelilingiNya membuat kami betah berdiskusi. 

Kami sepakat untuk tidak pernah melebeli diri kami dengan sebuah cap tertentu. Liberal atau konvensional, bagi kami itu hanya akan membatasi kami berpikir. Tapi yang jelas, pada malam itu, kami butuh asupan logika dari hal-hal yang tidak tampak. Malam itu, kami seperti butuh berbincang tentang alasan kenapa kami masih menjadi seorang islam hingga hari ini.  

Itu dimulai dari pertanyaan saya, “Kenapa kamu masih jadi Islam Shof?”.   

Dan obrolan demi obrolanpun berlanjut. Seperti cara Shofi berfikir “Aku mau ke Amerika Peh, pakai jilbab itu ga safety buat aku. Tujuan jilbab di Al-Qur’an itu satu untuk menjaga diri, dan dua untuk dikenali. Aku merasa, alasan pertama engga lagi relevan! Justru aku ga aman pakai jilbab di sana, tapi aku masih akan pakai jilbab, karena aku harus dikenali sebagai seorang muslim. Al-Quran minta aku supaya aku dikenali. Untuk alasan yang kedua, aku pertahanin jilbabku”  

Kami memperbincangkan Tuhan, agama, alam semesta, penciptaan manusia hingga konsep takdir selama berjam-jam. Tidak semuanya kami sepakati bersama, tapi kami sampai pada satu titik kesimpulan yang sama: menjadi islam adalah cara kami dalam mengiyakan mau Tuhan. 
Kami setuju bahwa manusia harus menemukan apa itu Tuhan sebelum melebeli diri dengan sebuah agama. Karena kalau tidak, selamanya dia akan menganggap agama sebagai sebuah dogma tanpa paham esensinya. Atau selamanya dia akan melihat agama dari bungkusnya, bukan isinya.   

Malam itu juga, kami membahas jawaban dari pertanyaan “kenapa ya kita kudu sholat?” dari kacamata logika, dan bukan sebatas jawaban “Itu sudah perintah, kalau dilanggar dosa!”.  

Percakapan panjang malam itu, membuat saya selalu yakin atas Islam dan menjadi Islam. Saya melihat konsep yang sempurna dari agama ini, dimana logika saya bisa mencerna dan hati saya terasa mantap.  

Saya belum menjadi Islam yang baik, jadi jangan sekali-kali lihat saya sebagai contoh. Tapi Islam sebagai sebuah konsep agama, bagi saya adalah paling masuk akal saat ini.   

Terimakasih Shofi untuk selalu mau berbicara tentang rationalitas dari hal-hal yang irrational.

Baik-baik di Amrik yaa ;)


Sabtu, 29 Oktober 2016

Percakapan kesembilan: Pesan

"I'm like a shooting star 
I've come so far 
I can't go back To where I used to be.."
(Aladdin)

Setiap kali berpergian, sensasinya akan selalu sama: cemas.
Cemas dalam arti baik, cemas tentang bagaimana perjalanan yang akan temui nanti, dan cemas dalam arti kurang baik, cemas bagaimana dengan dia yang aku tinggalkan.

Belum juga aku duduk dalam pesawat, belum juga aku tau akan seperti apa perjalananku kedepan, belum juga aku merasakan kecemasan yang aku cemaskan, tapi sebuah pesan singkat sudah hadir,“Cepet pulang! Aku kangen”  

Mungkin karena itulah, ini disebut perjalanan. Karena perjalanan membutuhkan tempat tujuan, dan tempat kembali. Beberapa hanya tau kemana dia akan pergi, tanpa tau kemana dia harus kembali. Dan lainnya, cukup beruntung untuk menemukan tempat kembalinya, bahkan sebelum ia memulai perjalanannya.

Duhai, apakah ada yang lebih membahagiakan selain perasaan bahwa kita akan selalu punya tempat pulang, sejauh apapun kita sudah pergi?

Kurasa tidak.

Maka pesan singkat itu kubalas tak kalah singkat, “Aku sayang kamu”


Rabu, 26 Oktober 2016

Walau Demikian

Pada angin yang membawa kabar dan menghembuskannya dengan cepat ke seluruh negeri.
Aku, titip salam.

Sudah kujawab dan kuceritakan pada mereka yang penasaran dan ingin tau, kabar tentang aku yang mencintaimu.  
Kini menyebar dan kini sudah diketahui adanya kabar itu.

Angin membawanya dan tiap kali ada kesempatan, disebarkannya kabar itu.
Mereka yang mendengarpun berkata, “Itu hanya kabar angin... Sudahlah...”

Memang itu hanya kabar angin, hanya sebentar dan dingin.  

Seiring dengan itu pula, kabarmu tak lagi sering terdengar. Pelan-pelan tersamar, dan mungkin akan hilang sebentar lagi.  

Saat itu, angin kembali datang membawa satu pertanyaan yang sama. Saat itu juga, aku masih menceritakan kisah yang sama. Oh katakanlah pada mereka yang ingin tau, bahwa aku masih saja mencintaimu.



Rabu, 10 Agustus 2016

Percakapan ketujuh: Status

"We live in cities you'll never see on screen 
Not very pretty, but we sure know how to run things 
Living in ruins of a palace within my dreams 
And you know, we're on each other's team"
(Lorde - Team)


“Emang engga bisa ya, kamu jadi semuanya? Dari mulai temen, pacar, suami, kakak, supir, sampe pembantu? Kayak lagunya Mr.Big gitu?” 

 “Oh. Dengan senang hati”  

Jikapun dia belum menemukan kata yang tepat untuk sebuah profesi atau peran, dia bisa memberitahukan padaku nanti, atau besok, atau lusa. Karena aku akan menjadi peran atau profesi yang akan dia sebutkan itu.

“Tapi...” Katanya ragu

“Tapi apa?” 
 “Kalau semuanya kamu, trus kalau kamu pergi, aku engga punya siapa-siapa dong ya?” 
 “Tenang aja, aku engga bisa kok jadi Tuhan. Dan kamu juga engga minta aku jadi Tuhan kan?” 

 Dia terseyum begitu syahdu. Membuat hatiku sedikit perih.

Apakah iya, aku mampu untuk menjadi semuanya untuknya? Menjadi orang yang paling menyayanginya, sekaligus yang paling dalam menyakitinya? Menjadi yang paling sering membuatnya tertawa, sekaligus yang paling sering membuatnya menangis? Menjadi yang paling bisa dia andalkan, sekaligus menjadi yang paling depan untuk mengecewakannya?

Tapi, permintaannya untuk selalu bersender padaku,  sungguh begitu menggoda.



Mana sudah kuiyakan lagi... Ah!

Sabtu, 25 Juni 2016

25 ke 25

"Lihat dirimu, semakin jauh mengayuh.
Lewati segala tujuan hidup yang mungkin kau tempuh"
(Sheila on 7)

25 Juni yang ke dua lima kalinya. Saya mencoba mengingat-ingat kapan ulang tahun yang paling berkesan dalam hidup saya, dan kapan yang biasa saja. Tapi alih-alih mengingat mana ulang tahun yang paling berkesan dan mana yang tidak, saya malah merunut kejadian demi kejadian sejak kecil hingga saya sebesar ini. Seperti ritual tahunan yang selalu saya lakukan di tanggal 25 Juni. Ya walaupun sebenarnya beberapa peristiwa masa lalu itu kerap muncul tiba-tiba, tapi khusus di tanggal 25, saya seperti bermain puzzle kenangan. Menyusun bagian demi bagiannya dan melihat hasilnya dari atas sambil tersenyum.

Setelah itu, saya akan bertanya pada diri saya sendiri, "Ah, sudah umur kesekian, jadi udah ngapain aja Lif?". Menjawab pertanyaan itu, entah kenapa yang akhirnya muncul dalam pikiran saya adalah semua kegagalan demi kegagalan, kesedihan demi kesedihan yang saya alami selama ini. Awalnya membuat saya sedih, tapi setelah dipikir-pikir, 'hey, kalau saya gagal artinya saya mencoba sesuatu. Kalau saya sedih, artinya saya masih punya banyak mimpi dan harapan. Dan hey, itu artinya saya tetap mengusahakan yang terbaik yang bisa saya usahakan untuk hidup saya'. Dan tentu saja itu sangat layak diapresiasi.

Sudah 25 tahun. Sudah dewasa.

Mau tahu apa yang paling menyebalkan dari menjadi dewasa? 
Itu adalah saat semua pilihan dan jalan terbuka lebar, selebar lebarnya. Bayangkan, betapa kita bisa menjadi apapun yang kita mau saat menjadi dewasa. Mau menikah kek, mau hamil kek, mau jadi pengedar narkoba kek, mau jadi TKW kek, apapun itu, terserah. Semua sah atas nama kedewasaan. Sangat berbeda saat kita masih ada di usia pertumbuhan atau remaja, ketika pilihan masih terbatas, dan kita berharap cepat-cepat dewasa agar semua pilihan-pilihan itu menjadi tidak terbatas.

Itu menyebalkan buat saya.

Karena semua pilihan yang tersedia mempunyai resiko dan konsekuensi. Sementara syarat menjadi dewasa adalah menanggung semua resiko dari pilihan yang sudah kita ambil, seorang diri. 
Seperti seseorang yang sedang mengikuti quiz di televisi dan memilih kotak-kotak hadiah tanpa tahu mana yang benar-benar bersisi hadiah, dan mana yang kosong.

Hidup benar-benar permainan dan senda gurau belaka.

Untuk itu, semoga kedepannya, saya bisa mengambil pilihan-pilihan terbaik bagi hidup saya. Tahu betul apa resiko dan konsekuensi yang ada dibalik pilihan-pilihan itu, dan menjadi manusia yang berani bertanggung jawab atas pilihan-pilihan itu. Saat jalan terbuka lebar dari semua penjuru, semoga saya tetap tau apa tujuan saya, hingga tidak perlu mengambil jalan-jalan yang salah. Dan kalaupun salah, semoga saya bisa segera kembali dan menemukan jalan yang tepat. 

Dan akhir kata, selamat ulang tahun, Alifah! 
Semoga diantara pilihan-pilihan hidup yang tidak terbatas ini, kamu bisa memilih yang bisa menyelamatkanmu dunia akhirat. 

Selamat berjuang ya anak cantik. Mimpi-mimpimu masih panjang, jadi jangan menyerah sekarang!

Love you,

Alifah :)

“Semoga hidup ini, kulalui dengan hati yang seterang bintang-bintang, indah bertaburan. 
Tanpa kecewa, amarah, prasangka. 
Dan semoga selalu kujalani perintahMu Tuhan.  
Bimbinglah diriku, penuh kasih, Yang maha pengasih. 
Doaku selalu...” 
(Aku beranjak Dewasa - Sherina)

Minggu, 19 Juni 2016

Minggu

Sudah nyaris tiga jam aku di sini. Duduk dan mengetik. Coffee shop ini terletak tak jauh dari rumahku. tempatnya tenang, mochacinno nya cukup enak, ada view yang menghadap ke jalan raya, dan tentunya saja WiFi gratis.
Aku melihat beberapa pasangan sedari tadi. Mereka berlalu lalang di depanku. Tadi ada sepasang mahasiswa akhir yang belajar akuntansi bersama. Di sebelahnya ada pasangan yang sedari tadi sibuk dengan kameranya. Lalu kini, di sebelahku ada sepasang lelaki dan perempuan yang sedang bercerita aktivitas mereka masing-masing.

Seketika, aku membayangkan kamu. Mungkin menyenangkan jika kamu ada di depanku sekarang. Kamu mungkin akan bermain game atau sekedar melihat 9gag. Tak perlu mengobrol, karena aku cukup sibuk. Kamu didepanku saja, sepertinya sudah menjadi ide yang menyenangkan.

Kamu mungkin belum tahu informasi bahwa kamu selalu saja jadi orang yang aku bayangkan di segala situasi. Seakan, aku tidak punya orang lain yang bisa menggantikanmu di pikiranku. Saat aku berjalan di mall sendirian, aku membayangkan kamu. Saat aku duduk di depan meja belajar, aku membayangkan kamu. Saat aku duduk sendiri di malam ini, aku kembali membayangkan kamu.

Itu terasa menyebalkan sekaligus menyenangkan. Kadang aku menghela nafas panjang dan mencoba mengusirmu pelan-pelan dari pikiranku. Tapi kadang, aku menikmatinya sambil tersenyum.

Malam ini aku memilih yang kedua. Mengingatmu sambil tersenyum. Karena aku baru ingat, ini tepat 4 minggu dari perpisahan minggu itu.

Sudah sebulan.




Percakapan keenam: Tebakan

Berdebat dengannya tidak hanya sanggup melumpuhkan jaringan saraf logisku, tapi juga saraf emosiku. Seketika, aku tak punya kalimat yang sanggup aku gunakan sebagai pedang untuk melawannya. Aku hanya memiliki nafas yang memburu dan keinginan untuk lekas mengahiri perdebatan demi perdebatan dengannya.   

“Ada beda yang jelas antara kamu butuh aku, dengan kamu butuh seseorang. Antara kamu nyerah sama hubungan ini, dengan kamu nyerah sama aku. Antara kamu engga mau perjuangin hubungan ini, atau kamu yang emang engga mau berjuang demi aku?” 

Kali ini, dia kembali datang membawa pertanyaan-pertanyaan. Entah dia yang terlalu banyak berfikir, atau aku yang memang terlalu logis, atau sebaliknya.  

“Coba kamu pikir baik-baik. Kamu itu nyerah sama aku, bukan sama hubungan ini. Kamu engga mau berjuang kalau cuma demi aku, kamu bahkan engga mencoba perjuangin hubungin ini. Dan mungkin.... Mungkin... Mungkin, kamu engga butuh aku, karena kamu cuma butuh seseorang”  

Aku diam. Ingin menjawab dan sekaligus menciumnya agar lekas diam. Entah mana yang harus lebih dulu aku lakukan.   

“Aku engga pernah nyerah sama kamu. Tapi iya, aku nyerah sama hubungan ini. Aku mau berjuang demi kamu. Dan kamu dan semuanya yang ada di kamu, adalah apa yang aku mau. Coba kamu pikir baik-baik, apa kamu juga begitu?” 

 Setiap kali dia marah, kecewa, atau apapun itu, semua kalimat demi kalimatnya diucapkan dengan tenang. Tanpa intonasi atau suara yang meninggi. Seperti lautan yang tampak tenang namun bergemuruh di dasarnya.  

Dia selalu sanggup memaksaku berfikir dan menyeretku pada satu ketakutan: bagaimana jika dia ternyata benar?  


Sial!




Kamis, 16 Juni 2016

Percakapan kelima: Kejujuran

"You try so hard to figure out. Just what it’s all about. 
You’ll find it on, and on, and on. For what you know it’s true. 
And I say go on and on and on. 
Do all what you can do!"
(Go Now - Adam Lavine)


“Kalau aku harus mencintai kamu, aku mau mencintai kamu dengan aku yang sepenuhnya menjadi aku”  

“Memang selama ini, kamu mencintai aku dengan cara yang seperti apa?”  

“Bukan caranya, tapi aku mau dan harus menjadi aku, saat aku mencintai kamu”  

“Memang selama ini, kamu menjadi siapa saat mencintai aku?”  

“Menjadi aku yang belum kamu tau tentang aku”  

“Bisa lebih spesifik?”  

“Aku ini monster!”  

“Hahahaha...”  

“Aku serius”  

“Boleh ketawa sampai selesai dulu engga?”  

“Engga!”  

“Oh oke. Kamu monster, lalu?”  

“Aku mencintai kamu”  

“Tapi kamu ternyata adalah monster?”  

“Iya. Aku monster dan aku mencintai kamu”  

“Lalu apa yang berubah?”  

“Aku monster. Dan aku bisa merusak kota, jalanan, hingga membuat semua menjadi berantakan. Mungkin kamu juga akan ikut berantakan. Karena aku ini monster. Aku engga bisa bilang kalau aku ini bukan monster, padahal aku ini monster. Aku ingin mencintai kamu seperti ini. Makanya, mulai mulai detik ini, aku akan mencintai kamu sebagai monster. Sebagai diriku sendiri”  

“Sebagai monster?”  

“Iya”  

“Lalu?”  

“Itu yang harus kamu jawab. Aku adalah monster yang mencintai kamu. Lalu bagaimana?”  


Dia diam. Seperti biasanya. Mungkin aku menyakitnya lagi kali ini. Seperti yang selalu rutin aku lakukan dan ia lakukan. Tapi menurutku, tidak ada cara yang lebih baik dari memberitahunya tentang aku dan bagaimana aku ingin mencintainya. Jika cinta memang semurni apa yang orang gadang-gadangkan, artinya kebenaran adalah hal yang harus ia ketahui. Tentang bagaimana aku ingin melihatnya dan bagaimana aku ingin dia melihatku pada warna yang sebenarnya. Pada aku yang sebenarnya.  

“Aku mencintai kamu” Katanya  

“Sebagai monster?”

Dia menatapku, sendu.



Minggu, 22 Mei 2016

Keep Breathing

The storm is coming but I don't mind
People are dying, I close my blinds

All that I know is I'm breathing now

I want to change the world Instead I sleep
I want to believe in more than you and me
But all that I know is I'm breathing

All I can do is keep breathing
All we can do is keep breathing now
All that I know is I'm breathing

All I can do is keep breathing.
All we can do is keep breathing  
All we can do is keep breathing
All we can do is keep breathing
All we can do is keep breathing
All we can do is keep breathing
All we can do is keep breathing now.....

(Iingrid Michaelson)

Rabu, 23 Maret 2016

Percakapan keempat: Menebak Masa Senja

Andaikan kau datang kembali, jawaban apa yang ku beri? Adakah jalan yang kau temui, untuk kita kembali lagi...?  

“Kalau kamu udah tua, kamu pasti jadi kayak gitu tuh...” Katanya tanpa memandangku.
“Gitu gimana?”  
“Ya gitu, kalau ada mic nganggur, pasti kamu ambil trus jadi volunteer dan nyanyi lagu-lagu melow... Ya kayak bapak-bapak itu....”  

Kami sedang memesan Chinese food di sebuah food court pinggir jalan malam tadi. Dan memang saat kami menunggu satu porsi cap jay dan satu porsi kwetiau goreng selesai dibuat, kami mendengar alunan lagu-lagu lama yang dinyanyikan oleh para pengunjung yang bersedia. Lagu Ruth Sahanaya itu dinyanyikan dengan baik oleh si pengunjung. Bukan suara yang merdu memang, tapi tidak bisa dikatagorikan sebagai suara yang sumbang juga. Cukup baguslah, apalagi ketika menyanyikan nada-nada tinggi, tidak mengecewakan sama sekali.

Tidak jauh dari panggung kecil jadi-jadian yang disediakan di sana, ada sebuah keluarga yang juga sedang menunggu makan malamnya jadi. Dan kemudian si bapak, tanpa komando berdiri dan mengambil peran untuk menyanyikan lagu selanjutnya. Sementara si istri hanya sibuk bercengkrama dengan keluarga yang lain sambil sesekali melihat telepon genggamnya.

“Kita kalau udah tua kayak apa ya?” Dia kembali bertanya
“Ya bisa jadi kayak apa yang kamu bilang itu, aku bakal sering nyanyi-nyanyi, dan kamu akan lebih sering marah-marah” Dia lalu merespon dengan sebuah cubitan di punggung tanganku.
“Kok kamu nyanyi-nyanyi, aku yang marah-marah sih?” katanya sambil mendelik.
“Ya udah, menurut kamu, kalau kita tua kita akan gimana?” Dan aku akan siap mendengar jawaban filosofisnya kembali berkumandang tentang konsep masa tua di pikirannya.

“Hmm... Kalau kita udah tua, kita jalan-jalan aja berdua. Naik gunung, turun gunung, nyempung ke laut, trus pelukan di tenda” Katanya bersemangat
“Itu kita umur berapa ya?”
“Hmmmm 50?” 
“Aku engga kuat naik gunungnya. Kamu aja, aku tunggu di bawah” 
“Ih... Kuat kok kuat. Kan kamu udah kakek-kekek. Nanti pasti banyak yang bantuin” 
“Kamu mau kita jalan-jalan aja pas udah tua?” 
“Daripada kita di rumah, nungguin cucu pulang? Mending kita jalan-jalan aja kan?” 
“Aku mau jadi penyanyi aja gimana?" Kataku menawarkan
"Boleh aja. Aku penari latar ya?"

Membicarakan masa tua bersamanya adalah salah satu kegemaranku. Sambil memadang matanya yang penuh dengan angan dan cita-cita itu, seakan aku ingin melompati masa-masa ini dan langsung menuju ke masa itu.

“Kita bisa engga ya sampai tua nanti tetep begini?”  tanpa melihatku, dia kembali bertanya. Sebuah pertanyaan yang ia ajukan untuk dirinya sendiri. Dia mungkin tidak pernah sadar, bahwa saat menanyakan hal-hal seperti itu, ia sungguh terlihat rapuh.

Bersinarlah bulan purnama, seindah serta tulus cintanya... Bersinarlah terus sampai nanti. Lagu ini kuakhiri...  


Di sambut sorai sanak keluarga yang mendengarkan si bapak bernyanyi, aku memandangnya penuh takzim.

“Apa sih liat-liat?” Katanya malu.
“Kalau kamu udah tua, kamu pasti cantik banget”
“Dan kamu pasti renta banget!” Katanya dengan pipi bersemu merah muda.


_______



Jumat, 18 Maret 2016

Sebuah Siang Di Demangan 24

Teringatlah  saya bahwa Jumat 3 minggu lalu, saya sebegitu kacaunya. Lalu Jumat hari ini, saya berada di Unisi, berkumpul bersama para penyiar, dan direktur utama sambil tertawa-tawa, membicarakan hal-hal seputar kita. Sambil memesan makan siang berupa pepes via Gojek. Tadinya saya mau beranjak, namun urung melihat betapa menyenangkannya suasana siang ini.

Demangan 24 tidak pernah gagal membuat saya melihat syukur dalam hal yang sederhana.

Hidup memang akan menjadi baik-baik saja.


Minggu, 13 Maret 2016

Percakapan Ketiga: Awal Mula

Matanya sayu, rambutnya sebahu, tidak memakai pemulas bibir atau pelentik bulu bulu mata, namun wajahnya tetap saja ayu. Dia tampak misterius pada awalnya. Sungguh sulit mengejar langkah kaki dan pikirannya. Dia seperti punya semestanya sendiri, orbit-orbitnya sendiri, dan tata suryanya sendiri. Dan hanya dia, hanya dia yang akan berputar di dalamnya. Seakan tak ada yang bisa masuk dan diperkenankan menganggu tatanan itu. Tidak juga aku, lelaki yang sungguh tak memiliki apa-apa selain rasa penasaran padanya. Caranya bicara, caranya mengerling, caranya tersenyum, bahkan caranya memegang hidung setiap kali kepedasan adalah bius. Saat itu, tak ada yang paling sering menganggu malam-malamku selain pikiran untuk bergabung dengan semestanya. Kupikir rasa penasaran tak cukup kuat untuk meyakinkannya.  Namun ternyata, yang dia butuhkan memanglah hanya sebuah rasa penasaran. 

“Kamu inget engga gimana susahnya aku ngejar kamu waktu itu?” Aku bertanya.
“Masa sih? Sesusah apa? Emang aku jual mahal?” 
“Engga. Kamu engga jual mahal” 
“Lah, trus?” 
“Tapi kamu tuh kayak punya sekat dan tembok yang engga kasat mata, dan bikin siapapun itu, cuma bisa ada di luarnya…” 
“Oh ya?” Tanyanya. 
"Iyalah... Kamu setiap kali diajakin pergi, kayaknya aja bisa, tapi ujung-ujungnya ga bisa... Aku udah beli 2 tiket nonton konser tuh waktu itu, gara-gara kamu bilang kemungkinan besar kamu ada waktu. Lah tapi apa? Akhirnya ga jadi juga...."
"Iiiih dibahas loh! Itukan...."
"Kamu lagi mens. Jadi ga mood. Iya..."
"Trus, inget ga, waktu aku nawarin kamu buat pulang bareeng, pasti adaaaa aja alasannya..."
"Ya kan karena rumah kamu sama rumah aku engga satu arah. Ya ngrepotin lah..."
"Ngerepotin apa engga, urusan aku kali"
"Ini kita lagi bahas yang dulu-dulu ya?"
"Iyalah.. kan aku tanya, kamu inget engga, gimana susahnya aku buat ngedeketin kamu"
"Trus, gimana ceritanya sih dulu tuh, aku bisa mau?"
"Lah, kamu inget engga gimana?"
"Oh iya, aku inget, tiba-tiba kamu ngajak aku ke pameran toko antik... "
"Itu karena aku tau, kamu belom pernah kesana... "
"Gitu ya?"
"Kalau aku ngajak kamu nonton, kamu seakan bisa nebak apa yang bakal terjadi selanjutnya...Dan buat kamu, apa yang ketebak itu, bikin kamu males. Engga ada tantangannya. Tapi kalau ke pameran toko antik, itu hal yang baru buat kamu.. "
"Waaaaaw... kamu kok bisa sih menganalisis kayak gini?"
"Awalnya sih engga... sekarang aja aku bisa paham"
"Hmmm... aku seribet itu ya? Trus, kenapa menurut kamu kita bisa kayak gini? Sedeket ini?"

“Karena aku minta kamu untuk keluar. Keluar dari tembok kamu... " Aku terdiam. 
"dan kita bisa kayak hari ini, itu karena kamu yang berkeputusan untuk ngajak aku masuk kedalam” 

“Hmmm.. “ Katanya sambil mendekat ke arahku dan menaruh kepalanya dengan aman di dadaku. Sambil sibuk memperbaiki posisinya dia bertanya, “Trus, apa rasanya udah ada di dalam? 

“Hanyut...” 

Kadang aku berpikir bahwa apa yang aku lakukan pada diriku sendiri adalah sebuah ketidakadilan. Perempuan ini memasangku menjadi salah satu orbitnya. Membuatku bergerak mengeliling lingkaran hidupnya. Dialah sentranya, dialah pusat tata suryanya. Dia akan lunglai kalau aku pergi. Tata suryanya akan goyah kalau aku pergi. Aku tau itu.  

Doaku memang terkabul, bahwa aku menjadi bagian dari hidupnya saat ini. Aku diam dalam rotasiku. Terhanyut dalam perputaran tata surya ini. Aku adalah bagian penting dalam sistem ini. Aku juga tau itu. 

Aku pria yang hanyut didalamnya. Semesta dan pelukannya.


____


Hal-Hal yang Tidak Bisa Dipaksakan

“Nikmatilah saja kegundahan ini, segala denyutnya yang merobek sepi, kelesuan ini jangan lekas pergi, aku menyelami sampai lelah hati…”  

(Melankolia – ERK)  

Saat make up sudah lengkap terpasang di wajah, baju paling necis sudah terpakai di badan, lengkap dengan high heels dan tas yang serasi, siap untuk pergi menghadiri sebuah pesta. Lalu kemudian, hujan deras tumpah di luar sana. Padahal oh padahal, pesta itu akan dilakukan di sebuah taman yang sudah dirancang agar para tamu bisa bergembira.  

Saat VW kombi dibawa jauh-jauh menyusuri jalanan menuju Yogyakarta dari Ibu kota. Diniatkan untuk dapat menampung manusia-manusia yang ingin menghadiri pesta perkawinan seorang teman. Lalu di sebuah pagi, saat acara akan dimulai 4 jam lagi, VW itu mendadak mogok, tidak mau jalan, dan membuat para manusianya kalang kabut, hingga memesan mobil lain untuk membawa mereka ke tempat tujuan. 

Saat seorang wanita sudah bangun pagi-pagi buta, memotong bawang putih dan merah, menyiapkan bumbu masak, dan siap untuk memasak makanan yang akan dibawanya pada acara arisan keluarga. Tak lama, masakannya pun siap. Dimasukannyalah makanan itu ke dalam perbekalan yang rapi, lalu si wanita bersiap mandi untuk setelahnya mengunakan baju yang paling trendi. Tersadar, ternyata ia sudah cukup terlambat. Lalu ia pun memasukan barang-barangnya ke dalam mobil dengan tergesa-gesa. Saat berada di jalan, ternyata ia salah membawa tempat makan. Parahnya, ia terjebak dalam kemacetan. Tak bisa berbalik pulang tapi malu untuk datang ke arisan.

Dalam hari ulang tahun seorang gadis berusia 17 tahun, ia sudah berencana akan membuat pesta perayaan yang sangat meriah. Dia sudah menyiapkan lokasi, undangan sudah ia buat, baju yang paling baik sudah ia beli, dan ia siap menggelar hari ulang tahunnya yang ke 17. Namun ternyata di hari yang sama, sebuah konser anak mudapun digelar. Alih-alih ramai, pesta ulang tahunnya dihadiri oleh sedikit orang, itupun hanya sekejap.  

Begitulah hal-hal yang tidak bisa dipaksakan. 

Seperti halnya para anak kelas 1 yang harus berjalan menuju ruang kelas saat masa-masa SMA. Dimana naasnya, tidak ada jalan menuju ruang kelas selain melewati ruang kelas anak kelas 3 yang sungguh menyebalkan itu. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menundukkan kepala dan mengucapkan salam setiap kali melewati mereka. Doa agar pihak sekolah membuatkan jalur khusus untuk anak-anak kelas 1 pun rasanya mustahil. Pilihannya adalah antara menunggu sampai anak-anak kelas 3 itu masuk kelas, yang artinya mereka akan terlambat masuk kelas. Atau, berjalan tertunduk dan terima nasib kalau ada yang meneriaki mereka pada saat itu.  

Seperti itulah hal-hal terjadi tanpa bisa diubah. 
Tidak bisa dipaksakan. 

Hari berjalan karena harus berjalan. Kamu di kepalaku masih saja bersemayam. Perasaanku masih saja diam. Rindu masih sering bertandang. Dan aku mulai lelah pada harapan.

Apa yang bisa aku paksakan? 




Tentu saja tidak ada.

Jumat, 11 Maret 2016

Percakapan Pertama: Melebur

“Ini menjadi tidak masuk akal. Kamu pikir, jika dua orang bersama itu, artinya salah satunya harus melebur ke dalam satunya lagi? Lalu menjadi sebuah kesatuan, begitu?” Kutanggapi kamu dengan sisa-sisa sabar yang aku punya.  

“Lalu, kenapa kita harus bersama jika kita tidak saling melebur?” Dan dia masih bertanya.  

“Kamu berkiblat ke arah mana sih? Oke, kalau gitu, sekarang pertanyaannya, siapa yang akan melebur diantara kita? Aku atau kamu?”  

“Aku” Katamu begitu saja. Enteng.  

“Sudah begitu saja?”  
“Iya...” Katamu lagi tanpa ingin menyampaikan pembelaan.  

“Kamu melebur? Ke dalamku? Begitu maumu? Itu maumu?” 

Seketika diam menyusup pelan dalam perbincangan kami. Lalu kami terpaku diam pada masing-masing ketidakmengertian.  

“Tidak ada yang perlu melebur. Tidak aku, dan tidak juga kamu. Bahkan tidak ada yang perlu dikorbankan. Tidak cita-citamu, tidak juga cita-citaku. Alasan kita bersama bukan untuk saling mengalah, saling menenggelamkan mimpi, atau apalah katamu tadi saling melebur. Melebur dari mananya? Yang kamu sebut itu bukan melebur, tapi membunuh jiwa. Itu yang kamu sebut pernikahan?”  

“Lalu, jika keduanya harus hidup dalam mimpi kita masing-masing, siapa yang akan mendukung? Siapa yang harus mengalah? Lantas, apa bedanya kita dengan dua orang asing yang hidup di bawah satu atap?”  

Mendengarnya, kesabaranku tak lagi kuat hingga mendorongku untuk setengah berteriak “Oh Tuhan, kamu habis makan apa sih tadi pagi?”  

“Mungkin secangkir realita, cukup membuatku terjaga..”  

Lalu aku dengar helaan nafasnya. Berat dan pasrah. Sebuah rasa frustasi karena ingin membuatku mengerti sesuatu tapi gagal. Seakan ingin membuatku paham sesuatu tapi malas beradu pendapat.   

“Begini ya, kita, aku dan kamu akan berjalan bersama. Saling mendukung pada setiap langkah yang kita jalani. Menikah bukan untuk melebur. Menikah itu diciptakan untuk orang-orang yang siap untuk saling mendukung. Kamu dan aku tidak perlu melebur. Kita hanya perlu saling menegur jika salah langkah. Aku tidak perlu menjadi kamu, kamu tidak perlu menjadi aku. Kita hanya cukup menjadi kita.... Tidakah itu sangat sederhana untuk dipahami?” Kataku pelan-pelan.

Dia hanya berdiri, mengecupku, dan berkata “Nanti kamu terlambat masuk kantor”  

Dia pun melangkah dengan berat. 

Selalu begitu!


____

Dalam tulisan bersama Felix dan Saya. 

Percayalah, Aku Juga Ingin Di Sini Bersamamu

“Akhirnya semua terjadi juga, yang aku elakkan dan yang aku takutkan… “
 (Tentang Hidup – Sheila On 7)  

Semoga kamu tidak menganggapku sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan atau tidak memiliki hati. Hanya karena aku menjadi pihak yang meninggalkanmu.  

Ah, meninggalkan bukanlah hanya. Maaf. Maksudku, karena akulah diantara kita berdua yang pergi duluan dari kisah ini. 

Kalau kamu pikir menjadi seseorang seperti aku itu mudah, maka akan kuberitahu padamu satu hal, bahwa tidak ada hari yang aku lewati sejak hari itu, selain hidup dalam penyesalan. Kumakan waktu untuk berpikir, bahwa seharunya masih ada satu detik lagi yang bisa kuhabiskan bersamamu. Kuharap kamu tau, bahwa sepertimu, inipun tidak mudah untuk aku jalani. 

Tapi sayang, oh sayangku, cobalah pahami, jika kita bersama lalu apa yang sebenarnya kita genggam? Bukankah detik dan detik yang coba kita habiskan itu hanya akan memperkuat perasaan kita saja? Maka kutawarkan padamu kesempatan agar kita tetap menjadi baik-baik saja. Bukan untuk membuat kita tampak buruk, tapi untuk menjaga agar tidak terbesit benci di tengah hati kita yang sungguh sebetulnya baik-baik saja.  

Walau akupun tau, jika aku memintamu untuk tidak membenciku, maka aku akan menjadi orang paling tidak tahu diri yang ada di galaksi ini. Kamu akan membenciku karena membuatmu terluka. Aku sudah tau konsekuensi itu. 

Kisah ini sayangku, tidak dirancang untuk aku dan kamu. Kita hanya meminjam kesempatan ini. Ini hanya perkara siapa yang lebih dulu mau meninggalkan kisah ini. Ini bukan tentang aku yang pergi, atau kamu yang pergi. Kita berdualah yang harusnya mengosongkan kisah ini.  

Akupun sayang, tidak ingin menginggalkanmu, tapi coba katakan padaku, pada kisah yang mana lagi yang harus kita pinjam? Pada akhir seperti apa yang akan kita tuju? Tidakah pertanyaan itu membebani kita berdua?  

Pergi darimu tidak merubah apapun. Kamu masih di tempatmu yang dulu. Aku akan menyimpanmu baik-baik disitu.  

Tapi kita hanya harus beranjak, kau juga tau itu. Bukankah begitu, sayangku?   

___

Sebagai balasan dari sebuah tulisan Felix Kriz dalam "Menjadi Orang yang Meninggalkan" 
https://satyaadrikrisnugraha.wordpress.com/2016/03/10/menjadi-orang-yang-meninggalkan/




Siapa yang meninggalkan atau siapa yang ditinggalkan, apa bedanya? Bukankah keduanya sama-sama bertarung dalam kesendirian? Tanpa perlu mengukur siapa yang lebih terluka dari siapa, bukankah keduanyapun mengalami malam-malam panjang? Tidak perlulah legitimasi siapa yang meninggalkan atau ditinggalkan. Kedunya adalah pihak yang pergi atas nama perpisahan. 

Senin, 07 Maret 2016

Rutinitas

"Sungguh semangatku jatuh dan jatuh kepadamu"
(Nyali Terakhir)


Aku ingat rutinitas yang cukup kerap berulang dalam beberapa bulan yang lalu. Saat malam benar-benar sempurna menghitam, mata sudah siap terpejam, guling sudah berada di pelukanku, dan lampu kamarku sudah padam, maka aku akan menutup hari dengan mendengar suaramu.   

Aku akan berada dalam posisi paling nyaman untuk tidur saat aku mendengar kamu memulai dengan,

“Halo...”

Lalu aku ingat, selebihnya, detik-detik akan berubah menjadi menit yang tanpa sadar akan menjelma menjadi jam, dengan obrolan yang berjalan kesana dan kesini tanpa bisa kita kejar. 

Sesekali kamu atau aku hanya akan berkata,
 “Hmm..”,

“Iya...”,

“Oh...” 

karena tak ada lagi kata yang sesungguhnya ingin aku atau kamu sampaikan. 
Namun tidak ada yang benar-benar sanggup menuntup malam itu dengan berkata,

“Udah ya....”

Kalau sudah begitu, maka jalan tengahnya adalah membiarkan salah satu diantara kita tertidur duluan tanpa meninggalkan lainnya. 

Atau diam.    

Kita sering membiarkan menit demi menit mengawasi kita berdiam. Kamu dan aku dengan pikirannya masing-masing. Seakan tak ada yang ingin kita lakukan selain diam. Seperti saling memandang tanpa harus merasa malu. Seperti saling bahagia tanpa perlu ketahuan. Diam bagi kita mungkin seperti suara yang paling harus terdengar tiap malam. Dan diam bagiku adalah nyanyian nina bobo. Jujur dan tenang.     

Lalu kemudian kamu akan tertawa. Jika malam semakin larut dan aku mendengar kamu tertawa di sebelah sana, aku sungguh tersenyum senang disini. Rasanya, tidak ada yang ingin aku lakukan malam itu selain memintamu melakukan hal yang sama berulang-ulang kali. Aku mau kamu tertawa dengan tawamu yang selalu membuat aku jatuh.   

Tidak usah dibahas apa yang kita bicarakan. Karena bukan kata-katanya yang akhirnya menjadi penting. Tapi kamu disana, dan aku disini, dengan satu malam yang sama adalah hal paling sederhana yang ingin aku miliki selamanya.   

Begitulah malam-malam itu menjadi rutinitas...   

Dan kini, aku ketakutan menghadapi malam.   

Bagaimana lagi caranya agar malam ini aku selamat dari hati yang akan sangat berisik meminta agar aku kembali mendengar diam. 
Aku sampai lelah meyakinkan mereka bahwa aku harus lekas tidur tanpa perlu rutinatas apapun lagi. Tapi mereka tak mau paham. Dan aku tak tau bagaimana membuat mereka paham bahwa tak akan ada lagi diam. Tak akan ada lagi alunan diam aku dan kamu.    

Dan kini setiap malam, aku harus bersabar dengan rengekan hati yang meminta untuk membuat malam ini berhias dengan diam.   

Dan begitulah.   
Begitulah...

Inilah kini nina bobo itu: suara hati yang sakau.


Sabtu, 27 Februari 2016





Aku cukup yakin, kamu satu paham dengan lagu ini.
Dan setiap kali aku dengar ini, seperti aku dengar kamu mencoba meyakinkanku bahwa kamu sebenarnya tidak kemana-mana. Lalu, aku harus percaya, kalau kamu memang tidak kemana-mana?


Aku ingin sekali marah.

Kamis, 04 Februari 2016

Perbandingan

Saya pikir, tidak ada satupun orang yang benar-benar bisa berbagi cinta.
Ya.. seperti isu poligami misalnya. Walaupun saya harus mengakui itu ada dan diperbolehkan di agama, tapi entah kenapa saya selalu berdoa agar itu tidak akan pernah terjadi dalam hidup saya. Alasannya bukan karena status sosial atau itu berpotensi diomongin oleh satu Indonesia Raya. Alasannya justru sangat pribadi, karena saya engga akan tahan berbagi hak pakai suami dengan orang lain. Atau bisa jadi juga karena saya adalah tipe wanita posesif, jadinya konsep berbagi suami itu engga akan pernah ada dalam cita-cita saya.

Ah engga taulah…

Tapi apapun alasannya, rasanya sulit untuk membayangkan bahwa saya bukanlah wanita satu-satunya. Membayangkan akan ada malam-malam dimana suami saya akan bersama wanita lain, ah… itu sudah lebih dari cukup membuat saya mules. Engga mau, ya Allah. Engga kuwat.. 

Untuk itulah, hormat saya pada teh nini sungguh amat besar.

Anyway… Saya jadi ingat sebuah drama korea yang saya lupa apa judulnya, tapi itu tentang perselingkuhan. Ceritanya sederhana, ada dua keluarga, A dan B. Keluarga A adalah keluarga terpandang, kaya, dan sangat berkelas di Korea. Sementara keluarga B adalah keluarga sederhana, yang sang suami cuma kerja jadi pegawai bank dan si wanita ibu rumah tangga. Perselingkuhan terjadi oleh lelaki dari keluarga A dengan wanita keluarga B. Lebih pelik lagi karena suami si keluarga A juga pernah berselingkuh dari istrinya dengan wanita lain. Jadi, satu-satunya orang yang tidak berselingkuh di drama korea itu adalah si wanita dari keluarga A alias istri dari keluaraga A. Paham kan?

Drama korea itu hanya memiliki episode yang pendek. Engga sampai 20 an kalau engga salah. Tapi saya harus mengakui, kalau saya baru paham apa esensi sakitnya orang yang diselingkuhi saat sudah berkelurga dari drama korea itu. Cara yang sangat cerdas dan ngena!
Sekaligus menjelaskan pada saya mengapa tidak ada orang yang sanggup berbagi hati.
Satu adegan yang akhirnya membuat saya paham, terjadi saat ada pertengkaran di keluarga si A. Sang suami menjelaskan pada sang istri bahwa walaupun dia dan wanita dari keluarga B itu sempat jalan bersama, tapi mereka tidak sampai melalukan hubungan seksual. Dan si lelaki itu memang berkata jujur. Saat perselingkuhan itu terjadi, mereka hanya pergi makan atau ke toko buku bersama. Tidak lebih dari itu. Tapi sang istri, dengan tenangnya berkata, yang kurang lebih kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia begini, “Aku bisa bertahan untuk engga cerai. Demi anak-anak, demi status sosialmu, semuanya bisa aku tahan-tahanin! Tapi jangan pernah minta aku buat memahami kalau kamu itu engga ngapa-ngapain. Karena setiap kali aku liat kamu, sejak aku tau kamu pergi sama dia, yang ada dipikiranku cuma satu. Kalian, ngapain aja? Dia ngapain aja?”

Si suami merasa kehabisa tenaga menjelaskan, dan kembali mengulang penjelasan yang sama kalau dia, tidak melakukan apa-apa dengan si wanita selingkuhannya. Tapi itu tidak cukup kuat membuat si istri paham. Dan pertengkaran tanpa lempar gelas dan adegan tertabrak mobil itupun berakhir dengan si wanita pergi dari ruangan meninggalkan si pria yang terdiam.

Kodrat manusia memang ingin memiliki sesuatu dengan seutuhnya. Tidak separuh, seperdelapan, atau cumi seuprit. Maunya ya sepenuhnya, tidak boleh dibagi, dan tidak bisa dibagi. Perasaan sedih dari seseorang yang diduakan untuk alasan apapun, menurut saya bukan karena perasaan tergantikan. Toh semua orang juga pasti pernah meninggalkan atau ditinggalkan. Jadi perasaan tergantikan itu sebenarnya lumrah. Perasaan sedih dan nyerinya itu, datang dari keharusan untuk mentolerir atau dengan sadar menerima bahwa ada seseorang lain disana, yang bisa atau yang pernah menggantikan peran kita.

Akhirnya perasaan yang muncul adalah perasaan untuk dibandingkan. Dan menerima bahwa kita ternyata mempunyai pembanding, sungguh bukan hal yang sederhana untuk di terima.  

Itulah mungkin yang membuat isu poligami sulit diterima, yang membuat perselingkuhan sulit dimaafkan, dan yang membuat hubungan kita dengan mantannya pasangan kita akan selalu buruk. Apakah ada orang yang benar-benar cinta, bisa ikhlas lahir batin berkata “Aku ga bisa jemput kamu nih, minta jemput mantan  (suami) kamu aja ya… “  

Kan sarap!

***
Saya belum menikah, saya tidak dipoligami, dan saya tidak pernah punya pengalaman diselingkuhi. Tapi malam ketika saya melihat sebuah foto wanita. Sontak hati saya nyeri dan berkata pelan “Oh… jadi ini yang dulu pernah….”



Ah sudahlah….

Rabu, 03 Februari 2016

Berjaga

There are things I miss 
That I shouldn’t, 
And those I don’t 
That I should.  

Sometimes we want 
What we couldn’t— 
Sometimes we love 
Who we could 
(Acceptance – Lang Leav)  


Ada sebuah pesan yang datang pukul 03:07

“Kalau hidup itu soal kuat sabar-sabaran, maka kedamaian hidup itu soal maaf-maafan. Termasuk maafin diri sendiri. #Notetoself” 

Disambung dengan pesan lainnya,

“Aku berdoa buat kamu, supaya kamu bisa bahagia ;)”  

Dua buah pesan, dari kamu!
Hah?
Apa?
Dari kamu?

Begitu tau itu pesan dari kamu, aku seperti memaksa bangun semua nyawa-nyawaku yang lain agar lekas berada dalam posisi siap sedia. Layaknya sebuah komando perang di subuh buta, karena tetiba kedatangan pesan dari musuhnya, dan sang komandan berteriak “Bangun semua! siap sedia!”

Tak lama setelah semua nayawa terkumpul, tersadarlah bahwa itu adalah pesan perpisahan (alih-alih menyebutnya pesan bunuh diri). Sehari tanpa pesan, dan kini dia datang membawa pesan bunuh diri. Menyebalkan memang! Dasar picisan! 

Saat semua nyawa siap sedia, berada di posisinya masing-masing, aku kembali membaca pelan-pelan, kata demi kata yang ada di pesan itu.  Barulah setelah itu terjadi perdebatan sengit dalam diri tentang respon terbaik apa yang harus dilakukan.

Dan hasilnya adalah, setelah menghela nafas, dan benar-benar berada dalam posisi sadar seutuhnya, tanpa komando dan aba-aba, respon yang keluar adalah air mata. Tidak kalah picisan memang! 

Tersengguklah aku di pagi buta. Menangislah aku dengan hampanya. Benar-benar hampa. Hampa yang sehampa-hampanya hampa. Tidak ada sedih atau gembira. Tidak juga lega atau sesak. Hanya menangis dalam diam. Kosong.

Perdebatan selanjutnya adalah tentang apa balasan yang harus diberikan.

Hingga detik ini, perdebatan itu tak kunjung reda. Para nyawa masih juga berdebat tentan apa yang harus dibalas? Dan kenapa harus membalas?

Karena aku sendiri tidak punya kata-kata untuk membalas.
Ah, bukan! Bukan tidak punya kata. Lebih tepatnya tidak mau membalas dengan kata-kata yang aku mau.

Karena aku tidak mau, meladeni perpisahan.

Kamu saja yang pergi.
Aku mau disini.  



Kalau-kalau kamu kembali.

Selasa, 02 Februari 2016

Jejak

“I look at everything I was,  
And everything I ever loved, 
And I can see how much I've grown”
 (This Time)  

Sudah bulan februari saja, tidak terasa. Rasanya baru kemarin orang-orang heboh untuk membicarakan fatwa valentine itu haram atau tidak untuk diucapkan, eh sekarang sudah sampai lagi kita di bulan perdebatan valentine yang boleh atau tidak diarayakan atau diucapkan ini.

Tapi terlepas dari apakah valentine itu boleh atau tidak, tapi saya pribadi sepertinya membutuhkan asupan coklat yang banyak. Bayangkan saja, saya memulai bulan februari yang katanya penuh cinta ini, dengan sebotol kiranti lengkap dengan adegan berguling-guling di kamar seorang diri. Keram perut itu menyiksa, bung!   

Tapi saya sungguh bersyukur dengan adanya keram perut di awal bulan ini. Gegaranya saya jadi hanya tinggal di rumah, dan kembali menulis! Hore!

Di sela-sela pergulatan dengan keram perut, saya kembali membuka-buka folder foto sambil mendengarkan beberapa lagu di laptop. Bagi saya, membuka folder foto lama dan melihat kembali beberapa pose yang kadang kampungan, kadang kece itu, adalah satu hal yang menyenangkan. Rasanya seperti dipaksa melihat betapa menakjubkannya hidup saya ini.

Saat melihat beberapa foto, saya seperti diingatkan tentang banyak hal yang sudah terjadi. Hanya dari foto, tetiba saya sudah berpetualang jauh ke masa lalu.

Tidak ada dampak yang nyata sih memang, tapi dengan melihat kembali masa lalu, walau itu hanya dengan scrolling ke kanan dan kiri, ternyata mampu membuat saya ingat banyak hal. Salah satunya adalah mengingatkan saya tentang banyaknya hal yang sudah saya lupakan.
Ah tapi kan kita ini, memang gudangnya lupa.
Ya kan?
Lupa tentang betapa jauhnya kita sudah berjalan, lupa betapa hebatnya kita sudah banyak melewati keadaan sulit, dan lupa betapa tangguhnya kita ketika harus dipaksa berdiri oleh kenyataan.

Dan sesederhana melihat foto lama, sanggup membuat kita jadi ingat hal-hal itu lagi.
Saya tersenyum sendiri, saat melihat beberapa foto yang sejarahnya sebenarnya kelam.
Saya juga tersenyum, nyaris menangis, saat kembali melihat foto dengan senyum bahagia saya dan teman-teman yang entah dimana mereka sekarang.

Perasaan ini seperti halnya ketika saya sedang beres-beres kamar. Dimana kadang saya kembali menemukan surat cinta, pernak-pernik pemberian orang, hingga tiket-tiket atau prikitilan yang tidak pernah saya buang. Walaupun dipaksa bagaimanapun saya tidak akan membuang barang-barang kecil yang bagi mama adalah sampah itu.
Alasannya ya seperti hari ini: sebagai pengingat, bahwa saya sudah berada di masa ini, dan tidak lagi di masa lalu. Dan betapa penjagaanNya tidak pernah putus walau sedetik untuk saya hingga hari ini.
Walaupun semuanya terasa  kabur dan abu-abu, tapi semua benda dan foto itu, hadir seperti meteran yang mengukur sejauh apa saya sudah melangkah, sedewasa apa saya, dan seikhlas apa saya hari ini.

Sungguh membahagiakan.

Untuk alasan yang entah apa, tapi sungguh membahagiakan saat saya mengijinkan diri sendri untuk melihat lagi masa lalu. Berenang-renang disana sebelum kembali berjalan maju. Seperti sebuah colokan energi.

Seperti kembali diingatkan alasan apa yang membuat saya bahagia di masa lalu. Apa yang membuat saya sedih di masa lalu.  Mengingat kembali, apa yang terjadi dan apa yang saya lakukan saat itu.

Karena saya membutuhkannya sekarang.

Saya butuh untuk tahu, apa yang akhirnya bisa mengantarkan saya di masa lalu kepada saya di hari ini.
Agar kelak, saat saya di masa depan bertanya hal yang sama, saya di hari ini bisa memberikan jawabannya.



Ahh…

***

Ya Rabb, terimakasih untuk semua kisah. 

Di satu titik

Melihat kalimat pada sebuah buku yang aku tulis pada sebuah malam,



 “Hati yang meletup-letup senang, pada lelaki yang membawa sepiring keceriaan”  




Tidak ada yang abadi.
Tidak juga janjimu untuk menyelesaikan semua puisi.





Hadir

“Kau pun tak lagi kembali…”  
(Memulai Kembali)  

Aku tidak pernah merasa  memiliki apa-apa disini, selain apa yang memang disediakan alam semesta. Ya seperti air dan udara. Selebihnya, semuanya akan hilang dan pergi. Dengan beberapanya sempat aku kecap, sebagian lainnya tidak.  Seperti masalah-masalah yang terjadi kemarin, hari ini, dan esok hari. Bisa juga seperti perasaan sedih dan gembira. Semuanya akan berkunjung datang dan kemudian melangkah pergi.
Jadi sesungguhnya, tidak ada yang benar-benar kumiliki disini.

Selain, tentu saja Dia, yang denganNya kami saling memiliki.
Dan hatiku.
Dan mungkin juga kamu.

Mungkin juga kamu yang sebentar itu,
yang kini sudah siap pergi mengarungi laut biru.

Dan sekali lagi, ternyata tak ada yang benar-benar aku miliki, disini.



“Dan ku, kan memulai kembali….”  
(Monita )

Sepele


Apakah selamanya kita tidak akan pernah bisa melewati patah hati? Apakah kita memang tidak akan pernah aman dari sengatan sedihnya? Apakah patah hati adalah sebuah keniscyaan?

Jika iya, sedih sekali jadi seorang manusia yang harus merasakan patah hati yang bertele-tele itu. Belum lagi sebelum itu, harus merasakan jatuh cinta yang tak kalah peliknya.
Duh… hidup macam apa yang setelah berbahagia lantas harus bermuram durja?

Suatu hari, bertemulah saya dengan seorang teman yang hendak melaksanakan pernikahan. Dia yang seumuran dengan saya sepertinya tidak bisa untuk menahan diri untuk bertanya “Jadi kamu kapan?” kepada saya. Jadi ketika pertanyaan itu terlontar, saya agak kesal.

Eh tapi jangan salah, sebenernya saya ini ingin loh, menjadi orang yang bisa menjawab pertanyaan tentang waktu dengan mantap. Tidak harus tentang topik menikah deh, tentang apa saja boleh. Saya ingin jika saya ditanya pertanyaan ‘kapan’, saya bisa langsung menjawab tanpa keraguan. Seperti kalau ada yang bertanya “Ini jam berapa ya?” dan saya bisa langsung jawab “Jam 2 kurang 5 menit”. Tapi sayangnya waktu dan kesempatan adalah dua hal berbeda. Menanyai jam berapa adalah bentuk ketidaktahuan (atau kesok-eska-esde-an), tetapi bertanya kapan adalah bentuk penasaran. Jika bisa, saya pun ingin bisa menjawab ketika ada yang mungkin iseng bertanya, “Kamu kapan mati?”  dengan jawaban “Ini sebentar lagi dalam 5… 4… 3… 2…1…”.

Oh kembali lagi ke pernikahan. Alih-alih saya jawab, saya balik bertanya kapannya menjadi “kapan kamu yakin kalau dia itu jodohmu?”.
Dan dia diam agak lama. Saya langsung ngeri kalau pertanyaan saya membuat dia membatalkan pernikahannya. Tapi lebih repot kalau dia menikah tapi ternyata tidak yakin. Jadi saya kembali bertanya “Jangan-jangan belum yakin ya?”.
Dan dia mencubit saya sambil menjawab “Aku yakin sama dia itu pas dia melakukan hal yang sepele. Dia ga pernah sekalipun nolak ketika aku minta dia anter jemput aku”. Saya tersenyum, “Kayak gojek gitu ya?”.
Dia mencubit lagi, kali ini lebih kears dan mantap, sambil berkata, “Aku ga pernah minta anter jemput cowo lain selain dia. Dia yang aku harapkan buat ngejemput aku. Dijemput tuh nyenengin tau! Disitu aku yakin, aku bisa hidup sama dia”. Saya manggut-manggut.  “Yaudaaah, kalau kalian besok miskin, suruh dia jadi tukang gojek aja”. Dan teman saya marah. Marah dengan balasan yang tidak terduga, “Itu dia masalahnya, aku ga akan ngijinin dia buat jemput wanita lain selain aku, ibunya, atau keluarganya yang lain tanpa ada aku”.
Oh oke... aneh tapi menarik.

Percakapan itu menggiring saya pada satu pertanyaan, kapan kita merasa yakin terhadap sesuatu? Yakin bahwa ini adalah patah hati dan mari kita pasang lagu-lagu C minor. Atau ini adalah bahagia jadi mari kita joget sambil kayang.
Atau keyakinan adalah sebuah jawaban dari kapan? Ah bisa jadi seperti itu.

Dan menariknya, ternyata keyakinan itu, bisa dengan mudah didapat dari hal-hal yang sangat sepele, begitu juga dengan ketidakyakinan. Semua selalu bermula dari hal-hal yang sepele. Seperti jatuh cinta.

Lalu begitulah misterinya. Kapan yang selalu jadi misteri itu, seringkali sudah terjawab tanpa kita bisa menjawab kapan waktunya,
Lalu kapan saya akan yakin bahwa diantara kita terbentang sebuah rintangan yang luar biasa kokoh. Atau kapan saya bisa diyakinkan kalau tak akan ada yang bisa dilakukan, kecuali, ya kalau kamu amnesia.


Hingga kapan hingga tak ada lagi patah hati?
Dan berani untuk,
memulai kembali?



Argh!

Akar

"If I show it to you now, will it make you run away?  
Or will you stay, even if it hurts, even if I try to push you out,
 will you return?"

(Dark side)  


Beberapa malam yang lalu, saya melihat tayangan Mata Majwa dengan episodenya yang cukup menyenangkan: EKSIL 1965.
Bukan tentang PKI nya dibahas, tapi tentang orang-orang Indonesia di luar negeri yang pada tahun itu sedang belajar di Eropa (khususnya), dan tetiba kehilangan kewarganegaraannya. Alasannya juga bukan karena mereka adalah PKI, tapi karena mereka tidak mendukung pemerintahan orde baru. Bahkan hingga hari ini, masih ada dari mereka yang tidak punya kewarganegaraan, dan sebagian lain memilih untuk menjadi WNA.
Didatangkanlah oleh tim Mata Najwa, para eksil dengan pengalaman mereka.  Cerita mereka cukup sama, dimana pada saat itu, mereka dicabut warga negaranya, diblokade untuk tidak bisa pulang ke Indonesia, dan dibiarkan bertahun-tahun untuk tidak bisa saling kontak dengan keluarga mereka di Indonesia.

Salah satu cerita yang bagi saya menggugah, datang dari seorang eksil yang saat kejadian sedang berada di Ceko. Saat ia menolak pemerintahan orde baru, ia langsung dianggap PKI. Akibatnya, istrinya dipaksa harus menikah dengan orang lain, anaknya dipaksa untuk diganti identitasnya, dan ayahnya dipaksa untuk tidak mengakuinya sebagai anak. Saat Najwa Shihab bertanya tentang apa yang bisa Indonesia perbuat untuk menebus itu, kurang lebih komentarnya seperti ini “Saya pikir semuanya bisa diganti. Saat saya datang ke Indonesia, saya bisa sumbangkan ilmu saya. Pembangunan bisa dikebut. Semuanya bisa diganti, tapi bagaimana bisa perasaan itu diganti? Waktu diganti? Semuanya saya maafkan, kecuali yang satu itu”.

Menarik!

Tayangan itu, lebih tepatnya pengakuan eksil itu, membawa saya pada satu perenungan: sebab-musabab.

Ternyata, dalam hidup kita, akan ada satu hal, yang tejadi jauh di masa lalu kita, yang entah bagaimana kejadianya akan selalu timbul sebagai sebuah sebab. Sebagai sebuah akar. Sebagai sebuah titik mula. Tidak peduli dengan seberapa seringnya kita mencoba memaafkan peristiwa itu, atau sekeras apa kita mencoba melupakan. Atau walaupun itu sudah dimaafkan dan dilupakan sekalipun, tapi itu akan tetap ada disana dan hadir sebagai sebuah sebab.

Masalahnya, tidak banyak yang paham bahwa sebab adalah sesuatu yang layak untuk dihormati! Beberapa orang bahkan dengan lancang berkata untuk dimaafkan saja, dan sebagian lain yang agak kurang ajar berpendapat bahwa itu harus segera dilupakan. Katanya adalah, agar kita tidak menjadi seorang yang pendendam.

Seorang teman, pernah bercerita pada saya tentang bagaimana dia mencoba berdamai dengan masa lalunya. Dia berkata bahwa dia bisa memaafkan semuanya tapi tidak untuk satu hal. Satu hal kecil yang baginya bukan masalah memaafkan atau melupakan, tapi lebih kepada ketidak sanggupan dirinya untuk menalar peristiwa itu.
“Sampe hari ini, ga ngerti aku gimana bisa dia kayak gitu” 

Tidakah orang-orang itu paham, bahwa ini bukan perkara memaafkan atau melupakan? Karena maaf dan lupa tidak akan pernah merubah sebab musababnya. Tidak lantas bisa merubah akar masalahnya. Ini jelas bukan tentang memaafkan dan melupakan. Ini adalah tentang penerimaan.

Lagipula, bagimana mungkin kita bisa menyalahkan akar saat buahnya sudah siap dipetik?

Disadari atau tidak, bagi setiap orang, sebab itulah yang membentuk dirinya hari ini. Pun saya saat menulis ini, saya tahu betul apa biji sebab yang… yang tidak peduli mau seberapa keras saya melupakan atau memaafkan, tetap akan bergema di hati dan pikiran saya, selamanya. Sama seperti apa yang teman saya bilang  “Sampe hari ini, ga ngerti aku gimana bisa dia kayak gitu”. 

Tapi yang paling membuat saya tidak habis pikir adalah, orang-orang yang seharusnya paham bahwa itu adalah sebab, tidak menganggapnya demikian. Alih-alih menerima, malah menawarkan opsi lupakan dan maafkan.

Bukankah, memaafkan dan melupakan itu adalah urusan pribadi si sepemilik sebab. Tidak perlu diinternvensi orang lain. Justru yang harusnya dipertanyakan adalah apakah sedemikian sulit untuk menerima sebuah sebab dari masa lalu seseorang?

Apakah sebegitu sulit, menerima seseorang sedemikian telanjang?  




Just promise me, 
you will stay. 

(Kelly Clarkson)
© RIWAYAT
Maira Gall