Sabtu, 25 Juni 2016

25 ke 25

"Lihat dirimu, semakin jauh mengayuh.
Lewati segala tujuan hidup yang mungkin kau tempuh"
(Sheila on 7)

25 Juni yang ke dua lima kalinya. Saya mencoba mengingat-ingat kapan ulang tahun yang paling berkesan dalam hidup saya, dan kapan yang biasa saja. Tapi alih-alih mengingat mana ulang tahun yang paling berkesan dan mana yang tidak, saya malah merunut kejadian demi kejadian sejak kecil hingga saya sebesar ini. Seperti ritual tahunan yang selalu saya lakukan di tanggal 25 Juni. Ya walaupun sebenarnya beberapa peristiwa masa lalu itu kerap muncul tiba-tiba, tapi khusus di tanggal 25, saya seperti bermain puzzle kenangan. Menyusun bagian demi bagiannya dan melihat hasilnya dari atas sambil tersenyum.

Setelah itu, saya akan bertanya pada diri saya sendiri, "Ah, sudah umur kesekian, jadi udah ngapain aja Lif?". Menjawab pertanyaan itu, entah kenapa yang akhirnya muncul dalam pikiran saya adalah semua kegagalan demi kegagalan, kesedihan demi kesedihan yang saya alami selama ini. Awalnya membuat saya sedih, tapi setelah dipikir-pikir, 'hey, kalau saya gagal artinya saya mencoba sesuatu. Kalau saya sedih, artinya saya masih punya banyak mimpi dan harapan. Dan hey, itu artinya saya tetap mengusahakan yang terbaik yang bisa saya usahakan untuk hidup saya'. Dan tentu saja itu sangat layak diapresiasi.

Sudah 25 tahun. Sudah dewasa.

Mau tahu apa yang paling menyebalkan dari menjadi dewasa? 
Itu adalah saat semua pilihan dan jalan terbuka lebar, selebar lebarnya. Bayangkan, betapa kita bisa menjadi apapun yang kita mau saat menjadi dewasa. Mau menikah kek, mau hamil kek, mau jadi pengedar narkoba kek, mau jadi TKW kek, apapun itu, terserah. Semua sah atas nama kedewasaan. Sangat berbeda saat kita masih ada di usia pertumbuhan atau remaja, ketika pilihan masih terbatas, dan kita berharap cepat-cepat dewasa agar semua pilihan-pilihan itu menjadi tidak terbatas.

Itu menyebalkan buat saya.

Karena semua pilihan yang tersedia mempunyai resiko dan konsekuensi. Sementara syarat menjadi dewasa adalah menanggung semua resiko dari pilihan yang sudah kita ambil, seorang diri. 
Seperti seseorang yang sedang mengikuti quiz di televisi dan memilih kotak-kotak hadiah tanpa tahu mana yang benar-benar bersisi hadiah, dan mana yang kosong.

Hidup benar-benar permainan dan senda gurau belaka.

Untuk itu, semoga kedepannya, saya bisa mengambil pilihan-pilihan terbaik bagi hidup saya. Tahu betul apa resiko dan konsekuensi yang ada dibalik pilihan-pilihan itu, dan menjadi manusia yang berani bertanggung jawab atas pilihan-pilihan itu. Saat jalan terbuka lebar dari semua penjuru, semoga saya tetap tau apa tujuan saya, hingga tidak perlu mengambil jalan-jalan yang salah. Dan kalaupun salah, semoga saya bisa segera kembali dan menemukan jalan yang tepat. 

Dan akhir kata, selamat ulang tahun, Alifah! 
Semoga diantara pilihan-pilihan hidup yang tidak terbatas ini, kamu bisa memilih yang bisa menyelamatkanmu dunia akhirat. 

Selamat berjuang ya anak cantik. Mimpi-mimpimu masih panjang, jadi jangan menyerah sekarang!

Love you,

Alifah :)

“Semoga hidup ini, kulalui dengan hati yang seterang bintang-bintang, indah bertaburan. 
Tanpa kecewa, amarah, prasangka. 
Dan semoga selalu kujalani perintahMu Tuhan.  
Bimbinglah diriku, penuh kasih, Yang maha pengasih. 
Doaku selalu...” 
(Aku beranjak Dewasa - Sherina)

Minggu, 19 Juni 2016

Minggu

Sudah nyaris tiga jam aku di sini. Duduk dan mengetik. Coffee shop ini terletak tak jauh dari rumahku. tempatnya tenang, mochacinno nya cukup enak, ada view yang menghadap ke jalan raya, dan tentunya saja WiFi gratis.
Aku melihat beberapa pasangan sedari tadi. Mereka berlalu lalang di depanku. Tadi ada sepasang mahasiswa akhir yang belajar akuntansi bersama. Di sebelahnya ada pasangan yang sedari tadi sibuk dengan kameranya. Lalu kini, di sebelahku ada sepasang lelaki dan perempuan yang sedang bercerita aktivitas mereka masing-masing.

Seketika, aku membayangkan kamu. Mungkin menyenangkan jika kamu ada di depanku sekarang. Kamu mungkin akan bermain game atau sekedar melihat 9gag. Tak perlu mengobrol, karena aku cukup sibuk. Kamu didepanku saja, sepertinya sudah menjadi ide yang menyenangkan.

Kamu mungkin belum tahu informasi bahwa kamu selalu saja jadi orang yang aku bayangkan di segala situasi. Seakan, aku tidak punya orang lain yang bisa menggantikanmu di pikiranku. Saat aku berjalan di mall sendirian, aku membayangkan kamu. Saat aku duduk di depan meja belajar, aku membayangkan kamu. Saat aku duduk sendiri di malam ini, aku kembali membayangkan kamu.

Itu terasa menyebalkan sekaligus menyenangkan. Kadang aku menghela nafas panjang dan mencoba mengusirmu pelan-pelan dari pikiranku. Tapi kadang, aku menikmatinya sambil tersenyum.

Malam ini aku memilih yang kedua. Mengingatmu sambil tersenyum. Karena aku baru ingat, ini tepat 4 minggu dari perpisahan minggu itu.

Sudah sebulan.




Percakapan keenam: Tebakan

Berdebat dengannya tidak hanya sanggup melumpuhkan jaringan saraf logisku, tapi juga saraf emosiku. Seketika, aku tak punya kalimat yang sanggup aku gunakan sebagai pedang untuk melawannya. Aku hanya memiliki nafas yang memburu dan keinginan untuk lekas mengahiri perdebatan demi perdebatan dengannya.   

“Ada beda yang jelas antara kamu butuh aku, dengan kamu butuh seseorang. Antara kamu nyerah sama hubungan ini, dengan kamu nyerah sama aku. Antara kamu engga mau perjuangin hubungan ini, atau kamu yang emang engga mau berjuang demi aku?” 

Kali ini, dia kembali datang membawa pertanyaan-pertanyaan. Entah dia yang terlalu banyak berfikir, atau aku yang memang terlalu logis, atau sebaliknya.  

“Coba kamu pikir baik-baik. Kamu itu nyerah sama aku, bukan sama hubungan ini. Kamu engga mau berjuang kalau cuma demi aku, kamu bahkan engga mencoba perjuangin hubungin ini. Dan mungkin.... Mungkin... Mungkin, kamu engga butuh aku, karena kamu cuma butuh seseorang”  

Aku diam. Ingin menjawab dan sekaligus menciumnya agar lekas diam. Entah mana yang harus lebih dulu aku lakukan.   

“Aku engga pernah nyerah sama kamu. Tapi iya, aku nyerah sama hubungan ini. Aku mau berjuang demi kamu. Dan kamu dan semuanya yang ada di kamu, adalah apa yang aku mau. Coba kamu pikir baik-baik, apa kamu juga begitu?” 

 Setiap kali dia marah, kecewa, atau apapun itu, semua kalimat demi kalimatnya diucapkan dengan tenang. Tanpa intonasi atau suara yang meninggi. Seperti lautan yang tampak tenang namun bergemuruh di dasarnya.  

Dia selalu sanggup memaksaku berfikir dan menyeretku pada satu ketakutan: bagaimana jika dia ternyata benar?  


Sial!




Kamis, 16 Juni 2016

Percakapan kelima: Kejujuran

"You try so hard to figure out. Just what it’s all about. 
You’ll find it on, and on, and on. For what you know it’s true. 
And I say go on and on and on. 
Do all what you can do!"
(Go Now - Adam Lavine)


“Kalau aku harus mencintai kamu, aku mau mencintai kamu dengan aku yang sepenuhnya menjadi aku”  

“Memang selama ini, kamu mencintai aku dengan cara yang seperti apa?”  

“Bukan caranya, tapi aku mau dan harus menjadi aku, saat aku mencintai kamu”  

“Memang selama ini, kamu menjadi siapa saat mencintai aku?”  

“Menjadi aku yang belum kamu tau tentang aku”  

“Bisa lebih spesifik?”  

“Aku ini monster!”  

“Hahahaha...”  

“Aku serius”  

“Boleh ketawa sampai selesai dulu engga?”  

“Engga!”  

“Oh oke. Kamu monster, lalu?”  

“Aku mencintai kamu”  

“Tapi kamu ternyata adalah monster?”  

“Iya. Aku monster dan aku mencintai kamu”  

“Lalu apa yang berubah?”  

“Aku monster. Dan aku bisa merusak kota, jalanan, hingga membuat semua menjadi berantakan. Mungkin kamu juga akan ikut berantakan. Karena aku ini monster. Aku engga bisa bilang kalau aku ini bukan monster, padahal aku ini monster. Aku ingin mencintai kamu seperti ini. Makanya, mulai mulai detik ini, aku akan mencintai kamu sebagai monster. Sebagai diriku sendiri”  

“Sebagai monster?”  

“Iya”  

“Lalu?”  

“Itu yang harus kamu jawab. Aku adalah monster yang mencintai kamu. Lalu bagaimana?”  


Dia diam. Seperti biasanya. Mungkin aku menyakitnya lagi kali ini. Seperti yang selalu rutin aku lakukan dan ia lakukan. Tapi menurutku, tidak ada cara yang lebih baik dari memberitahunya tentang aku dan bagaimana aku ingin mencintainya. Jika cinta memang semurni apa yang orang gadang-gadangkan, artinya kebenaran adalah hal yang harus ia ketahui. Tentang bagaimana aku ingin melihatnya dan bagaimana aku ingin dia melihatku pada warna yang sebenarnya. Pada aku yang sebenarnya.  

“Aku mencintai kamu” Katanya  

“Sebagai monster?”

Dia menatapku, sendu.



© RIWAYAT
Maira Gall