Senin, 07 November 2016

Kontemplasi

Aku dapati diriku menyadari sesuatu pagi ini.
Tidak seketika dan tiba-tiba memang, tapi kesadaranku ini  memberikanku sedikit penjelasan.

Alasan aku memilih dan bertahan dalam pekerjaan ini, dan menolak semua pekerjaan lain. Bukan tentang jiwa humanisku yang sedemikian tinggi dan mulianya. Melainkan, aku menikmati berada di sebuah bandara, menuju sebuah tempat yang belum pernah aku kunjungi, akan berjumpa dengan orang yang belum pernah aku temui, dan akan melihat sesuatu yang belum pernah aku lihat. Aku menikmati perjudian antara aku yang akan mendapati pengalaman baik, atau tidak. Aku menikmati ketersesatan yang entah mengapa terasa seperti menemukan.
Bonus pekerjaan ini adalah aku belajar tentang masyarakat. Aku tau tentang kebijakan. Aku paham sedikit-sedikit realitas sosial. Tapi itu hanya bonus, karena yang aku cari adalah petualangannya, yang aku nikmati adalah sensasi bebasnya.

Saat negeri habis aku jelajahi, lalu aku berniat sekolah lagi. Tidak di sini, tapi jauh di sana. Bukan karena aku sedemikian cintanya dengan ilmu pengetahuan, walaupun belajar di ruang kelas juga bukan hal yang aku benci. Tapi yang sebenarnya aku harapkan adalah perjalannnya. Berada lama di sebuah negeri yang belum pernah aku temui, menghilang dan tenggelam dengan orang-orang baru, kultur baru, dan rutinitas baru.

Jadilah pagi ini aku menyadari bahwa aku sedang lari, aku sedang mencari, aku sedang kabur.

Entah dari apa, entah untuk apa, dan entah untuk mencari apa.

Hidupku selama ini sepertinya hanya tentang kabur dari satu titik ke titik lain. Bukan beranjak, tapi kabur. Aku buronan. Dari entah apa.


Dialetika Jogja

Kalau kamu dengar, beberapa sudut jogja bercerita tentang kamu.

Ingat jalan Mamgkubumi? Saat aku bawa kamu kesana di malam terakhirmu, saat kunjungan pertamamu?  Aku jujur bingung mau mengobrol apa saat itu, dan aku hanya bertanya ‘kenapa sih putus?’. Lalu kamupun bercerita dan aku takzim mendengar.

Atau mungkin kamu masih ingat belokan kecil di jalan Demangan? Waktu itu, aku mengajak kamu makan es buah. Kita cerita soal buku-buku Pram. Kamu bilang akan menamai anakmu dengan sebutan Ken, katamu “Ken itu artinya bebas jadi apa aja”

Bercerita pula hotel tempat kamu menginap. Maka tiap kali aku lewat, dia semacam membawa gambaran nyata, saat aku mendatangi kamu.

Begitu juga sebuah toko buku di Malioboro. Malam itu, kalau kamu ingat, kita hanya berandai-andai. Lalu aku di belakang jok motor, ternsenyum-senyum sipu.

Lalu tentu saja, tempat makan kwetiau. Malam itu, sebetulnya aku agak malas menemuimu. Jadilah kita bicara tanpa begitu bersemangat, dan lalu kita berkeliling acak mengitari kota ini.

Kota ini berdialetika tentang kamu.

Tentang kita.


Bandara, 2014

“Aku kadang berharap kalau aku bisa ketemu kamu dari dulu,waktu kamu masih kuliah”  


Adegan kesukaan saya ketika menonton film adalah saat si tokoh utama mendapat kesulitan, dan kemudian secara tepat waktu diselamatkan oleh sesuatu atau seseorang.
Misal di adegan The Golden Compass, ketika si Lyra Belacqua diselamatkan Serafina Pecaqala di adegan tempur. Atau ketika di film X-man Apocalypse, si ganteng dan lucu Quicksilver, tiba-tiba muncul dan mengeluarkan semua orang dari dalam gedung. Atau ketika Dr. Sienna Brooks membelot menjadi antagonis di film Inferno. Oh, atau adegan picisan yang mungkin akan selalu diingat semua orang, yaitu ketika Cinta akhirnya berhasil bertemu Rangga tepat sebelum Rangga masuk ke security check. “Ranggaa... Tunggu!”, Kata Cinta dengan nafas sengal.

Adegan-adegan itu rasanya selalu bikin saya tersenyum haru. Melihat semua adegan berada pada detik yang seharusnya, berjalan secara presisi tanpa terlambat sedetik atau kurang sedetik, adalah penghiburan bagi saya. Si tokoh, mungkin mereka juga tidak pernah mengetahui tentang bantuan apa yang akan dia dapat. Semuanya serba rahasia di tangan sutradara.

Maka begitulah saya mencoba mendefinisikan tentang pertemuan antara saya dan dia.

Kemarin saya datang ke kampus, untuk satu dan dua hal. Sewaktu mau pulang, hujan deras turun dan membuat saya harus berdiam di kampus agak lama. Ternyata, hanya butuh hujan dan sebuah lokasi untuk membuat manusia kembali mengingat hal-hal.
Maka jadilah, saya di sore itu mulai mengingat hal-hal di jaman perkuliahan. Saat saya berlarian masuk kelas PNI atau PMI, saat harus ngemsi beberapa acara kampus, saat saya merasa aneh berpapasan dengan mantan pacar, saat makan di kantin dan menatap nyinyir geng kelas sebelah, dan sebagainya, dan sebagainya.

Lalu terpikirkanlah juga di sore itu, sedang apa dia, di masa-masa saya sedang kuliah. Dan kalau kami betulan bertemu di masa-masa saya yang masih kuliah, seperti yang dia pernah bilang, apa yang sekiranya akan terjadi dengan kami ya?

Maka sayapun membayangkan beberapa skenario.

Mungkin kami akan LDR, dan dia akan ke jogja tiap semester. Atau, dia mungkin akan impulsif pindah kuliah ke Jogja. Hmm...
Atau, kami justru akan menghindari satu sama lain. Atau malah tidak tertarik sama sekali.

Hingga lamunan saya terhenti pada awal pertemuan kami yang sesunguhnya.
Saat membayangkan itu, saya menarik nafas cukup panjang dan tersenyum.

Saya menjadi lebih yakin bahwa tidak ada waktu yang lebih tepat bagi kami untuk bertemu selain pada saat kami bertemu. Bandara Soekarano Hatta, malam hari, menjelang penerbangan ke Papua. Begitu juga cerita-cerita yang terjadi selanjutnya. Seperti dia datang ke Jogja untuk nonton Maliq, kami satu tim ke maluku, hingga hari ini dia di rumah sakit karena malaria dan saya di kampus membayangkan macam-macam.

Saya tidak akan meminta untuk diperlambat atau dipercepat barang sedetikpun untuk sebuah pertemuan dengan dia. Detik selalu jatuh pada waktunya, pada sebagaimana mestinya. Seperti detik saat saya menjabat tangannya untuk pertama kali, dan dia menyebutkan namanya. Lalu kembali sibuk main game...  

Dan tentu saja, hanya Tuhan yang selalu lebih tau tentang konsep waktu. Itulah kenapa, tentang waktu akan selalu jadi pertanyaan besar manusia. Seperti halnya film, kita hanya aktor dari sebuah skenario besar yang penuh rahasia milik Tuhan.

Begitu juga pertanyaan-pertanyaan saya yang kadang bernuangsa nelangsa, tapi kadang juga optimis tentang dia. Tentang kita.‘Kapan ini semua menjadi jelas, wahai Tuhan?’, ‘Sampai kapan sih ini semua akan saya alami, Tuhan?’, atau 'Jadi, kami punya kesempatan engga sih, Tuhan?'

Semua masih samar dan sedemikian misterinya saat ini. Tapi ibarat semua adegan di film, saat semua kejadian diatur tepat waktu, maka semua detik dalam hidup sayapun akan jatuh pada waktunya. Semua jawaban yang saya butuhkan akan hadir pada episodenya.

Saya selalu yakin itu.




"Sungguh bodoh seseorang berharap sesuatu terjadi di waktu yang tidak dikehendakiNya"
(Ibnu Atha'illah as-Sakandari)

Sabtu, 05 November 2016

Sebuah titik

Aku agak kelelahan mencari sebab musabab dari ini semua, atau harus merangkai kejadian demi kejadian untuk mencari jawaban.
Alih-alih aku temukan, aku malah dihadapakan pada pertanyaan tentang kenapa aku butuh jawaban atau kenapa aku harus berpayah-payah mencari.

Tentang aku yang mencintaimu, atau tentang aku yang merasa menemukan hatimu, aku pikir itu adalah sebuah kejadian. Sehingga tidak membutuhkan apapun untuk dijelaskan.

Walau sebanyak itu pula aku bingung dan kesal, namun sebanyak itu pula aku menerima. Secara pasrah dan senang.

Ini seperti jawaban yang akhirnya menemukan pertanyaan. Seperti alasan yang akhirnya menemukan kejadian. Dan seperti pembenaran yang akhirnya menemukan kenyataan. Seperti hasil yang menemukan usahanya.  Seperti titik di akhir kalimat.

Aku dan mencintaimu. Maka seperti itulah. Tidak akan pernah ada penjelasan lebih lanjut.



Malam Terakhir Dengan Shofi dan Obrolan Metafisika

“Aku paham sih gimana pandangan orang-orang itu kalau liat kita Peh. Kita percaya sesuatu yang bagi mereka itu engga ada”  
(Shofi Awanis, 2016)  

Tidak semua orang mempunyai teman bicara yang seimbang untuk memperbincangkan topik-topik berat seperti metafisika. Beruntungnya saya, saya punya Shofi Awanis. 
Perempuan mandiri nan cerdas yang saya kenal sejak masih di komunikasi.  

Kalau sudah ketemu Shofi, rasanya semua hal yang paling tabu sampai yang paling ruwet, habis kami perbincangkan. Dan dengan semangat sok tau, kami analisa topik-topik itu dengan bermodalkan buku-buku yang pernah kami baca.   

Di malam terakhir sebelum Shofi ke Amerika, kami menyempatkan diri untuk bertemu dan duduk di kafe Affandi. Semacam perpisahanlah. Setelah membahas tentang kisah asmara masing-masing, kami beranjak ke topik tentang rencana hidup ke depan, dan akhirnya membahas tentang Tuhan.   

Tuhan dan hal-hal metafisika yang mengelilingiNya membuat kami betah berdiskusi. 

Kami sepakat untuk tidak pernah melebeli diri kami dengan sebuah cap tertentu. Liberal atau konvensional, bagi kami itu hanya akan membatasi kami berpikir. Tapi yang jelas, pada malam itu, kami butuh asupan logika dari hal-hal yang tidak tampak. Malam itu, kami seperti butuh berbincang tentang alasan kenapa kami masih menjadi seorang islam hingga hari ini.  

Itu dimulai dari pertanyaan saya, “Kenapa kamu masih jadi Islam Shof?”.   

Dan obrolan demi obrolanpun berlanjut. Seperti cara Shofi berfikir “Aku mau ke Amerika Peh, pakai jilbab itu ga safety buat aku. Tujuan jilbab di Al-Qur’an itu satu untuk menjaga diri, dan dua untuk dikenali. Aku merasa, alasan pertama engga lagi relevan! Justru aku ga aman pakai jilbab di sana, tapi aku masih akan pakai jilbab, karena aku harus dikenali sebagai seorang muslim. Al-Quran minta aku supaya aku dikenali. Untuk alasan yang kedua, aku pertahanin jilbabku”  

Kami memperbincangkan Tuhan, agama, alam semesta, penciptaan manusia hingga konsep takdir selama berjam-jam. Tidak semuanya kami sepakati bersama, tapi kami sampai pada satu titik kesimpulan yang sama: menjadi islam adalah cara kami dalam mengiyakan mau Tuhan. 
Kami setuju bahwa manusia harus menemukan apa itu Tuhan sebelum melebeli diri dengan sebuah agama. Karena kalau tidak, selamanya dia akan menganggap agama sebagai sebuah dogma tanpa paham esensinya. Atau selamanya dia akan melihat agama dari bungkusnya, bukan isinya.   

Malam itu juga, kami membahas jawaban dari pertanyaan “kenapa ya kita kudu sholat?” dari kacamata logika, dan bukan sebatas jawaban “Itu sudah perintah, kalau dilanggar dosa!”.  

Percakapan panjang malam itu, membuat saya selalu yakin atas Islam dan menjadi Islam. Saya melihat konsep yang sempurna dari agama ini, dimana logika saya bisa mencerna dan hati saya terasa mantap.  

Saya belum menjadi Islam yang baik, jadi jangan sekali-kali lihat saya sebagai contoh. Tapi Islam sebagai sebuah konsep agama, bagi saya adalah paling masuk akal saat ini.   

Terimakasih Shofi untuk selalu mau berbicara tentang rationalitas dari hal-hal yang irrational.

Baik-baik di Amrik yaa ;)


© RIWAYAT
Maira Gall