Kamis, 21 Desember 2017

Apa-apa yang tampak dan apa-apa yang manusia ingin lihat

"What is essential is invisible to the eye"
(Chapter 21 - The Little Prince)


Salah seorang teman saya sedang galau. Bukan galau asmara, tapi lebih kepada galau persahabatan. Dia galau karena ada seorang teman dekatnya, yang secara ajaib menjauh dari dia dan teman-temannya yang lain. Saking anehnya, si yang bersangkutan mengambil langkah ekstrem jaman now: keluar dari group chatting, untuk alasan yang entah apa. 

Teman saya mempunyai beberapa spekulasi. Pertama, dia curiga si temannya ini mengikuti pengajian atau salah menerjemahkan Islam. "Dia itu lagi hijrah gitu..". Kedua, bisa jadi karena si temannya itu ingin segera menikah, tapi urgensi keterburu-buruannya tidak bisa dipahami oleh teman saya dan gengnya, sehingga membuat dia ingin, atau merasa harus, menjauh. Maka jadilah si teman saya dan gengnya resah, dongkol, dan sedih jadi satu gegera hal ini.

Saat hal ini dibahas dengan saya, saya juga hanya manggut-manggut. Karena kalau bicara bab pernikahan dalam Islam, sebenarnya sih tidak ribet sama sekali. Selain kalau sudah dapat calonnya, hanya butuh prosesi akad nikah, dan walihamahan yang walaupun sederhana, juga bisa terlaksana. Jadi tidak perlu uring-uringan, sampai  harus menginggalkan group chatting sebenarnya. Kalau memang dia sedang hijrah dan ingin segera menikah, datangi saja KUA. Selesai perkara. Tapi ya... Kalau si teman saya saja bingung, apalagi saya, orang asing yang hanya mendengar ceritanya sepintas lalu.

Tapi apa yang menimpa temannya teman saya itu adalah satu satu contoh paling nyata bagaimana manusia selalu dan selalu saja fokus pada apa yang nampak, dibanding apa isi atau esensinya.

Contoh lain misalnya, santet. Santet adalah jalan pintas bagi siapapun yang ingin memaksakan esensi. Bertolak belakang dari kasus yang pertama, mereka yang menggunakan santet, percaya betul bahwa jika indera manusia tidak bisa membuat hati seseorang percaya, dukun pastilah bisa membantu. Sebenarnya orang-orang tipe ini sudah benar cara berfikirnya, hanya kadang terlalu percaya diri. Di satu sisi dia tau bahwa indera manusia bisa salah tafsir, sementara hati tidak. Namun di sisi lain, dia lupa bahwa hati adalah abstraksi yang dibuat di dapur rahasia milik Sang Pencipta. Tidak bisa diintervensi, tidak bisa disetir.

Pernah dengar istilah urip kui wang sinawang?

Wang sinawang adalah adalah satu ucapan Jawa klasik yang saya kagumi. Artinya kurang lebih adalah apa yang bisa kita lihat dari hidup orang lain, hanya terbatas pada indera kita saja. Misalnya, kita melihat si A selalu pake baju jelek, dan kita merasa dia itu tidak tahu fashion, oh atau miskin. Atau kita dengar si B dapat beasiswa ke Luar Negeri, dan kita merasa dia itu beruntung. Sekedar itu dan hanya sebatas itu. Yang pastinya kita tidak tahu adalah ternyata si A menyimpan uangnya untuk beli rumah daripada beli baju, atau si B dapat beasiswa setelah peristiwa pahit yang datang dihidupnya selama bertahun-tahun. 

Wang sinawang bukan sekedar mengajarkan pada saya untuk tidak boleh menilai orang semau logika saya saja, tapi menantang saya untuk memahami esensi dari banyak hal yang di dunia ini, mulai dari masalah romansa hingga agama. Karena tentu saja, jika yang selalu kita cermati adalah bungkusnya saja, kapan kita mau mempelajari isinya?

Sulit memang untuk sampai di titik dimana kita akhirnya memahami esensi dari hal-hal yang diharuskan atau dilarang tanpa punya basis yang jelas. Tapi mengapa esensi itu penting? 

Ada artikel pendek berjudul, If work dominated your every moment would life be worth living? yang ditulis oleh Andrew Taggart. Tulisan pendek tentang bagaimana hampanya hidup manusia saat kita bahkan tidak tahu lagi untuk apa dan mengapa kita bekerja selain karena uang. 

Memahami apa itu esensi seperti berfokus untuk mencari kado yang pas untuk diberikan kepada orang-orang terdekat kita, daripada menghabiskan waktu untuk memilih kertas kado mana yang layak. Dan seperti wang sinawang, mustahil memahami esensi hanya dengan menggunakan panca indera manusia yang serba terbatas ini. 

Seperti juga obrolan soal pasangan hidup, andai menemukan apa yang jiwa dan hati kita mau itu sesederhana swipe right or left melalui Tinder, atau menaruh biodata kepada Uztad, atau mendaftar speed dating, tanpa perlu menjalani proses panjang yang kadang berhasil, kadang tidak, maka pastilah tidak akan ada puisi dan romansa cinta yang ditulis oleh pujangga-pujangga. Pujangga-pujanngga itu seakan tahu betapa panjang dan melelahkannya sebuah jiwa untuk bisa bertemu belahannya. Pun bertemu, kadang takdir berkehendak lain. Pelik. 

Banyak sekali hal di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan. Tentang kenapa ini begini dan kenapa  itu begitu. Tapi belajar memahami esensi, kalau bagi saya, membuat saya belajar tentang apa itu kejujuran. Kadang kita dibuat kabur atau bahkan buta oleh hal-hal yang tertangkap oleh indera. Namun saya percaya satu hal, tidak ada yang mampu membohongi hati. Kalau itu terasa salah, mungkin itu memang salah. Apa yang terasa benar, mungkin memanglah benar. Manusia sering terjebak  dengan logikanya, seringnya hanya mau melihat apa yang tampak, seringnya bersender pada apa yang bisa dibuktikan. Sementara esensi, hanya bisa dilihat melalui hati. Sekali-kali, atau cobalah walau sekali, percaya pada hati.



Sabtu, 02 Desember 2017

"Badai Tuan sudah berlalu...."


Beberapa cerita memang sengaja tidak diceritakan lengkap, bukan karena tidak punya kata, tapi menjaga agar tetap pada maknanya.

Beberapa kisah memang sengaja tidak dibagi, bukan karena tidak berkesan, tapi menjaga agar tidak sembarang dikomentari.

Beberapa perasaan memang sengaja tidak diungkap, bukan karena tidak penting, tapi agar tidak kehilangan intinya.

Beberapa kenangan bertahan, bukan karena menyandang predikat ‘terlalu’, tapi sengaja disimpan untuk sebuah alasan.

Beberapa hal tidak akan pernah pergi, bukan karena sengaja dijaga, tapi kerena mereka selalu saja punya cara untuk kembali.

Beberapa doapun tetap pada tempatnya: semoga lekas tahu apa yang harus dicari tahu.





"Badai Puan sudah berlalu..."

Jumat, 13 Oktober 2017

Cobalah Untuk Setia

“You hope for the best and you stick with it, day in and day out. Even if you are tired, even if you want to walk away. You don’t!
Because you are a pioneer. But nobody ever said it wold be easy” 
(Grey Anatomy - Season 10 Eps 11)


Di pertengahan tahun ini, di sebuah senja yang cukup random, tanpa sengaja saya bertemu seorang teman lama, Fian, yang sedang ambil S2 komunikasi di UGM. Dari semua hal yang kami bicarakan, ada satu ucapannya yang paling membekas, “Tau engga sih Peh, lebih sedih kalo kita lagi bahagia tapi kita engga bisa ngerayain sama siapa-siapa, dibanding kalau kita lagi sedih dan ditinggal sendiri”.

Saya mengangguk diam, dan tak lama kami mengahiri obrolan panjang itu tepat disaat langit senja Jogja sedang sendu-sendunya.

Setelah pertemuan itu, beberapa kali ucapannya muncul tanpa sebab di kepala saya, entah kenapa.  Dan butuh waktu yang cukup lama, untuk akhirnya saya bisa memahami arti dari ucapan sepintas lalu itu. 

Terimakasih kepada Mbak Affi Asegaff, vlogger yang juga CEO Dailybeauty.com yang memberikan sedikit pencerahan. Mbak Affi Asegaf adalah vlogger yang selalu bicara tentang perwatan kulit dan memberikan tips serta review produk skincare yang bagus (dan seringnya mahal). Dalam salah satu videonya, dia pernah berkata, “Jadi, yang paling penting dalam merawat kulit adalah rutin! Saya sih engga percaya ya, kalau ada skincare yang berani kasih perubahan dalam beberapa hari aja. Efek vitamin C aja, baru bisa bikin perubahan dalam waktu minimal 21 hari setelah pemakaian rutin setiap hari. Jadi, percuma aja kalau skincarenya mahal tapi makenya engga rutin, engga akan bikin dampak apa-apa buat kulit kamu”, katanya dengan manis.

Terimakasih juga pada Kenneth Biller, sutradara Genius. yang juga membantu saya untuk paham. Melalui drama series Genius, saya mendapat pemahaman secara gamblang tentang bagaimana  Albert Einstein, tidak hanya konsisten dalam membuktikan teori relativitasnya, tapi juga setia dalam menjaga identitasnya sebagai ilmuwan, bukan politisi.

Jadi ternyata, ini semua adalah tentang konsistensi. 

Tentang konsistensi dan betapa manusia sering kalah di dalam pergulatannya. Mencoba lari, memulai dari awal, menggebu di awal, kelelahan di tengah-tengah, belum sampai pada titik akhir tapi sudah lari, dan mencoba hal lain dari awal. Hingga seterusnya, hingga seterusnya…. Hingga akhirnya dia menyadari bahwa selain waktunya terbuang, dia seakan mengaklmasi ketidaksabaran akan dirinya sendiri.

Jika ternyata kita berada pada jalan yang kita sendiri tidak merasa nyaman menjalaninya, tentu saja kondisinya menjadi berbeda. Karena jika demikian, tentu saja jalan terbaik adalah putar balik dan mencari jalan lain. Tapi jika kita berbicara tentang nilai-nilai yang kita perjuangkan, atau mimpi-mimpi yang kita percaya, maka konsisten adalah satu-satunya cara. Karena bagaimana mungkin kita bisa sampai pada titik yang ingin kita tuju, jika terlalu sering mampir atau putar arah?

Teman saya yang kini sedang menggeluti dunia seni peran pernah berkata, “Pantes aja ya Reza Rahardian itu jago banget. Dia belajar ekspresi wajah aja tahunan. Engga kayak artis kabiran yang cuma dateng workshop trus acting”. 

Atau teman saya yang pernah ketemu Nicholas Saputra, dia berkata, “Si Nico itu sampe bilang gini, ‘Kamu jadilah professional dalam apapun itu. Model, kalau dia professional bayarannya ratusan juta’”

Apa yang Fian bicarakan di sebuah senja itu, mengingtkan saya akan kegelisahan Emma Stone dan Ryan Gosling di akhir film LALA LAND. Kegelisahan bahwa mereka pernah menemani satu sama lain di saat-saat tersulit saat menjalani mimpi masing-masing, tapi justru tidak bisa merayakan keberhasilan itu bersama-sama pada akhirnya. Begitulah harga dari sebuah pilihan.

Sekarang saya paham kenapa manusia membutuhkan orang lain, justru disaat dia senang, bahagia, atau ingin merayakan kegembiraan. Mungkin itu diartikan sebagai ucapan terimakasih untuk mereka yang setia menemani dalam proses menuju momen bahagia. Sebagai pengakuan bahwa mereka berjasa. Mungkin karena mereka turut menemani saat kita saat sedang terpuruk. Mungkin juga mereka pernah berkata, “Hei, jangan menyerah!”. Bisa juga karena mereka membuat kita kembali percaya, bahwa kita harus bertahan satu hari lagi untuk hal-hal yang ingin kita tuju. Atau mungkin karena kita akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan kita, sedikit banyak mengorbankan kebahagian mereka. Entah mana yang paling mendekekati.

Tapi sepertinya memang, kebahagiaan yang tidak bisa dirayakan memang lebih menyedihkan dibanding kesedihan itu sendiri.

"Climb these hills I'm reaching for the heights and chasing all the lights that shine.
 And when they let you down, you'll get up off the ground.
Cause morning rolls around, and it's another day of sun"
(Another Day Of Sun)

Dan tentu saja, konsistensi dibutuhkan dalam mencintai, apapun, siapapun.

Senin, 02 Oktober 2017

Layar Sentuh dan Rusaknya lagu Yogyakarta milik kla project

Saya baru bisa mengendarai motor saat masuk kuliah di tahun 2009. Sebelumnya, saya adalah seorang duta nebeng internasional yang rendah hati dan bersedia mengabdi di Yogyakarta. Menjadi duta nebeng adalah perkara yang tidak mudah. Bayangkan saja, saya harus tau siapa-siapa yang memenuhi syarat untuk bisa ditebengi dan menyelaraskan dengan tujuan serta waktu-waktu mobilitas saya yang super padat kala itu. Saya harus tau, jikalau mau mengunjungi tempat A, jam sekian, lantas harus minta tolong kepada siapa. Jangan lupa, pemilihan bahasa itu penting dan harus sopan, seperti mengatakan meminta tolong atau pernyataan bahwa ini dilakukan atas dasar suka sama suka. Pun memilih orang yang bisa masuk dalam daftar 'Orang yang Bisa Ditebengi' juga harus teliti. Harus kuat hatinya dan uang bensinnya.

Sekali lagi, menjadi duta nebeng itu tidak semudah yang dibayangkan. Kadang, saya kehabisan stock orang yang bersedia mengantar hingga membuat saya batal pergi atau harus pergi naik angkot. Saya pribadi sih engga begitu masalah dengan naik angkot. Hanya saja, eksistensi angkot di Yogyakarta ini bikin saya senewen. Ya bagaimana tidak, jam operasional serta rute angkot di Yogyakarta itu terbatas, dan itu jelas membatasi gerak perempuan muda nan aktif macam saya ini.

Hingga di tahun 2009, saya membeli motor dan belajar mengendarai motor. Dan sejak itu lah saya pensiun dari predikat duta nebeng internasional. Walau sedih harus berpisah dengan mereka yang sudah masuk dalam daftar 'Orang yang Bisa Ditebengi', saya bersyukur karena akhirnya bisa menikmati menjadi wanita mandiri seutuhnya.

Delapan tahun kemudian, saya takjub campur kesal karena banyak sekali di Yogyakarta yang kini menjadi duta nebeng. Dan yang paling bikin saya kesal, mereka tidak menggunakan prosedur yang pas untuk menjadi duta nebeng internasional cabang Yogyakarta.

Begini saya jelaskan singkat. Yogyakarta ini, kotanya kecil dan damai. Kemana-mana sungguh dekat. Tidak seperti Ibukota yang mungkin bisa bikin anak lahir di jalan saking macetnya. Jalan di Jogja pun ramping-ramping, tidak ada jalur bebas hambatan kecuali jalan ring road. Seharusnya, prosedur menebeng yang paling tepat digunakan adalah dengan mengadaptasi cara saya: meminta tolong baik-baik pada mereka yang hatinya tulus mau menolong dan bensinnya cukup untuk mengantar.

Tapi mungkin cara itu kampungan dan tidak kekinian. Tidak seperti menyentuh layar, memilih tempat destinasi yang dituju, melihat harga, dan menekan tombol 'Pesan Sekarang', lalu datanglah seseorang dengan jaket hijau atau orange yang siap mengantarkan seseorang ke mana pun, lengkap dengan sapaannya, “sesuai aplikasi ya mbak?”.

Saya mungkin bisa memahami sistem itu di Jakarta. Ya... kita memang harus memaklumi Jakarta, kota yang memang ruwet itu, sudah darisananya macet. Sudah macet, kendaraan umum susah didapati, jalan kaki tidak memadai, maka meminta tebengan dengan cara itu, sudah pasti jadi solusi. Apalagi kan rumornya, orang Jakarta itu individualis, mana mau mereka bermanis-manis menggunakan cara nebang ala saya.

Tapi ini kan Jogja. Kemana-mana sungguh dekat, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lalu kenapa harus ada sistem nebeng macam itu? Dan laku pula!

Mungkin saya akan dihajar oleh semua duta nebeng yang ada di Yogyakarta, karena bersikap angkuh. Oh atau mungkin mereka merasa bahwa saat ini, inilah yang dibutuhkan oleh Yogyakarta. Ah tapi saya kok sanksi, masa iya, Yogyakarta butuh cara nebeng yang membuat macet di semua titik dan membuat banyak pojokan terisi oleh tongkrongan hijau-hijau, hingga bahkan di depan gang rumah saya.

Atau dengan dalih pariwisata? Tapi kan, kalau kita datang ke Swedia, dan masyarakat di sana terbiasa berjalan kaki, kita juga engga akan berkata 'Aduh, saya terbiasa nebang motor nih'. Lalu kenapa kita yang harus mengakomodir wisatawan dengan tebengan yang bisa bikin perjalanan menuju Malioboro dari Jalan Kaliurang menjadi 1 jam lebih lamanya?

Bertahun-tahun sudah lamanya Katon Bagaskara bernyanyi 'Di persimpangan langkahku terhenti.. ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera...'. Lalu, apa tanggung jawab kita kalau ada yang bernyanyi 'Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahaja...'. Saat kini, tiap sudut isinya macet, macet, dan macet. Bagian mananya yang masih seperti dulu?

Tapi saya paham, bahwa tidak ada yang bisa menolak perubahan. Antara saya yang sakit hati karena Jogja berubah, atau saya yang memang terbiasa tanpa kemacetan di Jogja, atau saya yang sebetulnya sensi dengan si penyedia sistem. Semua menjadi tumpang tindih memang.

Ingin rasanya menyalahkan si pembuat sistem ini. Tapi saya lupa, mereka adalah pihak yang sanggup melihat pangsa pasar. Awalnya mungkin baik: mencoba membantu citizen Ibukota. Tapi mereka lupa dan kita semua terlena, bahwa itulah awal mula keran yang terbuka dan kini sudah semakin susah untuk ditutup kembali. Bahkan hingga sekarang, keran itu bukan hanya terbuka, tapi bocor kemana-mana, meluber hingga luar Ibukota. Seakan menyelesaikan masalah transportasi, tapi nyatanya menambah rumit masalah lalu lintas. Belum lagi gesekan sosial sana-sini akibat sistem ini. Bayangkan saja, si pembuat sistem mampu memindahkan lapangan pekerjaan ke jalan raya, yang meleng sedikit saja bisa tewas. Seakan membuat kita tertolong, padahal nyatanya kita akan terjebak pada kemacetan di jalan. Padahal ini di Yogyakarta, sekali lagi, ini di Yogyakarta. Kota dengan slogan ‘berhati nyaman’, bukan ‘berjalan lamban’.

Dahsyatnya, mereka bahkan sanggup membuat hal-hal menjadi lebih mutakhir lagi, seperti mengantarkan makanan atau bahkan barang. Hingga sekali waktu, saya pernah melihat dalam satu traffic light, isinya hanyalah jaket hijau. Di Yogyakarta yang sungguh apa-apa dekat ini, pemandangan itu sungguh sangat mengganggu saya.

Harapan saya hanya bertumpu pada seorang Raja yang bermukim di 0 kilometer itu. Tidakah dengan kota sekecil ini, yang dibutuhkan hanyalah sistem angkutan kota yang lebih baik? Tidakah ada yang bisa mengatur agar hijau-hijau itu tidak menjadi lumut dan akhirnya membuat kotor Yogyakarta? Kalau tidak mungkin dihentikan, maka tidakkah bisa regulasinya diatur? Bukankah kita daerah Istimewa? Jika tidak, saya khawatir dunia tidak bisa lagi menyanyikan lagu Yogyakarta karya Kla Project dengan mengenang masa-masa berjalan kaki dengan gebetan, atau membicarakan masa depan dengan seseorang.

Dan tentu saja pada semua duta nebeng di Yogyakarta, pesan saya, menebeng dengan cara konvensional itu banyak manfaatnya: menajamkan kemampuan mbribik!

Kamis, 07 September 2017

Seberapa pantas

"Mampukah kau bertahan dengan hidupku yang malang?
Sanggupkah kau meyakinkan di saat aku bimbang?"


Dalam sebuah perjalan menuju Wakatobi di pertengahan tahun ini, tidak ada yang benar-benar saya bayangkan selain pantai, pemandangan bawah laut, dan karya tulis yang harus saya dan teman saya selesaikan. Perjalanan dimulai dengan sederhana melewati Kendari dan menyebrang selama 12 jam menuju Wanci. Karena perjalanan menuju entah berantah telah menjadi makanan saya selama 3 tahun terakhir, maka bagi saya Wakatobi akan menjadi salah satu diantara pengalaman dan cerita itu. Ekspektasi saya sungguh tidak berlebihan, asalkan saya bisa kembali pulang tanpa drama, bagi saya itu cukup.

Pagi pertama terbangun di Wakatobi, saya merasa lelah jiwa dan raga. Ingin rasanya kembali pulang ke Jogja dengan penerbangan pertama agar malam hari nanti saya bisa tidur di kamar. Tapi mengingat saya berada di salah satu pulau dengan pemandangan alam bawah laut yang cantik di Indonesia, saya mencoba bertahan. 

Dan perjalanan di Wakatobi pun dimulai. Bermula dari menelusuri pulau, pergi ke pulau kecil lainnya, berkemah, kejar-kejaran dengan tenggat waktu karya tulis yang harus kami selesaikan, dan diakhiri dengan karoke di salah satu kafe lokal di Wakatobi. Hingga Wakatobi berakhir dengan sangat menyenangakan. Bahkan Wakatobi adalah salah satu perjalan yang saya masukan dalam katagori 'Harus Diingat Selamanya'. Mulai dari teman-teman baru yang super menyenangkan, makanan yang enak, pemandangan yang cantik, hingga cerita-cerita romansa yang terbongkar, Wakatobi mengambil hati saya sepenuhnya.

Di hari terakhir, saya terbangun dengan perasaan sedih luar biasa. Ingin rasanya kembali ke hari pertama di Wakatobi. Betapa saya merutuk diri sendiri karena sempat merasa tidak kerasan berada di sana.

Maka, sebelum menyebrang kapal dan kembali ke Kendari, saya menuliskan sebuah kalimat di Twitter yang merangkum makna perjalanan saya selama ini.



Maka begitulah saya memaknai perjalanan. Perjalanan, dalam makna apapun, mulai dari liburan, pekerjaan, hingga pernikahan sekalipun adalah sebuah petualangan, adalah sebuah kisah. Perjalanan tidak bisa dimaknai sekedar beranjak dari titik A menuju titik B, sekedar lompat dari awal mula menuju titik akhir. Perjalanan adalah apa yang berada di tengah-tengah itu, semua hal di rentang itu lah yang dinamakan perjalanan. Hingga, tentu saja, perjalanan bisa menjadi sangat menyebalkan atau sangat menyenangkan, apapun itu yang akan terjadi, itu tetap saja sebuah perjalanan. Maka satu-satunya pilihan yang tersedia adalah menikmati setiap detiknya.

Hingga tidak ada yang harus dilakukan untuk memulai sebuah perjalanan selain sebuah niat dan rekan perjalanan yang tepat. Selebihnya akan menjadi selebihnya, dan biarkan saja menjadi selebihnya. Perjalanan, hakikatnya adalah cerita, jadi selama kita punya dua hal itu, hal-hal apapun yang akan terjadi selama perjalanan, akan selalu menjadi cerita dan pelajaran.

Maka untuk semua perjalanan itu, tidakah ini semua dimulai saja? Dan biarkan selebihnya menjadi selebihnya melebur bersama waktu dan langkah demi langkah. Tidakah sedikit saja gagasan ini bisa dipertimbangkan?


"Celakanya... "

(Seberapa Pantas - Sheila on 7)

Rabu, 16 Agustus 2017

"coba dolo!"

Mungkin ada benarnya apa kata orang-orang atau artikel-artikel yang membahas soal hubungan asmara, yang mengatakan bahwa semakin dewasa (atau tua), definisi kita akan pasangan dan hubungan yang ideal akan berubah. Berubah dari hal-hal artifisial menuju hal-hal yang lebih prinsipil. 

Beberapa hari yang lalu saya melihat pasangan yang membuat hati saya hangat. Singkat cerita, mereka berdua ini adalah orang dari timur Indonesia, kemungkinan besar dari daerah Maluku kalau diperhatikan dari logatnya. Si lelaki sedang ambil S2 di Jogja dan kesulitan membuat semacam tulisan ilmiah. Si perempuan, duduk di sebelahnya bermain game dan sesekali melihat pasangannya yang tampak kebingungan.

Sedikit-sedikit si lelaki meminta bantuan si perempuan, dan perempuan dengan sedikit galak akan membantu si lelaki. Hingga terjadilah percakapan begini:

Lelaki: "Eh... bagaimana caranya membuat gambarnya jadi di tengah?"
Perempuan: "Aduh...! gampang sekali itu toh...". 

Lalu membantu mengerjakan di leptop si lelaki.

Lelaki: "Kok ini tidak mau?"
Sambil menengok leptop si lelaki, si perempuan berkata, "Sama caranya kayak tadi. Coba dolo!"

Lalu tak lama si perempuan berkata, "Bagus.... saya menang!"

Sayapun menoleh, dan ternyata si perempuan asik bermain game sambil sesekali memberi arahan pada si lelaki.

Kenapa mereka membuat hati saya hangat? Karena saya dulu beranggapan lelaki yang sempurna adalah lelaki yang bisa melakukan semua hal tanpa perlu saya bantu. Tapi rasanya, itu terlalu artifisial. Sekarang saya mau punya pasangan yang bisa menangis di depan saya dan mengakui dia lemah, dan saya akan ada di sana untuk berkata, "Iya, emang kamu lemah... gapapa.... kamu lemah aja aku cinta kok. Cup cup cup jangan cengeng deh! Makan es krim yuk?".

Pemandangan menyenangkan saat dua orang saling memiliki satu sama lain, melindungi kelemahan satu sama lain, mendukung satu sama lain. 

Semoga pasangan itu langgeng. Aamiin


Senin, 14 Agustus 2017

identitas

Saya sebenarnya tidak pernah benar-benar melabeli diri saya pada sebuah identitas tertentu, atau lebih tepatnya saya tidak begitu tertarik untuk membuat saya dikonotasikan dengan sebuah unsur tertentu. Akan tetapi, saya tidak bisa memungkiri bahwa setiap manusia memiliki preferensi yang berbeda-beda akan kesukaan dan juga minat yang secara langsung atau tidak, pada akhirnya akan membuat kita memiliki identitas. 

Ayah saya seorang Bugis murni dan Ibu adalah Sunda totok tanpa campuran. Dari dulu saya selalu kebingungan untuk menjawab pertanyaan orang tentang identitas asli saya. Walau semakin kesini, pertanyaan itu semakin mudah dijawab karena saya jauh lebih suka diasosiasikan dengan orang Bugis dibanding orang sunda. Sederhana karena saya lebih suka ketegasan yang ada di Bugis dibanding lemah gemulainya Sunda. 

Saya dari dulu benci sekali lagu-lagu cinta pinggiran yang mengumbar makna cinta yang mudah dipahami. Rasanya telinga dan hati saya secara otomatis menolak lagu-lagu itu, dan terlebih saya tidak mau diasosiakan dengan mereka yang menggandrungi lagu-lagu begitu. Bagi saya, semakin sastra dan sulitnya lirik sebuah lagu dibuat, semakin baguslah lagu itu. Maka saya lebih menggilai jalur musik alternatif dibanding yang umum didengar.

Sadar atau tidak, tapi saya tidak pernah berhasil jatuh cinta pada lelaki yang pemikirannya terlalu standar akan hal-hal. Saya tidak akan pernah tahan dengan lelaki yang tidak bisa memuaskan saya jika kami sedang mengobrol. Mau bagaimanapun dia merayu, selama dia tidak bisa mengobrol banyak hal dengan saya, maka selama itu juga saya tidak akan tertarik. 

Saya punya definisi sendiri tentang apa itu eksistensi, apa itu pekerjaan, apa itu uang, apa itu bahagia. Kadang itu semuapun berlawanan dengan pendapat umum. 

Tapi tetap saja, saya tidak merasa bahwa saya ingin melebeli diri saya sebagai jurusan anti mainstream atau hipster. Saya hanya merasa bahwa saya memiliki beberapa preferensi akan sesuatu yang untuk beberapa hal mungkin berbeda dengan orang lain. Tapi saya juga tidak sendiri, orang-orang seperti saya juga banyak. 
Sehingga kadang saya merasa nyaman dan aman saja sendirian tanpa perlu mengikuti pendapat orang-orang. Hingga tak lama munculah kritik, bahwa hidup saya tidak bisa terlalu idealis. Bahwa mengakui saya orang Sunda itu bukan berarti bahwa saya lemah gemulai dalam pandangan yang jelek. Atau menyanyikan satu atau dua lagu cinta umum, bukan berarti saya menghianati idealisme saya. Atau mulailah untuk melebarkan preferensi saya akan lelaki. Begitu kata beberapa orang berpendapat.

Maka sesekali saya mencoba mengikuti arus, mengikuti kemana kebanyakan orang berfikir dan bertindak. Namun rupanya, manusia memang memiliki preferensi masing-masing yang tidak bisa dipaksakan. 

Jadi biarkan saja kalau saya lebih menyukai musik alternatif, lebih menyukai dibilang orang Bugis, akan selalu terarik pada lelaki yang secara intelektual lebih baik dari saya. Bahkan menurut saya, itu semuapun bukan bagian dari mempertahankan idealisme, itu semua hanya bagian dari perbedaan preferensi dan bagaimana kita menjadi diri kita sendiri.

Ini tentang bagaimana kita mengapresiasi identitas-identitas diri kita. 

Ruang Tengah

"Pagimu yang terluka, malammu yang menyiksa.
Hal yang ingin kau lupa, justru semakin nyata...."

Sebuah ruang tengah di antara aku dan kamu, di mana semua pertanyaan atas ini semua berada di sana. Kamu di sisi kanan, dan aku ada di sisi kiri, terpisah oleh sebuah ruang kosong. Masing-masing dari kita membawa kuncinya dan selalu mampir di sana membuang semua pertanyaan demi pertanyaan. Berandai bisa mengetahui secara langsung jawabanya, tapi yang ada di dalam ruangan itu hanyalah pertanyaan. Pertanyaanmu dan pertanyaanku tentang kabar, perasaan, dan sedikit harapan.

Tak ada dari kamu atau aku yang bersedia mengunjungi bilik kita masing-masing untuk bertanya langsung, untuk mengkonfrontasi secara lugas. Entah takut, entah segan, atau entah memang waktu dan kesempatan yang belum ada. 

Maka ruang tengah itu tersedia diantara aku dan kamu sebagai wadah membuang semua pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya pertanyaan, karena jawabannya hanya kamu dan aku yang tahu. 


"Mengunci ingatanmu, menahan masa lalu, memori yang membisu, harapan yang berdebu" 
(Barasuara)

Jumat, 16 Juni 2017

Milo, Puasa, dan Tersedak

Semalam saya mampir untuk makan mie korea seafood kesukaan saya di Chinese-food paling enak se Jogja. Ada dua menu yang biasa saya pesan, kalau engga nasi capcay, ya mie korea seafood.

Datanglah saya kesana sekitar pukul 8 malam. Penjualnya adalah pasangan suami istri yang baik, saya memanggilnya kokoh dan mbak Anna. Setelah menyapa mbak Anna dan menyebutkan pesanan saya, saya duduk anteng di meja sambil melihat tingkah Grace. Grace adalah putri kecil kokoh dan mbak Anna yang masih berumur 3 tahun. 

Saat itu, Grace sedang asik bermain dengan sepupunya. Anggaplah namanya Tina. Tina ini lebih tua 2 atau 3 tahun dari Grace. Selayaknya anak kecil, mereka main masak-masakan dan tetiba menghilang masuk ke dalam ruangan di belakang tempat makan. Tidak lama, Grace datang sambil berlari kecil sambil berkata "Aku mau Milooooo". Mbak Anna langsung melarang, "Engga boleh, nanti perutnya sakit lagi". Tapi Grace sepertinya tidak peduli, ia tetap merengek hingga tangisnya pecah. Sambil menangis dia terus merengek, "Aku mau kayak Tina makan Milooooooo". Sampai dibentak oleh ayahnyapun, Grace masih saja merengek.

Sementara Tina, asik nan santai makan Milo kemasan di depan Grace yang sedang berusaha keras merajuk. Sampai akhirnya mbak Anna meminta Tina untuk tidak makan Milo didepan Grace. Tidak lama, tangis Grace reda dan ia pun kembali ceria sambil lanjut main masak-masakan. 

Saya jadi ingat, bagaimana saat ini saya bisa dengan mudah menemukan banyak Grace. Grace yang sepertinya kalau melihat orang makan sesuatu yang tidak diperbolehkannya untuknya, langsung nangis. 

Banyak bukan saat ini? Orang-orang yang minta dihargai karena kita sedang puasa, minta dihargai karena kita tidak minum alkohol, minta dihargai karena kita mayoritas. Lalu apa bedanya dengan Grace yang masih berusia 3 tahun? Sudah belasan atau mungkin puluhan tahun melakukan ibadah, tapi masih minta merong-rong kalau ada yang makan depan kita sedang kita berpuaasa, atau minum alkohol depan kita. Memangnya yang ditakutkan apa? Kita jadi ikut-ikutan? Kerdil ya imannya.

Tak hanya yang menjadi seperti Grace, yang menjadi seperti Tina ya juga banyak saat ini. Sudah tau Grace ini anaknya cengeng, masih saja cuek makan Milo didepannya. Mengalah agar Grace tidak lagi menangis dan bisa bermain bersama lagi, bukankah lebih baik? Sudah tau kondisinya akan runyam, malah semakin dipanas-panasi.

Ini memang tentang siapa yang mau menjadi lebih dewasa. 

Sungguh pemandangan yang menarik serambi menunggu mie korea saya jadi. Dan setelah kurang lebih 20 menit, akhirnya semangkuk mie korea seafood saya siap dimakan.

Sambil mengantar mie korea, mbak Anna duduk menemani saya makan. Saat saya sedang mengambil suapan pertama, mbak Anna berkata, "Pas banget loh Peh, aku kemaren kepikiran kamu. Ehhh panjang umur kamu ke sini". Saya tersenyum sambil memasukan suapan pertama ke mulut.

Mbak Anna kembali berkata, "Jadi kemaren ada yang makan di sini, sepasang gitu. Si cowonya bilang ke cewenya 'wah pas banget nih, sayurnya banyak'. Aku jadi inget cowo yang kamu ajak ke sini dulu itu loh, yang bilang 'Pas nih, di Jakarta sayur susah'"

Dan tersedaklah saya.

"Eh... maaf ya, Peh..."

"Gapapa mbak.." Kata saya nyengir lebar. 

Memaanglah, semesta belum ikhlas saya melupakan manusia yang satu itu.

Ealah.

Rabu, 31 Mei 2017

Repertoar Pembiasaan

"Kulewati dalamnya lembah hidup, mengartikan tujuan Si Langit Biru"
(Sekali Lagi, Isyana S)

Kalau kehilangan adalah salah satu keniscayaan, mengapa hingga hari ini orang masih saja tidak tahu apa dan bagaimana cara terbaik menghadapinya?

Isra Miraj, salah satu kejadian terpenting dalam sejarah Islam, yang membuat sholat lima kali dalam satu hari berstatus wajib bahkan diawali dari satu hal: Nabi yang kehilangan Istri dan Pamannya sekaligus di waktu yang hampir bersamaan.

Seorang anak remaja yang saya temui bahkan masih bergetar hebat saat menceritakan bagaimana ia harus kehilangan ibu, ayah, dan adiknya saat gempa tahun 2006 silam.

Seorang ibu bahkan masih terus menatap nanar setiap ingat suaminya yang meninggal saat di bawa ke rumah sakit.

Tidakkah ada yang memberitahu bahwa kehilangan adalah salah satu dari banyak hal yang seharusnya harus ditanggapi dengan biasa saja? Seperti lapar, seperti haus, seperti kelelahan, atau seperti kelupaan bahwa ada serial drama televisi yang harusnya kita tonton.
Bukankah kehilangan itu harusnya menjadi hal yang biasa saja? Kehilangan itu siklus yang berputar tanpa bisa diubah.

Sebagaimana saya tidak mengerti mengapa manusia selalu nestapa jika sudah berhadapan dengan kehilangan, saya menjadi yakin bahwa bukanlah kehilangan yang membuat manusia menjadi tenggelam dalam kesedihan, tapi hal-hal tidak kasat mata yang melingkupi kehilangan.

Seorang ibu harus menatap nanar setiap ingat suaminya yang meninggal karena ia harus hidup bersama anak-anaknya yang menjadi buah cinta mereka berdua. Semakin tumbuh berkembang anak-anak itu, semakin nanar rupanya si ibu dalam mengingat kematian suaminya.

Seorang remaja masih bergetar hebat karena ia menyesal tidak melihat jenazah ayah, ibu, dan adiknya untuk terakhir kali. Ia diungsikan karena orang-orang takut ia menjadi tidak terknedali atau stress melihat seluruh keluarganya meninggal. Tapi justru itu yang membuatnya lunglai, justru karena ia melewatkan kesempatan melihat wajah orang-orang terdekatnya untuk terakhir kali yang akhinya membuatnya menyesal.

Isra Miraj terjadi saat Nabi harus kehilangan dua orang terpenting dalam hidupnya justru tepat di saat dia merasa kelelahan menyampaika risalah. Paman yang selalu melindunginya, bahkan tidak bersedia mengakui risalahnya hingga wafat, dan istrinya yang selelalu menjadi tempat pulangnya pun, akhirnya juga berpulang padaNya. Padahal sebagai Nabi, harusnya dia lah orang yang paling paham bahwa kematian adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar. Tapi mengapa ia lunglai? Mengapa ia sampai harus berjalan tak tentu arah seperti orang gila? Padahal dia kan Nabi. Apa Sang Rabb lupa memberitahukanya tentang kematian dan musabab yang ditimbulkannya? Hingga Jibril harus menampakan diri sekali lagi dan perintah sholat turun.

Rupanya, seorang Nabipun resah akan masa depan yang harus dihapinya tanpa orang-orang terdekatnya. Keresahan yang sulit diungkapkan karena ia bergantung pada dua orang itu sejak awal risalah. Untuk itu, diberikanlah jawaban atas keresahan itu berupa sholat. Agar tidak ada satupun orang yang menjadi gelap mata saat menghadapi kehilangan. Agar setelah Nabi, kita semua ingat bahwa kita memiliki dan dimiliki oleh Sang Maha Pemilik.

Seakan Rabb tahu, jika Nabi terakhirnya saja lunglai, maka manusia selanjutnya pasti akan lebih rentan lagi jika berhadapan dengan kehilangan.

Dan memang demikian adanya. Tidak ada yang paling sadis menuntut kekuatan selain perpisahan. Apapun alsasannya, bagaimanapun kejadiannya, jika sudah tentang kehilangan semua orang seketika bisa guncang.

Maka beruntung bagi mereka yang menjadikan sabar dan sholat sebagai penolongnya. Setidaknya ia masih bersandar pada yang Maha Ada, pada yang Maha Mengambil, dan pada yang Maha Mengganti.

Karena jika kehilangan adalah siklus abadi dan sebuah keniscayaan, maka biasakanlah. Itu akan hilir mudik hadir di semua lini kehidupan kita, tanpa sanggup kita tolak.

Sebagaimana saya, maka cobalah berteman dengan kehilangan.


Kamis, 04 Mei 2017

Jangan tunggu, mungkin ini saatnya

Mungkin tanpa sadar, kita terbiasa menetapkan indikator-indikator dalam hidup. Misalnya, kita akan merasa bahagia jika kita sudah begini atau begitu. Sehingga, jika kita belum begini atau begitu, maka kita akan dengan tegas mengatakan bahwa kita ini belum bahagia.  

Tapi menetapkan indikator juga bukan hal yang salah sih. Sebagai manusia, kita memang lebih mudah memahami hal-hal yang kongkrit daripada yang abstrak. Lebih mudah mengatakan kita senang karena mendapatkan bunga dari gebetan, daripada menjelaskan rasa kengen tengah malam yang tiba-tiba datang.   

Kita bisa-bisa saja punya indikator atas hal-hal yang membuat kita bahagia, sedih, dongkol atau jenis perasaan lainnya. Cukup pahami bahwa jika indikator itu sudah kita tetapkan, kita jadi punya semacam standar atau ukuran baku. Standar itulah yang menjadi awal lahirnya sebuah ekspektasi. Dan sering kali, ekspektasi itulah yang menjadi sumber kesedihan, kegembiraan, atau berbagai perasaan lainnya. Dengan kata lain, kitalah dalang dari perasaan-perasaan yang kita rasa.

Minggu lalu, seorang teman dekat saya mengabarkan bahwa mantan kekasih satu-satunya akhirnya menikah. Saya tanya bagaimana perasaannya, dan dia menjawab “Surprisingly ya Peh, biasa aja loh…”  

Saya kaget mendengar jawabannya. Karena seingat saya, saat pertama kali dia tau bahwa mantan pacarnya bertunangan, dia semacam terguncang hebat. Maka saya katakan, “Mungkin setelah kamu tau dia tunangan, kamu udah punya standar kesedihan, kalau-kalau suatu hari kamu tau dia menikah beneran. Dan kamu pasang standar kesedihannyanya terlalu tinggi, jadi pas kejadian beneran, engga begitu bikin kamu sedih”  

Dia jawab santai, “Mungkin juga… “   

Tapi, bolehkah kita bersedih, bergembira, kesal, atau marah tanpa indikator? Tanpa ekspektasi? Tanpa rencana? Bahkan tanpa punya standar baku?  

Tadinya saya mempunyai beberapa indikator yang saya pikir akan membuat saya sedih bukan kepalang kalau itu kejadian, atau senang bukan kepalang kalau itu kejadian. Lucunya, setelah kejadian itu benar-benar terjadi, perasaan saya sungguh berbeda dari apa yang saya bayangkan. Sebelum lulus misalnya, saya pikir masuk salah satu agensi iklan terkemuka akan membuat saya bangga dan happy. Lah, nyatanya saya malah terpuruk. Atau saya pikir, kalau saya resign dari radio tempat saya bekerja, saya akan galau berminggu-minggu. Eh, saya engga ada galau-galaunya tuh. Bahkan saat siaran terakhir.  

Dulu saya bayangkan wisuda akan jadi moment yang membahagiakan. Nyatanya biasa aja. Diterima judul proposal yang justru bikin saya bahagia. Kalau ingat hal ini, saya jadi menyesal kenapa harus memburu-buru proses wisuda. Saya kudunya rayakan aja dulu kesenangan saya saat judul skripsi di terima.   

Atau saya menyesal tidak menerima tawarannya untuk menjemput saya di bandara, atau mengantar keliling Jogja, karena saya pikir itu bukan saatnya. Tapi sekarang, saya rela melakukan apa saja agar dia bisa menjemput saya di Bandara, atau dia ke Jogja sehingga kita bisa jalan-jalan. Saya bisa saja bahagia saat itu, tapi saya tolak.   

Semacam ada dorongan untuk berkata, “Jangan senang dulu… ini belum apa-apa. Ini belum saatnya”.

Lah, justru kalau sekarang happy, ya engga usah ditahan-tahan dong. Belum tentu di waktunya nanti, kita akan beneran bahagia, kalau engga?  

Hal ini membuat saya belajar untuk menerima hari ini sebagaimana adanya. 

Misal, saya ingin membuat sebuah lemari buku yang lucu kalau saya punya rumah sendiri. Tapi…, kenapa harus tunggu punya rumah sendiri? Saya bisa bikin saat ini juga dan bahagia saat ini juga. 

Atau, kalau kelak di usia 30 an saya belum menikah, saya berpikir, mungkin saya akan sedih. Tapi kenapa harus sedih? Saya bisa beli apartemen sendiri dan bisa punya kehidupan yang seru jikapun saya belum menikah saat itu. 
Sebaliknya, tidak perlu tunggu besok untuk bersedih. Kalaupun ada hal-hal mengaggetkan yang membuat saya sedih, maka saya akan terima seperti tsunami yang tiba-tiba datang. Tidak perlu saya bayangkan saat ini. Toh belum kejadian.   

Saya akan belajar untuk bahagia saat ini juga dan menerima kesedihan saat sudah terjadi saja. hehehe 

Saya rasa, saya harus belajar untuk tidak punya aturan baku dalam perkara sedih dan senang. Sesekali, hidup akan saya buat mengalir apa adanya. Mensyukuri apa yang ada dulu, dan bersiap dengan kejutan esok hari.

Que sera sera.


Selasa, 18 April 2017

SPBU

Banyak yang bilang bahwa hidup adalah kumpulan pilihan yang menawarkan banyak konsekuensi. Sebagai manusia, tugas kita terbilang mudah: memilih.
Hanya dengan memilih, maka seharusnya hidup akan berjalan dengan lebih mudah, ringkas, dan terarah. Namun rupanya, manusia mempunyai satu lagi permasalahan: bingung.

Bayangkan saja jika ada 1000 pintu di hadapan kita, mana yang sekiranya akan kita masuki? Atau mengapa kita harus memasuhi satu pintu saja, kenapa tidak semua pintu?

Banyak yang bilang, hidup tidak sesederhana hitam atau putih, benar atau salah, utara atau selatan. Karena semuanya serba relatif tanpa ada yang berani yang mengatakan dengan jelas, kenapa yang ini disebut hitam dan kenapa itu disebut putih. Itulah mengapa hidup terasa semakin rumit.

Untuk itulah kita terbiasa untuk bermain-main di tengah. Tidak berjalan ke kanan atau ke kiri. Tidak memilih hitam atau putih. Serta tidak memilih untuk mengatakan ini benar dan itu salah. Semuanya kita lakukan atas nama relativitas. Itulah mengapa netralitas menjadi sangat populer saat ini. Tidak mengkatagorikan kita sebagai ini dan itu, dan memilih hidup dalam abu-abu.

Tapi ibarat perjalan panjang saat mudik, area abu-abu ini layaknya SPBU yang lengkap dengan toilet, mushola, mini market, hingga restoran kecil. Di SPBU ini, kita akan bertemu semua orang dari semua arah yang akan pergi ke arah yang berbeda-beda. Di SPBU ini, kita tidak akan menyalahkan kenapa dia mudik ke Jakarta saat semua orang justru keluar dari Jakarta. Tidak mengejek kenapa dia pulang ke Tegal atau ke Cirebon. Semua tujuan valid dan sah. Saat musim mudik tiba, SPBU menjadi area yang begitu berisik, sumpek, dan kacau.

SPBU hanya diciptakan untuk perhentian sementara, bukan tujuan akhir. Sama seperti abu-abu yang diciptakan oleh kita dan realitas-realitas kita saja. Tapi apakah kita mau menjadikan SPBU sebagai tujuan akhir? Pun mau, apakah bisa?

Kita harus punya tujuan, bukan? Itulah mengapa pada akhirnya kita harus memilih.

Mau tidak mau, kita harus menyadari bahwa: hidup memang tentang hitam atau putih, selatan atau utara, kanan atau kiri.

Tidak ada utara saat kita ingin ke selatan, tidak ada kanan saat kita berjalan ke kiri, dan tidak ada hitam saat kita ingin putih. Hidup sebenarnya semudah dan sejelas itu. Kita yang kadang pengecut, bersembunyi malu-malu pada abu-abu.

Maka tentukanlah pilihan dan bersiap untuk konsekuensinya.

Karena tentu saja, kita tidak bisa pergi ke Cirebon dan berharap sampai di Yogyakarta.


Sekelebat

Kamu pernah bilang kalau kamu adalah salah satu orang paling sombong yang pernah ada di dunia ini. Kamu ingat? Begini ucapanmu dulu, “Aku itu sombong dan arogan. Harusnya aku engga suka sama kamu”.

Ingat waktu aku memperlihatkanmu kamus kecilku yang berwarna merah muda? Aku katakan di sore itu, “Aku masih belajar ngehafal kosa kata yang susah-susah”. Dan ingat apa katamu? “Kalau kamu belajar dari dulu, kamu pasti lebih jago dari aku”

Aku cuma tersenyum simpul.

Semalam, semesta membuat sebuah humor. Dia datang padaku sekelabat, mengingatkanku padamu, membuatku paham sesuatu, dan lalu meninggalkanku sendiri.

Ditinggalkannya padaku sebuah suara bahwa kamu adalah salah satu orang paling rendah hati yang pernah ada.

Karena kamu, tidak pernah membuat orang merasa kerdil layaknya orang-orang sombong atau arogan. Bahkan di saat kamu punya banyak kesempatan untuk melakukan itu, kamu akan memilih membicarakan hal lain yang mudah dipahami. Aku melihatnya begitu.


 Aku mengatakanmu tengil, ingat?

Minggu, 16 April 2017

Tuhan dan 'kenapa' yang mengelilingiNya

"Ask in order to understand and do not ask in order to find fault"

Tuan dan Puan, saya ingin menulis sesuatu yang panjang kali ini. Agar membacanya tidak bosan, maka saya sarankan Tuan dan Puan untuk duduk dengan posisi paling nyaman sambil menyantap kudapan.

Begini, beberapa bulan terakhir ini saya sering sekali, entah sengaja atau tidak, membaca, mendengar, atau bahkan berbicara dengan mereka yang memutuskan untuk menjadi seorang Ateis atau Agnostik. Bahkan, jika saya sulit tidur, dan tidak ada bacaan yang bagus untuk dibaca, saya kerap membaca wawancara atau bahkan blog-blog yang ditulis oleh mereka yang Ateis atau (dan) Agnostik.

Dari situlah, saya melihat sebuah pola.

Sulit menulis tulisan ini tanpa perasaan bahwa saya pasti akan dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak, saya ini adalah manusia tipikal dengan semua indikator untuk menjadi seseorang yang beragama. Saya Lahir di Indonesia, besar di Jawa, perempuan, dan  semua keluarga saya murni Islam tanpa terkecuali. Boom! 

Besar pikir saya, Tuan dan Puan akan tersenyum penuh makna pada saya. Mungkin Tuan dan Puan akan berpikir, bahwa akan sulit bagi saya untuk mempunyai pandangan berbeda tentang hal-hal seperti: LGBT, konsep surga dan neraka, terorisme, persamaan hak perempuan, hukum rajam, atau konsep menikah beda agama. Karena di Islam, semua itu rasa-rasanya tidak diberi ruang diskusi yang penuh.

Mungkin juga, Tuan dan Puan yang saat ini Ateis atau Agnostik, akan dengan sederhana mengatakan bahwa kita berada di dua jalur yang berbeda. Tidak salah kok, tidak juga saya ingin membenarkan. Pilihan kita berbeda, tapi kita masih bisa hidup di bumi yang sama, bukan demikian? :)

Namun, ingin rasanya saya memberitahukan kepada Tuan dan Puan tentang pola yang saya maksudkan di awal. Koreksi jika saya salah, atau Tuan dan Puan tidak sependapat dengan saya. Apa yang saya dapatkan dari mayoritas bacaan seperti blog, artikel atau jurnal penelitian, hingga obrolan dengan mereka yang Ateis atau Agnostik adalah: mereka mempertanyakan konsep Tuhan dan Agama, karena kedua hal itu, kerap membuat hidup manusia tidak jelas juntrungannya.

Motivasinya cukup beragam, hanya saja pertanyaan-pertanyaannya cenderung seragam. Kenapa Tuhan punya agama? Tidakkah Tuhan terlalu besar untuk masuk pada satu konsep agama? Jika Tuhan menciptakan cinta, mengapa LGBT dilarang? Kenapa masih banyak orang menderita? Kenapa agama menyuruh begini dan begitu, padahal realitanya begini dan begitu? Kenapa surga dan neraka begitu hitam dan putih padahal manusia tidak hitam dan putih? Dia kan Tuhan, kenapa Tuhan harus disembah? Saat semua bisa dijawab dengan ilmu pengetahuan, maka kenapa kita harus percaya hal-hal spiritual? Kemana Tuhan saat banyak pembunuhan? Kenapa orang yang beragama lebih arogan? Dan pertanyaan yang paling terkenal, kenapa harus membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain?

Sebegitu banyaknya pertanyaan, hingga akhirnya banyak yang beranggapan begini: “Tuhan ada atau tidak ya sudahlah. Pun ada, harusnya Dialah yang bertanggungjawab” 

Jadi, daripada menjadi lebih kontradiktif, maka Tuan dan Puan putuskan untuk menjadi manusia dengan akal pikiran dan hati, titik. Perkara Tuhan betulan ada atau tidak, surga dan neraka, dan dogma agama ini dan itu, bukan hal yang harus diambil pusing. Selama Tuan dan Puan tidak melakukan hal-hal keji yang bisa merugikan orang lain, kerap tolong menolong dan melakukan hal-hal yang baik, lantas apa yang harus dipermasalahkan? Urusankan masing-masing, bukan begitu?

Jangan salah sangka dulu wahai Tuan dan Puan yang baik, saya disini tidak untuk mendebat, membenarkan pendapat, atau bahkan mengatakan Tuan dan Puan itu salah kaprah. Tidak sama sekali. Jika Tuan dan Puan punya pendapat, sayapun demikian.

Ijinkan saya bercerita tentang saya.

Saat kecil, saya punya keyakinan yang teramat besar bahwa di angkasa sana, ada 5 bilik untuk 5 Tuhan. Jadi akan ada 5 surga dan neraka untuk 5 agama di Indonesia. Untuk itulah saya setuju tanpa bisa dibantah bahwa semua agama benar adanya. Saya sempat penasaran kenapa saya harus dilahirkan di bilik Islam yang harus bangun jam 5 pagi buat sholat? Saya mau pilih Hindu saja saat itu, karena kebetulan, teman saya seorang hindu dan saya selalu suka saat dia berkata “om swastiastu…’. Saya juga suka wangi dupa saat berkunjung ke rumahnya. Belum lagi, jadi Hindu itu enak, karena engga harus mengaji tiap sore, menghafal surat, dan PUASA, tapi tetap bisa masuk surga! Engga adil.  

Tapi bagi seorang anak SD, pikiran itu sekelabat lalu saja. Karena jika saya tidak mengaji dan hafal surat pendek, akan ada hukuman menanti saya. Walau menggerutu, tetap saya jalani tanpa paham apa maksudnya.

Saat SMP, saya selalu suka melihat perayaan natal. Saya bahkan berharap kalau saya mau makan, saya bisa berdoa seperti sebagaimana seorang nasrani berdoa. Dan saya penasaran sekali dengan gereja. Apalagi terlihat dari luar, arsiteknya sangat heritage. Terlebih, saat peralihan masa SD ke SMP, saya mengalami goncangan hidup paling dahsyat yang membuat saya marah pada Tuhan nyaris 1 tahun lebih. Saya merasa Tuhan itu bohong saat Dia bilang akan mengabulkan semua doa-doa hambaNya. Nyatanya tidak sama sekali. Tapi, entah karena rutinitas atau apa, saya tidak pernah meninggalkan sholat. Kalau saya marah, saya sering sekali melihat ke atas langit dan berkata dengan sengit, ‘Ya Allah, jadi Tuhan kok jahat banget sih?’.

Hingga saya SMA dan kuliah. Saat kuliah, saya bahkan memutuskan untuk tidak menggunakan hijab. Agama bagi saya menjadi sebuah pilihan yang harus dihormati. Dan saya masih dalam pemahaman bahwa semua agama itu benar adanya, dan orang bebas merepresentasikan definisi Tuhannya masing-masing. Tidak ada yang salah, dan tidak ada yang harus diperdebatkan. Bahkan, saya pernah memenangkan salah satu kompetisi iklan tentang ‘Pro LGBT campaign’. Saya merasa menjadi orang Islam paling toleran yang pernah ada. Sedikit tentang LGBT, bagaimana mungkin saya bisa membenci LGBT saat sahabat saya mengaku bahwa dia gay dan meminta saya menerimanya apa adanya? Maka saya kunci pemikiran-pemikiran itu, dan hidup seperti biasa.

Hingga hidup membawa saya, lagi-lagi ke satu titik terbawah. Kurang lebih 5 atau 6 tahun yang lalu.

Disitulah saya mulai mengkaji pikiran tentang 5 bilik di angkasa untuk 5 Tuhan beserta surga dan nerakanya. Disitulah saya mulai mencari tahu, apa itu Tuhan dan siapa Dia? Kenapa Dia engga pernah berhenti menyiksa saya? Dan pertanyaan saya paling besar: kenapa Dia menciptakan agama yang bikin saya kesusahan menjalaninya? Bagaimana bisa Tuhan bisa memuaskan semua manusia yang jumlahnya milyaran?

Maka pencaharianpun dimulai. Bertanyalah saya kepada si ini dan si itu, membaca ini dan itu.

Sayapun mulai berjalan dari satu ketidaktahuan menuju ketidaktahuan lainnya. Kebingungan satu menuju kebingungan yang lebih besar lainnya. Lalu kemudian dari satu jawaban ke jawaban lainnya. Jangan Tuan dan Puan pikir pemahaman dan jawaban yang saya maksud adalah sesatu yang gaib ya. Seperti misal ada malaikat menampakan diri di depan saya, serambi berkata ‘Jangan sedih…’. 
Karena yang saya maksudkan jawaban adalah, sesuatu yang secara logis bisa saya terima dengan akal pikiran. Itu butuh waktu yang lamaaaaaaaaa, tidak sehari jadi, dan masih terjadi bahkan hingga detik ini.

Hingga beberapa tahun lalu, pertanyaan saya mencapai puncaknya. Saya mulai penasaran tentang kematian. Inilah huru hara itu. Inilah rupanya yang membuat seorang yang percaya Tuhan berani bersikap di luar nalar, sedang mereka yang tidak percaya akan sangat santai melihat hidup. Inilah titik balik saya untuk akhirnya semakin giat mencari tahu.

Dalam pikiran saya, hal yang paling pasti adalah kematian. Sialnya, tidak ada yang bisa bangkit dari kematian dan menceritakan pada saya apa yang akan terjadi disana. Apakah kita benar-benat mati? Pindah tempat? Atau seperti apa?
Dari situlah saya mulai serius mengkaji. Tak lagi saya pedulikan kenapa agama melarang ini dan itu atau mewajbkan ini dan itu. Saya menjadi sangat egois dengan mencari tahu tentang apa yang terjadi saat seseorang mati. Itu saja.

Sama seperti Tuan dan Puan yang juga tidak suka didogmatisasi atau ditakut-takuti, sayapun demikian. Untuk itu, saya mencari tahu perspektif dari semua kepercayaan tentang kematian. Semua Tuan dan Puan, semua! Dan pencarian itulah yang membawa saya di hari ini.

Bagi saya, inilah konsep yang masuk akal atas penjelasan kematian seseorang, bahwa sebuah jiwa akan kembali pada penciptanya dan kelak akan bertanggung-jawab. Inilah jawaban dari celetukan ‘Saya dan Tuhan, adalah urusan saya dan Tuhan kalau memang Dia ada’. Karena memang demikian adanya.

Selanjutnya, pertanyaannya lebih sederhana, Jadi Tuhan, Kamu itu apa, siapa, dan maunya apa?”

Maka saya kembali mencari jawabannya. Bukan dengan semedi, tapi dengan membaca sebanyak mungkin bacaan, membandingkan pendapat, mendengar, dan menghadiri kajian. Betapa saya terkejut saat jawaban-jawabanya ternyata sangat rasional. Surga dan neraka misalnya, tidak seperti yang saya bayangkan, tidak seperti yang orang-orang katakan. Lebih jauhnya, Tuhan tidak seperti yang saya bayangkan. Semuanya masuk akal, tidak berbelit-belit, dan mudah dipahami! BOOM! Namun dasar manusia, saya masih berat untuk menerima jawaban-jawaban itu walau rasional. Malah ada beberapa yang masih sering saya pertanyakan. Tapi lagi-lagi, selama saya mencari, jawaban itu ternyata bisa didapatkan.

Tuan dan Puan yang baik, ada satu buku yang membuka pikiran saya tentang konsep ketuhanan. Walau saya membaca Paulo Coelho dan beberapa artikel tentang konsep Tuhan dan alam semesta, tapi tulisan-tulisan itu malah membuat saya semakin banyak bertanya. Dan semakin dicari tahu, semakin tidak ada jawabannya. Atau saya yang memang logikanya terlalu tumpul untuk paham.
Judul buku itu adalah Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah. Agar lengkap dan tidak timpang, saya putuskan untuk membaca sejarah secara umum tentang peradaban manusia.

Awalnya saya pikir pengetahuan tentang Tuhan dan Agama adalah sesuatu yang akan mengantarkan saya pada jawaban ‘Jangan banyak tanya. Imani saja!’. Makanya saya agak malas belajar soal itu. Karena bagi saya, buat apa belajar sesuatu yang hanya boleh dirasakan tapi tidak bisa dikritisasi. Kan manusia punya akal, boleh dong kita minta sebuah argumen logis.

Tapi rupanya, setelah sedikit demi sedikit dipelajari, saya dikejutkan oleh fakta semua pertanyaan selalu punya jawaban, dan semua penjelasannya ternyata bisa diterima oleh akal sehat. Keyakinan sayapun perlahan lahir dari pengetahuan yang bisa ditangkap akal, dan perlahan hati saya menjadi lebih tenang.

Beberapa orang berkata saya mendapat hidayah.

Awalnya saya kira hidayah adalah sejenis kegaiban atau cahaya, yang membuat siapapun saat terbangun di pagi hari, merasakan ada hal-hal yang berbeda dalam dirinya. Saya sih engga pernah merasa begitu, karenanya saya bilang pada teman saya, ‘Ah masa sih?’

Rupa-rupanya, hidayah itu berupa kumpulan hari saat hati saya terasa sesak tiap bangun tidur, rasa ingin mati saja, merutuk semua orang, mempertanyakan dimana Tuhan, depresi berkepanjangan, mencoba ini dan itu agar tenang, hingga rasa tidak ikhlas yang membuat hati menjadi gundah. Kumpulan hari itulah yang menyeret saya untuk mencari tau jawabannya. Mungkin iya, itu bisa dikatakan hidayah, atau apapun istilahnya.

Namun saya lebih suka mengatakan, bahwa akhirnya perjalanan saya mengantarkan saya pada sebuah awal yang terang. Sebuah awal yang saya yakini dengan logis tentang kenapa saya ada di titik ini. Sebuah awal dari perjalanan panjang ke depan yang sangat misterius. Jika saya menengok ke belakang, saya merasa inilah konspirasi semesta yang tertulis di banyak artikel itu.

Butuh lebih dari belasan tahun untuk menyadarinya, namun inilah saya hari ini: seorang Islam yang masih belajar.

Namun demikian wahai Tuan dan Puan, perjalanan setiap orang berbeda-beda untuk menjawab pertanyaan ini. Seperti yang sangat sering saya baca dari blog-blog atau artikel seorang Ateis atau Agnostik atau bahkan flisuf, bahwa manusia akan selalu ada di fase-fase kehidupannya. Tentang itu, barang tentu saya setuju.

Saya tentu tidak tahu Tuan dan Puan sedang ada di fase mana.

Saya hanya bisa memberi secuil saran, bahwa jawabannya ada di luar sana jikalau mau dicari. Tuan dan Puan kan punya akal pikiran, jadi jika ada pertanyaan, mengapa tidak ditanyakan? Jika Tuan dan Puan mencari tahu dengan hati yang terbuka dan pikiran yang mau menerima jawaban, nanti Tuan dan Puan akan paham.

Bacalah semua referensi dan buku-buku sejarah, berbincanglah dengan sebanyak mungkin orang, dan ambil waktu untuk merenung. Atau Tuan dan Puan bisa mulai dari pertanyaan yang paling ingin Tuan dan Puan dapatkan jawabannya.

Memang agak sedikit menyita waktu, tenaga, dan emosi. Tapi sedikit pengorbanan mungkin akan sepadan dengan apa yang akan Tuan dan Puan dapat. Apapun jawaban yang Tuan dan Puan dapat nantinya, pastilah sesuatu yang sudah lama dicari-cari.

Tidak perlu kita debat kusir hanya untuk mencari tahu mana yang salah dan mana yang benar, apakah Tuhan ada atau tidak, mengapa agama ini begini sedangkan agama itu begitu. Tuan dan Puanlah yang harus mencari tahu, saya hanya menyampaikan apa yang saya ketahui dan alami.

Janganlah Tuan dan Puan menerima sesuatu mentah-mentah. Saya pastikan, otak dan nalar yang kita miliki, cukup bisa dipakai untuk membedakan mana dogma yang tidak masuk akal dan mana yang bukan, serta saya percaya hati Tuan dan Puan bisa tahu jawabannya.

Saya hanya khawatir satu hal saja: Tuan dan Puan kehabisan waktu dan menyesal. Itu saja. Untuk itulah saya bersedia menulis panjang dan lebar tentang sesuatu, yang saya selalu saya hindari untuk ditulis dalam blog ini.

Tuan dan Puan yang baik, bacalah sejenak kisah ini:

Di sebuah sore yang syahdu, seorang lelaki nan baik hatinya datang pada seorang wanita yang dicintainya. Dengan membawa bunga, serta cincin, lelaki itu berkata, “Aku mencintaimu, maukah kau menikah denganku?”

Si wanita menjawab, “Apa buktinya kalau kamu mencintai saya?” Lelaki itu menyodorkan cincin yang disimpannya di kantung sambil berkata, “Sebagai bukti kalau aku mencintaimu, aku akan menikahimu”

Wanita itu acuh sambil berkata, “Cih! Menikah! Kalau cuma ngajak nikah, semua orang juga bisa. Tapi apa buktinya kalau kamu cinta sama saya?”

Lelaki itu terdiam, dan berkata, “Aku akan membelikanmu rumah, mobil, dan membiayai hidupmu dan keluargamu. Itu buktinya”  

Wanita itu terdiam sejenak, lalu berkata “Kalau hanya membelikan mobil, rumah, dan membiayai hidupku, semua lelaki juga bisa!”

Lelaki itu, saking cintanya pada wanitanya, dengan sabar bertanya “Lalu, bukti apa yang kamu inginkan?" 

Wanita itu terdiam. Setelah agak lama dia berkata, “Ya… engga tau. Tapi apa buktinya kalau kamu cinta sama saya?”

Lelaki itu kembali menjawab, “Kan tadi aku sudah bilang, aku akan menikahimu, tidak akan selingkuh, membelikanmu mobil, rumah, dan membiayai hidupmu dan keluargamu”

Wanita itu gusar, “Hal-hal itu bukan bukti kalau kamu mencintaiku!”  

Lelaki itu menjawab, “Aku sudah bertanya, bukti apa yang membuatmu bisa yakin? kamu tak tahu. Aku buktikan semua kesungguhanku, kamu katakan, itu bukan bukti. Lalu mau sampai kapan kamu tidak percaya kalau aku mencintaimu?”

Wanita itu menjawab, “Ah.. mungkin kalau kamu membuktikan kalau kamu sanggup membangunkanku satu rumah di Bulan!”

Lelaki itu tersenyum, “Jika itu yang kamu maksudkan bukti, maka selamanya kamu tidak akan pernah percaya kalau aku mencintaimu”

Mungkinkah Tuan dan Puan bukannya tidak percaya dengan Tuhan dan Agama, melainkan Tuan dan Puan menolak untuk percaya?  Ahh…. Tentang inipun, hanya Tuan dan Puan yang tahu jawabnya, saya hanya berasumsi saja, maaf agak lancang.

Begitulah pendapat saya. Sudah berapa banyak kudapan yang Tuan dan Puan santap hingga selesai membaca?

Akhir kata, saya ucapkan: Selamat mencari tahu (hanya jika dirasa itu perlu)!


Jumat, 14 April 2017

Buih

Tidakkah pemilihan gubernur di Jakarta menjadi tamparan super keras bagi siapapun yang beragama Islam di negeri ini?

Jangan mengerenyit dulu, biar tidak salah kaprah, saya akan jelaskan maksud pemikiran saya.

Pertama, tentang surat Al-Maidah ayat 51. Ibarat artis yang baru naik daun, surat dan ayat ini menjadi lebih sering disebut ketimbang ayat kursi yang membuat setan terbirit-birit, bahkan lebih pamor dibandingkan Al-Kahfi yang barang siapa menghafaz 1 -10 ayatnya akan selamat dari fitnah Dajjal. Seketika, dengan adanya pemilihan gubernur di Jakarta, tidak peduli mereka yang Islam atau tidak, sholat atau tidak, puasa atau tidak, semuanya tau bahwa ada surat di Al-Quran bernama Al Maidah ayat 51. Sejak itu pula, Al-Maidah menghiasi semua lini pemberitaan baik lokal maupun international, dari pesan broadcast di social media, hingga materi pengajian dan jumatan.

Berbondong-bondong juga orang untuk memberikan pemahamannya akan hal ini. Seakan lupa bahwa ayat Allah tidak untuk diperdebatkan. Sebagai seorang muslim, pilihannya menjadi sangat jelas: patuhi atau tidak. Sederhana saja. Kalau tidak suka atau tidak mau mematuhi, yaa…. asumsinya, sebagai seorang muslim dia pasti tau apa konsekuensinya.

Jadi, menjadi ajaib bin buang-buang waktu dan tenaga untuk memperdebatkan sebuah ayat dari Al-Quran. Apalagi berdebat dengan manusia, buat apa? Pilihan ditangan mereka yang muslim. Tidak usah didebat, tidak usah di ‘tapi kan.. tapi kan…’, dan yang paling penting tidak usah mengkafir-kafirkan orang. Aneh sekali kita ini, Allah bukan, kok judgemental, hak dari mana? Bisa jadi yang hari ini tidak mau patuh dengan Al-Quran, besok menyesal. Eh, yang hari ini patuh, besok membangkang.

Kewajiban kita kan hanya memberitahu serta mengingatkan, kalau itu tidak mempan, itu menjadi urusan yang bersangkutan kelak di hadapan Rabbnya. Sudahilah mengarang-ngarang tafsir, apalagi berdebat kusir. Seakan ilmu kita lebih banyak dari Imam Bukhari atau Imam Syafi’i, sehingga berani memberikan interpretasi atas ayat Quran.

Begini Tuan dan Puan, Bapak Ahok atau Bapak Sandiaga hanyalah dua orang manusia biasa saja. Bagaimana jika sehari setelah pemilihan mereka meninggal dunia? Atau bagaimana jika Jakarta ditimpa bala bencana yang sangat buruk dan tidak ada satupun pemimpin yang sanggup hadapi? Bukankah kita diajarkan untuk tidak menyerahkan hal-hal apapun pada manusia yang sangat rapuh itu? Bukankah kita percaya bahwa akan ada kuasa lain dibalik apapun itu? Lalu mengapa kini kita menjadi risau?

Wahai Tuan dan Puan yang baik, tidakkah kita ingat kisah Umar Bin Khatab? Seorang Quraisy yang menganiyaya seluruh umat Islam dan bahkan memiliki keinginan kuat untuk membunuh Nabi? Tapi apa yang Nabi lakukan? Dia berdoa. Beliau berdoa. Apa akhirnya? Seseorang yang awalnya sebegitu benci dengan Islam, akhirnya menjadi pemimpin yang paling tegas dengan hati paling lembut yang pernah diingat dalam sejarah Islam.

Maka, lain kali, perbanyaklah menghadap Rabb, dan sampaikan hajat kita. Bukankah begitu Islam mendidik kita? Bukan dengan amukan, aksi ini atau aksi itu, tapi dengan doa. Bukankah itu senjata kita, seorang muslim?

Kedua, Tuan dan Puan yang baik, ikhlas atau tidak, suka atau tidak, Indonesia memang bukan negara Islam, Jakarta apalagi. Darimana seorang muslim bisa menolak Bapak Ahok mencalonkan diri sebagai gubernur atas nama konstitusi Indonesia? Undang-undangnya jelas, tidak ada yang dilanggar di sini.

Apakah Tuan dan Puan mau berkata “Tapi Indonesia lebih baik di pimpin dengan cara Islam!”. Tapi Tuan dan Puan yang saya sayangi, bahkan di Lombok sana, mesjid dibangun hanya untuk megah-megahan saja, belum dimakmurkan. Menerapkan syariat Islam, hanya bisa jika setiap kali dengar adzan, kita semua tanpa terkecuali meninggalkan perkara dunia, dan sholat. Sudahkah kita bisa?

Lagipula, bukankah Rasul telah mengajarkan pada kita semua tentang semua hal, termasuk adab hidup dengan mereka yang berbeda keyakinan?

Untuk itu, jangan debat kusir dengan lantang berkata bahwa Indonesia lebih pantas dipimpin oleh pemimpin Islam. Bapak Ahok punya hak untuk maju menjadi pemimpin. Tidak ada yang salah, sah saja di depan konstitusi Indonesia. Kecuali kalau Indonesia secara akad adalah negara Islam, lalu seorang non Islam maju untuk jadi pemimpin, nah… itu baru ajaib.

Agar Tuan dan Puan kembali ingat, Indonesia dijajah berabad-abad oleh Belanda, dan kita menjadi merdeka karena kita semua pada saat itu melepas semua atribut kita dan meraih kemerdekaan. Tidak ada ras, agama, atau suku tertentu, begitulah awal mula Bhnineka Tunggal Ika.

Ketiga, kuping saya panas sekali ketika mendengar orang-orang berkata begini, “Pasangan lainnya tidak punya kapasitas yang memadai untuk memimpin ibukota Negara”.

Karena itu mengingatkan saya pada sebuah hadist Nabi “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancurannya terjadi.” Ada sahabat bertanya; ‘Bagaimana maksud amanat disia-siakan?’ Nabi menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan pada kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (Bukhari - 6051)

Lalu bagaimana dong?

Bahagianya saya, saya bukan orang Jakarta, jadi tidak akan ikut-ikutan dalam hiruk pikuk pemilihan Gubernur di Jakarta.Yeay!

Hanya saja, ketika melihat debat putaran akhir calon Gubernur dan Wakil Gubernur semalam, dan membaca beberapa komentar di twitter, saya seperti ditampar. Saya bahkan tidak punya kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya.

Betapa tidak, saya menjadi sadar, bahwa jikalau saya adalah seorang Jakartans, saya seakan tidak punya alasan untuk memilih pasangan Anies-Sandiaga selain karena saya patuh pada Al-Quran. Karena tentu saja saya tidak bisa membantah perintah dari yang memiliki langit dan bumi. Karena sebagai muslim, saya harus mengiyakan semua huruf di Al-Quran. Tidak peduli mau sepahit, sesusah, seberat apapun. Karena semua jiwa harus bertanggung jawab pada penciptanya kelak. Saya tentu saja tidak bisa membantah, saat pencipta saya melarang.

Disnilah letak permasalahan itu.

Tidakkah kita ini malu atas kondisi kita hari ini? Kita tidak punya alasan selain karena mengiyakan Al-Quran, kita tidak bisa bangga karena si calon memang kurang kompeten, kita tidak bisa unggulkan mereka karena memang si calon kalah telak dari segi ide, mereka tidak punya pengalaman yang mumpuni. Tidakkah kita malu, kita menyodorkan calon beragama Islam, yang membuat kita gelagapan ketika ditanya ‘Coba tunjukin dimana bagusnya mereka?’.

Saya hanya bisa menunduk dan malu ketika suara di kanan kiri berkata “Islam tidak lebih dari fanatisme berlebihan, konsep kuno, tanpa peduli dengan realita yang seseungguhnya”. Bukan karena Islamnya, tapi karena sikap saya. Tapi mengingat Umar bin Khatab pernah berkata “Angkatlah kepalamu, Islam itu agama mulia.”, setidaknya saya bisa gigit bibir dan mencoba acuh.
Oh Tuan dan Puan, lalu mau sampai kapan?

Mereka mungkin salah kaprah tentang Islam, tapi apakah saya bisa membantah tentang apa yang terjadi dengan muslim hari ini? Saat sholat berjamaah di masjid saja belum mampu ditegakkan.

Tidakkah kita sadar, inilah buih itu. Sayalah buih itu. Sayalah buih yang Rasul bilang dalam hadistnya:  “Hampir terjadi keadaan yang mana umat-umat lain akan mengerumuni kalian bagai orang-orang yang makan mengerumuni makanannya.”  Salah seorang sahabat berkata, ‘apakah karena sedikitnya kami waktu itu?’,  Nabi berkata: “BAHKAN, pada saat itu kalian banyak jumlahnya, tetapi kalian bagai Ghutsa (buih kotor yang terbawa air saat banjir). PASTI Allah akan cabut rasa segan yang ada di dalam dada-dada musuh kalian, kemudian Allah campakan kepada kalian rasa wahn.” Kata para Sahabat: ‘Wahai Rasulullah, apa wahn itu?’ Beliau bersabda: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud, Ahmad)  

Malunya saya ini, saat Islam sebesar ini, tapi saya bahkan gagap dalam merepresentasikan Islam. Saya katakan bangga, saya yakini lebih dari apapun, saya katakan pengikut Rasulullah, tapi saya bahkan tidak punya argumen logis selain agama untuk melawan Bapak Ahok? Sungguh saya tertampar.

Cobalah pikir, andai calon yang beragama Islam itu seperti Abu Bakar Ashidiq, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, atau Umar Bin Khatab, apakah akan ada debat kusir dan fitnah disana-sini?

Toh perang badarpun butuh siasat dan persenjataan yang kuat bukan? Tidak hanya sekedar ‘Tenang, inilah agama yang benar!’ dan berharap menang. Lalu bagaimana kita memahami “Allah tidak akan mengubah suatu nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka” (Ar -Ra’d: 11).

Sebagai penutup, saya punya satu kisah untuk kita semua.

Ingatkah bahwa Rasul pernah bersabda: “Sungguh, Konstatinopel (sekarang Istanbul) akan ditaklukan oleh kalian. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukannya” (HR.Ahmad)

Tahukah bagaimana itu terjadi?

Adalah Muhammad Al-Fatih, putra ketiga dari Sultan Murad II dari kerajaan Turki Utsmani, yang berhasil menjawab hadist itu. Lihatlah bagimana dia harus disiplin mempelajari semua ilmu sejak kecil, melihat kakak-kakaknya dibunuh, diturunkan dari pemerintahannya, hingga saat penggempuran Konstatinopelpun, ia diberikan kekalahan bertubi-tubi oleh Allah.

Bagaimana tidak ada malam yang ia lewatkan tanpa Tahajud, berlatih panah dan tombak setiap hari, hingga membuat siasat perang bertahun-tahun lamanya, dan membaca semua buku. Dia bahkan punya koleksi perpustakaan sendiri. Semangatnya bukanlah untuk mewujudkan hadist Nabi, berkali-kali ia katakan ‘Ayo kita taklukan konstatinopel agar cahaya bisa masuk’. Dia hanya ingin, meraka yang belum tahu menjadi tahu tentang kebenaran. Islam mendidik kita berikhtiar, baru bertawakal.

Lihat sikap Muhammad Al Fatih saat tembok konstatinopel berhasil ditembus, apa yang ia katakan di depan gereja pada seluruh warga konstatinopel yang beragama kristen ortodoks?

“Wahai Rakyat Konstatinopel, jangan khawatir dan jangalah kalian takut! Kalian tidak akan dibunuh atau disakiti sama sekali. Jiwa kalian, harta kalian, rumah kalian tidak akan kami ganggu. Sekarang pulanglah, rapikan rumah kalian, dan besok lakukanlah pekerjaan yang biasa kalian lakukan tanpa takut”  

Dia mencontohkan bagaimana dan apa itu Islam, tanpa berkoar-koar. Tidakkah kita ingin menjadi seperti itu? Tidakah kita ingin menjadi muslim yang kuat dan cerdas?

Tuan dan Puan, kini tidak akan ada lagi perang dengan tombak dan panah atau meriam. Kini semua orang menggunakan otak dan kepintarannya untuk berperang. Tidakkah kita harus membenahi diri kita sendiri saat ini?  Tidakkah sejarah sudah membuktikan bahwa kehancuran Turki Utsmani terjadi saat kita menjadi lalai?

Ini bukan untuk siapa-siapa, ini hanyalah refleksi untuk saya, untuk kita yang mengaku Islam. Tidakah saya ini memalukan? Berdiri pada kebenaran, tapi tidak mencerminkan itu sama sekali?

Tidakkah ini saatnya merapatkan barisan, dan kembali menuntut ilmu dan mempraktekannya pada diri kita sendiri?




Dari Abdullah r.a berkata, Rasullullah saw. bersabda “Belajarlah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain; pelajarilah ilmu dan ajarkanlah kepada orang lain; pelajarilah perkara-perkara fardhu dan ajarkanlah kepada orang lain, karena aku adalah manusia yang akan ditarik dari dunia ini (wafat), dan sesungguhnya ilmu pengetahuan juga akan segera diangkat, sehingga suatu hari nanti, dua orang akan berselisih (tidak sependapat) tentang perkara yang fardhu (karena kurang pengetahuan), sedang tidak ada seorangpun yang memberitahukan dengan benar kepada keduanya tentang perkara fardhu tersebut” (Hr. Baihaqi dalam Syu’abul IImaan II/255)

Jumat, 03 Februari 2017

Dan demi semua paksaan-paksaan itu, aku berjanji akan tegar!

Solo yang nasibnya sama dengan Jogja, diguyur hujan sepanjang hari. Genangan air ada di mana-mana, ditambah angin yang membuat siapa saja ingin berdiam diri di rumah dan menyeruput wedang jahe.

***

Namanya Nabil, kenalkan. Dia adalah perempuan muda yang sekarang jadi rekan bisnis kreatif yang sedang kami rintis bersama-sama.

Seperti biasa, dia menjemput saya di stasiun Purwosari dan membawa saya ke tempat-tempat yang bisa didukuki cukup lama, dan memili Wi-Fi. Saat perjalan menuju ke lokasi makan, iseng saya bertanya padanya,
"Jadi apa sekarang teman-teman SMK kamu, Bil?".
Dia menjawab saya, "Aku kan SMKnya jaauh di ujung Solo, jadi ya mereka tuh paling kerja di Solo aja. Engga yakin jadi apa".
"Kok kamu masuknya SMK yang jauh?", kata saya penasaran.

"Waktu itu, bapakku yang maksa. Dia itu bilang, kalau nanti pas aku udah lulus SMK, kemampuan multimedia akan sangat dibutuhin. Jadi aku dipaksa gitu masuk situ. Dan kebetulannya, SMK itu punya jurusan multimedia yang bagus"

"Jadi ada sedikit faktor paksaan ya, Bil?"

"Iya bangeet! Tapi sekarang aku bersyukur sih. Aku baru banget ngerasain dampaknya. Untuuung aja aku dipaksa masuk sana." sambil tertawa.

Dari belakang jok motor, saya pun tertawa.

Dan merenung.

Hmm.. saya jadi merasa bahwa banyak hal-hal yang terjadi dalam hidup saya, justru berawal dari hal-hal yang tidak saya suka, tidak saya inginkan, bahkan saya sangat membencinya di awal. Tapi seiring berjalannya waktu, saya menjadi percaya bahwa sebagian besar hal-hal itu dipaksakan kepada saya untuk sebuah alasan. Seperti Nabil, beberapanya sudah saya pahami dan syukuri manfaatnya, sedangkan beberapanya sedang dalam proses untuk berubah menjadi baik.

Menariknya, saya tidak menemukan hal-hal yang dipaksakan oleh orang lain kepada saya. Semua yang saya alami, dan kerjakan adalah murni karena keinginan dan pilihan saya. Saya ini dipaksa, dipaksa oleh keadaan. Keadaanlah yang memaksa saya membuat pilihan ini dan itu, hingga mengantarkan saya pada diri saya hari ini.
Iya, keadaanlah yang memaksa.

Sebelum sampai ke tempat tujuan, saya hanya menimpali Nabil dengan, "Hidup, kadang kalau engga dipaksa sama orang, ya dipaksa sama keadaan, ya kan, Bil?"

Nabil hanya tertawa.

Solo yang menyenangkan sore ini, obrolan kami berjalan lancar, eksekusi akan segera dilakukan, dan sebuah cerita menarik dari Nabil dan paksaan bapaknya untuk masuk SMK yang membuat saya tersenyum.

Saya semakin yakin, keadaan akan memaksa saya agar menjadi kuat dari hari ke hari.


Minggu, 29 Januari 2017

Sampai Jumpa, bukan begitu?

"Melangkah sendiri, seringkali kau melihat kanan kiri.
Semua menyuruh tuk berlari.

Tak ada yang peduli kau sakit hati, berhenti atur nafas sendiri"
(Slow)

Semakin kesini, hidup semakin sadis dalam upayanya menutut manusia untuk mandiri, alih-alih mengatakan sendiri. Kadang, ketika kita merasa sudah memiliki tempat dan teman seperjalanan yang tepat, sudah berjalan cukup jauh bersama-sama, namun kemudian kita bertemu sengan sebuah persimpangan. Mau atau tidak, siap atau tidak, kita akan memilih diantara persimpangan itu, mana pilihan terbaik untuk hidup kita, dan sedihnya, seringkali pilihan kita sangat berbeda dengan mereka yang sudah berjalan bersama-sama.
Lagi-lagi, perpisahan!

Tentu saja akan ada teman baru dalam langkah kita kedepan. Dengan rasa dan sensasi yang pasti berbeda. Tapi berada di persimpangan, dengan menyaksikan bahwa kita akan mengambi langkah yang berbeda dengan mereka yang sudah sama-sama berjalan sepanjang jalan, cukup membuat hati ketar-ketir. Seperti cuplikan lagu Sherina dalam film anak Indonesia kesukaan saya sepanjang massa, ‘mungkinkahku temui persahabatan seperti disini…’.   

Adaptasi akan selalu jadi bagian paling menantang dalam kehidupan manusia. Terlebih saat tak banyak pilihan manusia ketika berada di persimpangan. Belum lagi kita dikejar waktu. Kita sebagai manusia akhirnya hanya pasrah saat dihadapakan pada keharusan untuk memilih. Toh akhirnyapun, kita akan menemukan dan berjalan pada jalan kita masing-masing. Mengantarkan kita pada babak baru pejalanan kita dengan bertemu orang-orang baru dan mulai beradaptasi lagi, sebelum akhirnya bertemu persimpangan selanjutnya.
Oh… sungguh sebuah siklus abadi yang kejam.

Seringkali saya merasa takut dan gamang pada jalan-jalan baru yang akan saya ambil. Ketika tidak ada lagi si A atau si B yang akan menemani saya padahal kami sudah melalui banyak hal-hal. Tapi apa daya, manusia tidak pernah diciptakan bebas dari perpisahan dan pilihan. Mungkin takdir akan membuat kita kembali beririsan suatu hari nanti, ah… siapa tahu? Semoga saja.

Dan disinilah saya sekarang, akan kembali memilih jalan persimpangan. Akan kembali berpisah, dan akan berjalan sendiri untuk sementara waktu. Ada semacam ketakutan besar untuk kembali sendiri dan memulai adaptasi. Tapi… saya yakin bahwa saya akan baik-baik saja pada akhirnya.

Pada sebuah malam, setelah obrolan panjang tentang persimpangan jalan, dengan seorang atasan kerja.



Hujan, Payung, dan Kita

Apakah mungkin, kita bisa mencintai lebih dari satu orang di waktu yang bersamaan? 

Duuuh! Pertanyaan rumit. Benda abstrak bernama cinta itu sulit sekali untuk diukur.

Tapi melihat bagaimana cinta itu juga ada kaitannya dengan aktivitas hormon dalam tubuh kita, jadi ya itu semua tergantung pada bagaimana kita memaknai cinta itu sendiri. Jadi ya mungkin-mungkin saja kita jatuh cinta pada lebih dari satu orang, atau mungkin saja kita jatuh cinta setiap harinya pada orang yang berbeda. Kalau pertanyaannya ‘munginkah?’, ya jawabannya ‘ya mungkin-mungkin aja’.

Apakah mungkin seseorang memiliki dua komitmen yang berbeda di waktu yang bersamaan? 

Nah! Ini… lebih rumit.  Saking rumitnya, bagaimana jika kita menjawab pertanyaan ini sambil berjalan-jalan di luar?

Mumpung sedang gerimis, sepertinya pas untuk mengambil payung dan menyusuri jalan sambil melihat pemandangan kota.

Yuk!  

Biar seru, sebelum jalan-jalan, ajaklah dua orang lainnya dan minta masing-masing membawa payungnya sendiri. Sementara kita, biarlah kita santai tanpa perlu membawa payung. Biarkan kita nebeng dan bebas memilih di payung siapa kita mau berteduh. Toh kita punya dua payung. Jadi, harusnya sih aman…

Hujan di bulan januari, memang kadang tidak tertebak. Kadang rintik-rintiknya deras, seperti hujan yang tidak terlalu deras, tapi kadang hanya seperti embun tapi deras. Jadi, menggunakan payung adalah pilhan yang cerdas!

Pertanyaannya, apakah bisa kita berjalan lurus dengan dua payung, dengan tiga orang tanpa berdesakan?

Karena kita adalah orang yang tidak membawa payung, alhasil kitalah yang harus mondar-mandir dari satu payung ke payung lain. Sehingga pilihannya adalah, yang satu akan berjalan di depan sementara yang satunya dibelakang. Jikapun bisa berjalan beriringan, paling hanya beberapa detik atau menit saja. Karena pasti payungnya mengenai satu sama lain dan membuat kita kesusahan sendiri untuk berjalan bersama dengan sejajar.
Yang paling ideal ya… salah satu akan berada di depan, dan satunya dibelakang dengan kita yang akan bergantian berteduh di dua payung itu bergantian.

Capek ya? Iya engga sih?

Kalau begitu, mari letakan satu payungnya, dan mari gunakan satu payung saja untuk bertiga. Biarkan semuanya berada di bawah satu kendali payung yang sama.

Sudah? Oke, mari lanjutkan perjalanan…

Hujan di bulan Januari yang tidak tertebak membuat kita bertiga harus mati-matian berdesakan. Karena bisa saja yang satu bilang ‘Ke kanan dikit dong, kena basah nih’ sementara yang paling kiri akan bilang ‘ayo cepet, ada genangan disini’, dan yang tengah akan mengikuti kanan dan kiri.

AH! Mungkin karena payungnya terlalu kecil.

Aah… bisa jadi. Mari kita letakan payung kecil itu, dan membeli satu payung yang besar agar muat untuk tiga orang.

Tapi apakah tidak terlalu berat di pegang oleh tiga orang? sementara payung kan hanya punya satu gagang? Tidakkah itu menjadi kewalahan?
Oh, kalau begitu, kita butuh orang lain lagi untuk berada di payung besar ini.
Tapi bagaimana jika nanti kita akan kesempitan lagi?

Arrrgh!

Baiklah, mari ambil dua payung kecil itu lagi, dan kita akan lanjukan sisa perjalanan. Dengan kata lain, akan ada satu orang yang akan bolak-balik untuk berteduh di satu payung. Dan karena bukan kita yang membawa payung, maka biarlah kita yang bolak-balik.

Dan sampailah kita kembali di rumah.

Fyuiih..

Jadi, apakah itu menjawab pertanyaan rumit itu? Apakah kita bisa berada di dua komitmen di waktu yang sama?
Mungkin jawabannya bukan bisa atau tidak, tapi sanggup atau tidak.

Saat hujan, dan berada di bawah payung yang sama hanya dengan seseorang, bukanlah sebuah romantisme kuno. Juga bukan masalah berapa banyak orang yang berada dibawah satu payung yang sama, atau berapa banyak payung yang kita punya. Tapi payung itu sendiri, diciptakan untuk melindungi orang yang berada di bawahnya.

Saat berjalan-jalan dengan seseorang atau dua orang di bawah payung itu, tentu kita akan beradu mulut, karena kita butuh agar payung itu melindungi kita sama baiknya dengan orang disamping kita. Kita ingin kendali yang jelas, apakah ke arah kanan atau kiri, karena jika tidak kompak, maka kita atau orang itulah yang akan basah terkena hujan.

Bukan berarti tidak bisa digunakan oleh lebih dari satu orang, tapi melelahkan ketika harus menyesuaikan keinginan dari banyak orang di bawah satu payung. Bisa sih bisa, asal berapapun banyaknya orang di bawah satu payung itu, bersedia berbagi. Harus ada yang mau sedikit berbasah-basah, karena di sisi lainnya sedang menghindari cipratan mobil, dan sebagainya, dan sebagainya. Payungnya kan cuma satu.

Sementara memiliki dua payung yang berbeda, agar kita bisa terlindungi?
Halaah… bukankah dari hasil jalan-jalan kita barusan, justru kitalah yang akhirnya kehujanan karena harus berpindah-pindah payung?

Kalau saya ditanya, mana yang akan saya pilih?

Well, saya tidak merasa harus memiliki dua payung, saat satu saja cukup. Dan jikapun harus berada di bawah satu payung, saya pastikan bahwa hujanlah yang akan saya nikmati, bukan berdesak-desakan yang tidak perlu. Lebih baik menikmati hujan berdua, dibanding menghawatirkan apakah kita semua terlindungi sama ratanya atau tidak.


© RIWAYAT
Maira Gall