Rabu, 31 Mei 2017

Repertoar Pembiasaan

"Kulewati dalamnya lembah hidup, mengartikan tujuan Si Langit Biru"
(Sekali Lagi, Isyana S)

Kalau kehilangan adalah salah satu keniscayaan, mengapa hingga hari ini orang masih saja tidak tahu apa dan bagaimana cara terbaik menghadapinya?

Isra Miraj, salah satu kejadian terpenting dalam sejarah Islam, yang membuat sholat lima kali dalam satu hari berstatus wajib bahkan diawali dari satu hal: Nabi yang kehilangan Istri dan Pamannya sekaligus di waktu yang hampir bersamaan.

Seorang anak remaja yang saya temui bahkan masih bergetar hebat saat menceritakan bagaimana ia harus kehilangan ibu, ayah, dan adiknya saat gempa tahun 2006 silam.

Seorang ibu bahkan masih terus menatap nanar setiap ingat suaminya yang meninggal saat di bawa ke rumah sakit.

Tidakkah ada yang memberitahu bahwa kehilangan adalah salah satu dari banyak hal yang seharusnya harus ditanggapi dengan biasa saja? Seperti lapar, seperti haus, seperti kelelahan, atau seperti kelupaan bahwa ada serial drama televisi yang harusnya kita tonton.
Bukankah kehilangan itu harusnya menjadi hal yang biasa saja? Kehilangan itu siklus yang berputar tanpa bisa diubah.

Sebagaimana saya tidak mengerti mengapa manusia selalu nestapa jika sudah berhadapan dengan kehilangan, saya menjadi yakin bahwa bukanlah kehilangan yang membuat manusia menjadi tenggelam dalam kesedihan, tapi hal-hal tidak kasat mata yang melingkupi kehilangan.

Seorang ibu harus menatap nanar setiap ingat suaminya yang meninggal karena ia harus hidup bersama anak-anaknya yang menjadi buah cinta mereka berdua. Semakin tumbuh berkembang anak-anak itu, semakin nanar rupanya si ibu dalam mengingat kematian suaminya.

Seorang remaja masih bergetar hebat karena ia menyesal tidak melihat jenazah ayah, ibu, dan adiknya untuk terakhir kali. Ia diungsikan karena orang-orang takut ia menjadi tidak terknedali atau stress melihat seluruh keluarganya meninggal. Tapi justru itu yang membuatnya lunglai, justru karena ia melewatkan kesempatan melihat wajah orang-orang terdekatnya untuk terakhir kali yang akhinya membuatnya menyesal.

Isra Miraj terjadi saat Nabi harus kehilangan dua orang terpenting dalam hidupnya justru tepat di saat dia merasa kelelahan menyampaika risalah. Paman yang selalu melindunginya, bahkan tidak bersedia mengakui risalahnya hingga wafat, dan istrinya yang selelalu menjadi tempat pulangnya pun, akhirnya juga berpulang padaNya. Padahal sebagai Nabi, harusnya dia lah orang yang paling paham bahwa kematian adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar. Tapi mengapa ia lunglai? Mengapa ia sampai harus berjalan tak tentu arah seperti orang gila? Padahal dia kan Nabi. Apa Sang Rabb lupa memberitahukanya tentang kematian dan musabab yang ditimbulkannya? Hingga Jibril harus menampakan diri sekali lagi dan perintah sholat turun.

Rupanya, seorang Nabipun resah akan masa depan yang harus dihapinya tanpa orang-orang terdekatnya. Keresahan yang sulit diungkapkan karena ia bergantung pada dua orang itu sejak awal risalah. Untuk itu, diberikanlah jawaban atas keresahan itu berupa sholat. Agar tidak ada satupun orang yang menjadi gelap mata saat menghadapi kehilangan. Agar setelah Nabi, kita semua ingat bahwa kita memiliki dan dimiliki oleh Sang Maha Pemilik.

Seakan Rabb tahu, jika Nabi terakhirnya saja lunglai, maka manusia selanjutnya pasti akan lebih rentan lagi jika berhadapan dengan kehilangan.

Dan memang demikian adanya. Tidak ada yang paling sadis menuntut kekuatan selain perpisahan. Apapun alsasannya, bagaimanapun kejadiannya, jika sudah tentang kehilangan semua orang seketika bisa guncang.

Maka beruntung bagi mereka yang menjadikan sabar dan sholat sebagai penolongnya. Setidaknya ia masih bersandar pada yang Maha Ada, pada yang Maha Mengambil, dan pada yang Maha Mengganti.

Karena jika kehilangan adalah siklus abadi dan sebuah keniscayaan, maka biasakanlah. Itu akan hilir mudik hadir di semua lini kehidupan kita, tanpa sanggup kita tolak.

Sebagaimana saya, maka cobalah berteman dengan kehilangan.


Kamis, 04 Mei 2017

Jangan tunggu, mungkin ini saatnya

Mungkin tanpa sadar, kita terbiasa menetapkan indikator-indikator dalam hidup. Misalnya, kita akan merasa bahagia jika kita sudah begini atau begitu. Sehingga, jika kita belum begini atau begitu, maka kita akan dengan tegas mengatakan bahwa kita ini belum bahagia.  

Tapi menetapkan indikator juga bukan hal yang salah sih. Sebagai manusia, kita memang lebih mudah memahami hal-hal yang kongkrit daripada yang abstrak. Lebih mudah mengatakan kita senang karena mendapatkan bunga dari gebetan, daripada menjelaskan rasa kengen tengah malam yang tiba-tiba datang.   

Kita bisa-bisa saja punya indikator atas hal-hal yang membuat kita bahagia, sedih, dongkol atau jenis perasaan lainnya. Cukup pahami bahwa jika indikator itu sudah kita tetapkan, kita jadi punya semacam standar atau ukuran baku. Standar itulah yang menjadi awal lahirnya sebuah ekspektasi. Dan sering kali, ekspektasi itulah yang menjadi sumber kesedihan, kegembiraan, atau berbagai perasaan lainnya. Dengan kata lain, kitalah dalang dari perasaan-perasaan yang kita rasa.

Minggu lalu, seorang teman dekat saya mengabarkan bahwa mantan kekasih satu-satunya akhirnya menikah. Saya tanya bagaimana perasaannya, dan dia menjawab “Surprisingly ya Peh, biasa aja loh…”  

Saya kaget mendengar jawabannya. Karena seingat saya, saat pertama kali dia tau bahwa mantan pacarnya bertunangan, dia semacam terguncang hebat. Maka saya katakan, “Mungkin setelah kamu tau dia tunangan, kamu udah punya standar kesedihan, kalau-kalau suatu hari kamu tau dia menikah beneran. Dan kamu pasang standar kesedihannyanya terlalu tinggi, jadi pas kejadian beneran, engga begitu bikin kamu sedih”  

Dia jawab santai, “Mungkin juga… “   

Tapi, bolehkah kita bersedih, bergembira, kesal, atau marah tanpa indikator? Tanpa ekspektasi? Tanpa rencana? Bahkan tanpa punya standar baku?  

Tadinya saya mempunyai beberapa indikator yang saya pikir akan membuat saya sedih bukan kepalang kalau itu kejadian, atau senang bukan kepalang kalau itu kejadian. Lucunya, setelah kejadian itu benar-benar terjadi, perasaan saya sungguh berbeda dari apa yang saya bayangkan. Sebelum lulus misalnya, saya pikir masuk salah satu agensi iklan terkemuka akan membuat saya bangga dan happy. Lah, nyatanya saya malah terpuruk. Atau saya pikir, kalau saya resign dari radio tempat saya bekerja, saya akan galau berminggu-minggu. Eh, saya engga ada galau-galaunya tuh. Bahkan saat siaran terakhir.  

Dulu saya bayangkan wisuda akan jadi moment yang membahagiakan. Nyatanya biasa aja. Diterima judul proposal yang justru bikin saya bahagia. Kalau ingat hal ini, saya jadi menyesal kenapa harus memburu-buru proses wisuda. Saya kudunya rayakan aja dulu kesenangan saya saat judul skripsi di terima.   

Atau saya menyesal tidak menerima tawarannya untuk menjemput saya di bandara, atau mengantar keliling Jogja, karena saya pikir itu bukan saatnya. Tapi sekarang, saya rela melakukan apa saja agar dia bisa menjemput saya di Bandara, atau dia ke Jogja sehingga kita bisa jalan-jalan. Saya bisa saja bahagia saat itu, tapi saya tolak.   

Semacam ada dorongan untuk berkata, “Jangan senang dulu… ini belum apa-apa. Ini belum saatnya”.

Lah, justru kalau sekarang happy, ya engga usah ditahan-tahan dong. Belum tentu di waktunya nanti, kita akan beneran bahagia, kalau engga?  

Hal ini membuat saya belajar untuk menerima hari ini sebagaimana adanya. 

Misal, saya ingin membuat sebuah lemari buku yang lucu kalau saya punya rumah sendiri. Tapi…, kenapa harus tunggu punya rumah sendiri? Saya bisa bikin saat ini juga dan bahagia saat ini juga. 

Atau, kalau kelak di usia 30 an saya belum menikah, saya berpikir, mungkin saya akan sedih. Tapi kenapa harus sedih? Saya bisa beli apartemen sendiri dan bisa punya kehidupan yang seru jikapun saya belum menikah saat itu. 
Sebaliknya, tidak perlu tunggu besok untuk bersedih. Kalaupun ada hal-hal mengaggetkan yang membuat saya sedih, maka saya akan terima seperti tsunami yang tiba-tiba datang. Tidak perlu saya bayangkan saat ini. Toh belum kejadian.   

Saya akan belajar untuk bahagia saat ini juga dan menerima kesedihan saat sudah terjadi saja. hehehe 

Saya rasa, saya harus belajar untuk tidak punya aturan baku dalam perkara sedih dan senang. Sesekali, hidup akan saya buat mengalir apa adanya. Mensyukuri apa yang ada dulu, dan bersiap dengan kejutan esok hari.

Que sera sera.


© RIWAYAT
Maira Gall