Rabu, 16 Agustus 2017

"coba dolo!"

Mungkin ada benarnya apa kata orang-orang atau artikel-artikel yang membahas soal hubungan asmara, yang mengatakan bahwa semakin dewasa (atau tua), definisi kita akan pasangan dan hubungan yang ideal akan berubah. Berubah dari hal-hal artifisial menuju hal-hal yang lebih prinsipil. 

Beberapa hari yang lalu saya melihat pasangan yang membuat hati saya hangat. Singkat cerita, mereka berdua ini adalah orang dari timur Indonesia, kemungkinan besar dari daerah Maluku kalau diperhatikan dari logatnya. Si lelaki sedang ambil S2 di Jogja dan kesulitan membuat semacam tulisan ilmiah. Si perempuan, duduk di sebelahnya bermain game dan sesekali melihat pasangannya yang tampak kebingungan.

Sedikit-sedikit si lelaki meminta bantuan si perempuan, dan perempuan dengan sedikit galak akan membantu si lelaki. Hingga terjadilah percakapan begini:

Lelaki: "Eh... bagaimana caranya membuat gambarnya jadi di tengah?"
Perempuan: "Aduh...! gampang sekali itu toh...". 

Lalu membantu mengerjakan di leptop si lelaki.

Lelaki: "Kok ini tidak mau?"
Sambil menengok leptop si lelaki, si perempuan berkata, "Sama caranya kayak tadi. Coba dolo!"

Lalu tak lama si perempuan berkata, "Bagus.... saya menang!"

Sayapun menoleh, dan ternyata si perempuan asik bermain game sambil sesekali memberi arahan pada si lelaki.

Kenapa mereka membuat hati saya hangat? Karena saya dulu beranggapan lelaki yang sempurna adalah lelaki yang bisa melakukan semua hal tanpa perlu saya bantu. Tapi rasanya, itu terlalu artifisial. Sekarang saya mau punya pasangan yang bisa menangis di depan saya dan mengakui dia lemah, dan saya akan ada di sana untuk berkata, "Iya, emang kamu lemah... gapapa.... kamu lemah aja aku cinta kok. Cup cup cup jangan cengeng deh! Makan es krim yuk?".

Pemandangan menyenangkan saat dua orang saling memiliki satu sama lain, melindungi kelemahan satu sama lain, mendukung satu sama lain. 

Semoga pasangan itu langgeng. Aamiin


Senin, 14 Agustus 2017

identitas

Saya sebenarnya tidak pernah benar-benar melabeli diri saya pada sebuah identitas tertentu, atau lebih tepatnya saya tidak begitu tertarik untuk membuat saya dikonotasikan dengan sebuah unsur tertentu. Akan tetapi, saya tidak bisa memungkiri bahwa setiap manusia memiliki preferensi yang berbeda-beda akan kesukaan dan juga minat yang secara langsung atau tidak, pada akhirnya akan membuat kita memiliki identitas. 

Ayah saya seorang Bugis murni dan Ibu adalah Sunda totok tanpa campuran. Dari dulu saya selalu kebingungan untuk menjawab pertanyaan orang tentang identitas asli saya. Walau semakin kesini, pertanyaan itu semakin mudah dijawab karena saya jauh lebih suka diasosiasikan dengan orang Bugis dibanding orang sunda. Sederhana karena saya lebih suka ketegasan yang ada di Bugis dibanding lemah gemulainya Sunda. 

Saya dari dulu benci sekali lagu-lagu cinta pinggiran yang mengumbar makna cinta yang mudah dipahami. Rasanya telinga dan hati saya secara otomatis menolak lagu-lagu itu, dan terlebih saya tidak mau diasosiakan dengan mereka yang menggandrungi lagu-lagu begitu. Bagi saya, semakin sastra dan sulitnya lirik sebuah lagu dibuat, semakin baguslah lagu itu. Maka saya lebih menggilai jalur musik alternatif dibanding yang umum didengar.

Sadar atau tidak, tapi saya tidak pernah berhasil jatuh cinta pada lelaki yang pemikirannya terlalu standar akan hal-hal. Saya tidak akan pernah tahan dengan lelaki yang tidak bisa memuaskan saya jika kami sedang mengobrol. Mau bagaimanapun dia merayu, selama dia tidak bisa mengobrol banyak hal dengan saya, maka selama itu juga saya tidak akan tertarik. 

Saya punya definisi sendiri tentang apa itu eksistensi, apa itu pekerjaan, apa itu uang, apa itu bahagia. Kadang itu semuapun berlawanan dengan pendapat umum. 

Tapi tetap saja, saya tidak merasa bahwa saya ingin melebeli diri saya sebagai jurusan anti mainstream atau hipster. Saya hanya merasa bahwa saya memiliki beberapa preferensi akan sesuatu yang untuk beberapa hal mungkin berbeda dengan orang lain. Tapi saya juga tidak sendiri, orang-orang seperti saya juga banyak. 
Sehingga kadang saya merasa nyaman dan aman saja sendirian tanpa perlu mengikuti pendapat orang-orang. Hingga tak lama munculah kritik, bahwa hidup saya tidak bisa terlalu idealis. Bahwa mengakui saya orang Sunda itu bukan berarti bahwa saya lemah gemulai dalam pandangan yang jelek. Atau menyanyikan satu atau dua lagu cinta umum, bukan berarti saya menghianati idealisme saya. Atau mulailah untuk melebarkan preferensi saya akan lelaki. Begitu kata beberapa orang berpendapat.

Maka sesekali saya mencoba mengikuti arus, mengikuti kemana kebanyakan orang berfikir dan bertindak. Namun rupanya, manusia memang memiliki preferensi masing-masing yang tidak bisa dipaksakan. 

Jadi biarkan saja kalau saya lebih menyukai musik alternatif, lebih menyukai dibilang orang Bugis, akan selalu terarik pada lelaki yang secara intelektual lebih baik dari saya. Bahkan menurut saya, itu semuapun bukan bagian dari mempertahankan idealisme, itu semua hanya bagian dari perbedaan preferensi dan bagaimana kita menjadi diri kita sendiri.

Ini tentang bagaimana kita mengapresiasi identitas-identitas diri kita. 

Ruang Tengah

"Pagimu yang terluka, malammu yang menyiksa.
Hal yang ingin kau lupa, justru semakin nyata...."

Sebuah ruang tengah di antara aku dan kamu, di mana semua pertanyaan atas ini semua berada di sana. Kamu di sisi kanan, dan aku ada di sisi kiri, terpisah oleh sebuah ruang kosong. Masing-masing dari kita membawa kuncinya dan selalu mampir di sana membuang semua pertanyaan demi pertanyaan. Berandai bisa mengetahui secara langsung jawabanya, tapi yang ada di dalam ruangan itu hanyalah pertanyaan. Pertanyaanmu dan pertanyaanku tentang kabar, perasaan, dan sedikit harapan.

Tak ada dari kamu atau aku yang bersedia mengunjungi bilik kita masing-masing untuk bertanya langsung, untuk mengkonfrontasi secara lugas. Entah takut, entah segan, atau entah memang waktu dan kesempatan yang belum ada. 

Maka ruang tengah itu tersedia diantara aku dan kamu sebagai wadah membuang semua pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya pertanyaan, karena jawabannya hanya kamu dan aku yang tahu. 


"Mengunci ingatanmu, menahan masa lalu, memori yang membisu, harapan yang berdebu" 
(Barasuara)

© RIWAYAT
Maira Gall