Kamis, 20 Desember 2018

mencoba rasa

Berjalanlah dia menuju sebuah pasar. Dalam hiruk pikuk pasar itu, dia melihat banyak sekali toko yang terang benderang dengan ornamen-ornamen menarik di sepanjang pasar. Dia terus berjalan hingga menemukan sebuah toko kue. Di depan toko kue itu, dia melihat pegawai toko yag mengenakan seragam menarik sambil membawa sebuah nampan penuh berisi tester kue dengan rasa yang bermacam-macam. Si pegawai toko itu dengan atraktifnya berkata sambil menyodorkan nampan itu, "Silahkan dicoba, ini adalah kue-kue terbaik dari toko kami". Dia berhenti sejenak dan menengok ke arah nampan itu, dan benarlah apa kata pegawai toko itu, nampan itu berisi potongan-potongan kecil kue dengan berbagai warna dan ukuran. Dia terdiam sejenak untuk menentukan mana kiranya yang mau ia coba. Diapun lalu memilih potongan kue dengan bentuk kotak berukuran kecil berwarna hitam. "Itu rasa coklat, salah satu andalan toko kami", kata pegawai itu bersemangat. Maka dicobalah tester itu dengan sekali suapan. Dia merasa rasanya agak aneh, aneh yang tidak bisa dijelaskan dengan ucapan. Melihat wajahnya yang kurang senang dengan pilihan tester itu, pegawai itu buru-buru menyodorkan pilihan lain. "Yang ini aja, ini rasa lemon, tidak begitu manis rasanya", katanya membujuk. Dia menurut, diambilah tester itu, dan dimakannya sekali suapan. Benar saja, wajahnya seketika berubah. Rasa kue lemon itu sungguh enak, tidak begitu manis, dan ada sedikit rasa asam. Segar sekali jika ditemani dengan secangkir teh. Diapun memutuskan untuk membelinya. Namun sayang, kue lemon itu tidak tersedia saat itu, sudah habis stoknya. Dengan raut menyesal, pegawai toko itu berkata "Mau yang rasa lain?". Sudah terlanjur suka dengan kue lemon, diapun menggeleng dengan sopan. Dia akhirnya berlalu tanpa membawa apapun. Dalam hatinya dia berkata, kalau suatu hari nanti dia lewat lagi di toko itu, dan kue lemon itu tersedia, dia mungkin akan membelinya.

Beberapa lama kemudian, dia kembali mengunjungi pasar. Namun, kali ini dia mengunjungi jalan yang berbeda. Toko-toko masih saja menawarkan hal-hal yang beragam dengan pajangan yang menarik hati. Setelah lama berjalan, dia kembali menemukan toko kue. Toko kue yang letaknya cukup tersempil diantara toko-toko lainnya. Di depannya tidak ada pegawai berpakaian menarik yang menawarkan tester, hanya sebuah meja panjang berwarna hijau yang diatasnya berjejer kue-kue dengan warna dan ukuran yang beragam. Terpampang juga sebuah tulisan, 'Temukan rasamu di sini'. Dia sebetulnya ingin membeli kue lemon yang tempo hari ia coba, namun tester di toko ini sungguh berbeda dan mengundang selera. Tak seperti di toko sebelumnya, kali ini dia mencoba banyak sekali tester. Setelah mencoba banyak tester kue, pilihannya jatuh pada dua pilihan, yaitu kue pandan yang lembut, serta kue kismis yang padat. Dia pun masuk ke toko itu, hendak membeli keduanya. Dia beruntung, karena uangnya cukup membeli dua kue itu sekaligus. Dengan sumringah, dia berhasil membawa pulang kedua kue itu. Dia berencana memakannya bergantian sebagai teman membaca.

Dia pun kembali ke pasar setelah beberapa bulan. Dia berjalan dan berjalan masuk ke dalam pasar. Belum lama dia berjalan, dia melihat sebuah spanduk yang bertulisan 'Bazar Kue'. Matanya langsung berbinar, dia ingin membeli kue dengan rasa berbeda dari kue pandan dan kismis yang terakhir kali dia beli. Diapun berjalan cepat menuju area bazar. Dan benar saja, belum lama dia melangkah, dia langsung disuguhi banyak sekali kios-kios kecil yang menjual kue. Dia merasa kelimpungan untuk menentukan tester mana yang harus dicicipi karena banyak sekali pilihan yang tersedia. Hingga akhirnya dia menghabiskan waktu untuk mencicipi semua tester di bazar itu tanpa membeli satupun kue. Dia merasa kewalahan dan lidahnya tak sanggup lagi merasa. 

Kembali dia mengunjungi pasar, dan kali ini dia tidak begitu ingin mencari kue. Pengalaman terakhirnya ketika mencicipi tester, membuatnya sedikit kapok mencoba-coba. Dalam hatinya, dia ingin mempunyai satu kue langganan yang akan dia beli tanpa perlu repot-repot lagi mencicipi tester. Setelah berjalan cukup lama, pandangannya tertuju pada sebuah toko kue sederhana yang menjual hanya satu jenis kue saja. Dia pun memutuskan kesana sebelum pulang. Saat berada di toko tersebut, dia bertanya dimana tester yang bisa dia coba. Dengan sopan pegawai toko itu berkata, "Maaf, kami tidak menyediakan tester, anda bisa langsung membeli jika anda mau". Dia merasa begitu aneh dengan hal itu. Dia ragu, karena dia ingin mencicipi terlebih dahulu sebelum membelinya. Namun apalah daya, dia tidak bisa memaksa. Dari belakang, punggungnya dicoleh oleh seseorang yang telah membeli kue itu. Dengan ramah berkata, "Ini, silahkan coba saja punya saya". Dia tersenyum, dan mengambil potongan kecil itu. Seketika dia merasa itu kue yang paling tepat untuk lidahnya. Bukan yang terlezat, bukan yang terlembut, bukan yang termanis, hanya saja dia merasa bahwa kue itu pas dengan lidahnya. Setelah mengucapkan terimakasih, dia pun memesan kue itu. Namun malang, pegawai toko itu berkata "Maaf, kami hanya menjual 200 loyang per hari. Anda bisa kembali lagi besok". Walau sedih, dia pun memutuskan untuk pulang sambil mengenang rasanya.

Keesokannya, dia kembali lagi ke toko itu, namun lagi-lagi dia terlambat. Kue itu telah habis.

Dia memutuskan datang lebih awal keesokan harinya. Dan benar saja, sudah banyak orang antri. Dengan sedikit tergesa, dia ikut mengantri dengan perasaan cemas. Setelah tiba di barisan paling depan, ternyata uang yang ia bawa tidaklah cukup. Dia pun pulang dengan sedih.

Dalam perjalanan, dia berjanji untuk mempersiapkan segalanya, agar bisa membeli kue itu.

Keesokan harinya, dia berangkat lebih awal, mempersiapkan uang, dan mengantri di barisan depan. Saat sampai di depan pegawai tokonya untuk membayar, pegawai toko itu tersenyum dan berkata, "Selamat menikmati". Dia akhirnya membawa kue itu pulang dengan perasaan haru.

Hari ini dia kembali datang ke pasar. Dia melihat orang lain seperti dia sedang mencicipi tester kue. Dia tersenyum simpul. Dia tahu betul lelahnya mencari sepotong kue sebagai teman minum teh dan membaca buku. Dia tidak lagi ingin mencicipi tester apapun lagi, dia telah menemukan kuenya. Dia hanya perlu menemukan buku yang harus dia baca sebagai teman memakan kue. 


Minggu, 02 Desember 2018

Kisah Kembang Tahu

"I know you haven't made your mind up yet, but I will never do you wrong
I've known it from the moment that we met, no doubt in my mind where you belong"


Dunia sesak dengan kisah-kisah cinta. Puisi-puisi asmara hilir mudik tercipta, sajak-sajak romansa menghiasi ribuan karya seni, dua manusia yang saling jatuh cinta membuat hiruk-pikuk dengan semua kisah-kisah mereka.

Ada kisah cinta yang masih diuji kevaliditas riwayatnya, antara fiktif atau tidaknya belum ada yang berani memastikan, seperti miliknya si Romeo dan Juliet, dua pasangan yang terlalu dimabuk cinta, hingga tewas karena racun. Agak menggelikan memang.

Ada kisah cinta yang cukup beruntung untuk dikenang oleh banyak manusia, karena mencermikan kisah cinta abadi yang hanya dipisahkan oleh maut. Milik Bapak Habibie dan Ibu Ainun misalnya.

Ada juga kisah yang benar-benar fiktif namun sengaja dibuat sebagai representasi kisah-kisah cinta manusia pada umumnya. Katakanlah kisah remaja Cinta dan Rangga, atau Dilan dan Milea.

Namun, walaupun tidak banyak telinga yang mendengar, mata yang menyaksikan, atau karya seni yang mengabadikan, ada milyaran lebih kisah cinta di luar sana. Kisah cinta yang nyata dan otentik. Ada kisah cinta milik Najiyah Nana dan suaminya yang hanya bertemu selama 3 minggu untuk sampai di pernikahan. Ada kisah cinta Ulin dan suaminya yang akhirnya kembali bersama setelah beberapa tahun putus. Ada kisah cinta Shofi yang mendapatkan pasangan hatinya saat bersekolah master di Amerika. Kisah cinta Uda Uki dan Mbak Mustika yang dulu ketika KKN biasa-biasa saja, lalu karena lokasi kerjanya berseberangan di Slipi, berakhir di pernikahan. Kisah cinta Hirma dan Dendi yang dimulai dari tinder dan berujung di akad nikah.

Tersempil diantara kisah-kisah itu, kita. Kamu yang sudahlah tidak perkasa perawakannya, terlalu banyak maunya. Aku yang tidak begitu rupawan, tapi mendayu-dayu pikirannya. Klise sebetulnya.

Dulu ketika aku mendengar atau melihat kisah-kisah cinta orang lain, aku sering sekali mengerenyit dahi sebagai tanda tidak pahammnya aku atas konyolnya kisah-kisah mereka. Hingga aku memilih untuk bersikap skeptis saja jika diceritakan kisah-kisah itu. Namun kelamaan aku paham, bahwa kisah cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipahami oleh manusia lain, di luar dua manusia yang menjadi aktor utamanya.

Jika ada dua manusia yang berkisah, maka biarkan saja mereka yang paham, toh perasaan mereka yang benar. Orang lain, dipersilahkan untuk mengerenyitkan dahi.

Maka mari rayakan eksklusifitas kisah-kisah cinta itu. Diantara hiruk-pikuk itu, setidaknya ada kita yang ikut berpawai.


"The storms are raging on the rolling sea and on the highway of regret
The winds of change are blowing wild and free, you ain't seen nothing like me yet"
(Make You Feel My Love - Adele)

Sabtu, 24 November 2018

Aku dan ketakutan-ketakutanku

"Semua yang kamu percayai, menuntun langkahmu pulang di sini"
(Finest Tree)

Mungkin harus ada minimal jam, atau hari, atau tahun yang dilalui untuk bisa benar-benar beranjak.
Atau jika waktu bukan hitungan yang paten, mungkin harus ada minimal jarak yang ditempuh untuk bisa sampai pada titik akhir.
Jika ternyata waktu dan jarak tidak kuasa, mungkin harus ada minimal jumlah orang-orang baru yang dijumpai untuk bisa mempunyai awal baru.

Akupun mencoba kemungkinan-kemungkinan itu. 

Lalu waktu demi waktu bergulir, hingga aku tidak bisa lagi menghitung. 
Kemudian jarak demi jarak terlalui, ombak dari pantai timur hingga barat, gunung dari selatan ke timur, hingga aku tidak tahu lagi harus pergi kemana.
Dan orang-orang baru yang hadir, hingga aku tidak paham lagi apa arti kedatangan mereka semua.

Tapi titik awalnya tetap saja sama. Aku hanya seperti kabur dari sesuatu yang harus aku hadapi.

Menolak kegagalan usahaku, aku berpikir, oh... mungkin aku belum memenuhi jumlah minimal waktu untuk beranjak, belum sampai pada minimal jarak untuk berada di titik akhir, atau bertemu minimal jumlah orang untuk memulai sesuatu yang baru. Mungkin usahaku belum cukup keras.

Tapi ada bagian lain dari aku yang bertanya, bagaimana jika, aku sudah melalui maksimal waktu yang diperlukan, menempuh maksimal jarak yang diharuskan, dan sudah berusaha keras bertemu dengan sebanyak mungkin manusia, tetapi pada akhirnya jarak, waktu, dan manusia yang harus aku temui kembali pada titik yang sama?

Bagaimana jika ternyata ini semua, hanyalah waktu yang terulur panjang dan jalan berputar untuk kembali ke titik yang sama?


Minggu, 18 November 2018

Sebelum jam 5 sore, itu hanya kegiatan darmawisata

Love of my life, can't you see?
Bring it back, bring it back,
don't take it away from me because you don't know what it means to me
(Queen)

Di minggu malam, saya dan tiga wanita di rumah kos menghela nafas panjang, karena tersadar esok harinya akan kembali berjibaku dengan tugas-tugas kantor. Lantas salah satu diantara kami, si Icha, berceletuk, “Tenang aja tsaaay, kehidupan yang sesungguhnya itu kan setelah jam 5 sore….”, dia diam sejenak dan melanjutkan kalimatnya dengan paripurna, “Sebelumnya kan cuma darmawisata….”.

Kamipun tertawa, antara getir dan satir.

Beberapa minggu yang lalu, saya bersama seorang teman, pergi menuju Bogor untuk mengunjungi seorang teman lama. Karena sudah lama tidak bertemu, sepanjang perjalanan dalam KRL, kami banyak bertukar kabar dan cerita, mulai dari urusan pekerjaan hingga asmara. Dia sedang resah bagaimana harus mencari pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas diri dan kebutuhan materialnya.

Sayapun menimpali kegelisahannya dengan berkata,“Tapi nih ya… menurutku, dalam hidup kita, kerjaan itu porsinya engga terlalu besar kalau dibandingin sama aspek kehidupan kita yang lain”

Dia menyerengitkan dahi dan menjawab, “Kok? Tapi kan kerjaan itu menyita hampir sebagian besar waktumu?”

Dan saya menjawab dengan mengutip perkataan Icha, “Technically sih ya… tapi kalau katanya temenku, dan aku setuju banget, kehidupan yang sebenarnya itu setelah jam 5 sore. Semenjak di Jakarta, aku sekarang ngerti sih, gimana nelangsanya kehidupan orang-orang Jakarta yang kalau pulang kerja, capek, balik ke kosan atau apartemen, sendirian…. Gimana ya… bukannya lega, malah bikin makin capek…Makanya aku bener-bener bersyukur banget di rumah kosan yang ini. Pulang tuh ada yang nyambut, weekend tau mau kemana… kayak ada kehidupan yang lebih hidup ketimbang kehidupan di kantor“

Kamipun terdiam sejanak. Sambil melihat ke arah jendela, saya bertanya, pertanyaan yang saya tujukan kepada diri saya sendiri sebenarnya, “Mana yang kira-kira bakal kita pilih, dipecat setalah 10 tahun kerja, atau pasangan kita meninggal setelah 10 tahun bersama?”. Pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban, karena kami berdua hanya saling menghela nafas panjang dan tertawa.

Tepatnya dua hari setelah obrolan itu, teman saya mengirimkan sebuah pesan singkat di WhatsApp, “Kamu bener banget Peh tentang kehidupan setelah jam 5 sore itu….”

Ah…

Saya memiliki seorang kenalan, dia pernah berada di satu masa dimana dia “dipaksa” untuk memilih antara karir atau rumah tangganya. Karena satu dan lain hal, pada akhirnya dia memilih karir dan bercerai dengan pasangannya. Tentu saja alasannya tidak sesederhana karena faktor materi. Kompleksitas perasaan dan hubungan rumah tangga, saya pikir yang membuatnya merasa bahwa karir adalah pilihan terbaik untuk diambil pada saat itu. Hari ini, setiap kali kami bertemu, dia akan selalu bertanya apakah saya butuh ditemani atau tidak, apakah saya bisa menginap di rumah dia atau tidak, atau dia akan bercerita bagaimana dia merasa kesepian kalau anak-anaknya sedang berada di rumah mantan pasangannya. Namun diantara itu semua, hal yang paling membuat saya sedih adalah sorot matanya yang menggambarkan kelelahan atas semua beban-bebannya. Tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantunya, dan saya juga tidak memiliki banyak saran untuk hidupnya. Tapi kalau melihat bahwa jabatan dan karir yang dia miliki ternyata tidak bisa mengisi beberapa hal dalam jiwanya, saya kadang penasaran, apa yang terjadi kalau semisalnya dia memilih pilihan untuk mempertahankan rumah tangganya?

Mungkin ini yang berarti bahwa kehidupan yang sebenarnya dimulai setelah jam 5 sore.

Saya sendiri tidak bisa mendefinisikan secara jelas apa itu kehidupan setelah jam 5 sore. Penjelasan terbaik yang saya pahami terkait ini adalah, bahwa ini merupakan kehidupan yang jujur. Sebuah kehidupan yang lebih mengandalkan rasa daripada logika, melibatkan emosi manusia yang paling dalam, dan pada akhirnya menuntut pengorbanan yang tidak sedikit. Akan banyak duka dan suka, pasang dan surut di sana. Tidak ada target yang benar-benar tertulis, seperti misalnya kepastian naik jabatan atau kenaikan gaji, bahkan tidak ada tenggat waktu dan kontrak dalam kehidupan setelah jam 5 sore, semuanya murni soal rasa dan asa.

Apa hadiahnya? Kalau berhasil, menurut saya, setiap dari kita akan memiliki tempat pulang. Memiliki sebuah kehidupan yang membantu kita berkembang, bersyukur, bersabar, dan berjuang. Membuat kita lebih awas dan berhat-hati. Lalu apa jadinya kalau kita gagal, atau memutuskan untuk tidak memiliki kehidupan setelah jam 5 sore? Besar perkiraan saya, kita akan merasa terombang-ambing dan merasa ada sesuatu yang kurang lengkap. Seperti ada lubang yang harus diisi oleh entah apa.

Jujur, sayapun baru saja menyadari urgensi dari kehidupan setelah jam 5 sore ini.

Itu terjadi ketika suatu hari, seorang sahabat membutuhkan saya untuk berbagi keluh kesah. Tapi pada saat itu, saya tidak bisa berada di sisinya karena alasan pekerjaan. Kalau diingat-ingat, saya sebetulnya bisa saja menyempatkan satu atau dua jam mengunjunginya dan memberikan dukungan moral. Namun yang saya lakukan adalah meminta maaf padanya dengan alasan kesibukan. Beberapa bulan kemudian, saya yang gantian membutuhkan dia untuk membesarkan hati saya. Lalu dengan bahasa yang cukup sopan, dia sedikit “menyentil” saya, berkata bahwa sama seperti saya dulu, dia pun sedang dalam kesibukan yang tidak bisa diganggu.

Atau suatu hari, ketika saya benar-benar membutuhkan dukungan moral, yang ada dalam benak saya adalah menelfon mama. Sayapun bercerita tentang gundah gulana di hati saya dan beliau mendengarkan dengan seksama dan memberikan dukungan moral untuk saya. Padahal, jika sedang berada di dekatnya, saya lebih sering beradu argumen dan mementingkan hal lain daripada beliau.

Tersadarlah saya bahwa kehidupan setelah jam 5 sore adalah hal yang dibutuhkan manusia untuk tetap hidup dan bertahan di dunia. Namun harga yang harus dibayar untuk mendapat kehidupan setelah jam 5 sore, sungguh sangat mahal! Sederhananya, saya tidak akan bisa mendapat semua perasaan nyaman dan aman, kalau saya sendiri tidak memiliki perjuangan untuk menciptakan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan jam 5 sore itu. Dengan kata lain, ini adalah kehidupan timbal balik yang paling berfaedah, namun di sisi lain, memiliki banyak tantangan.

Banyak orang salah kaprah dengan kehidupan jam 5 sore. Beberapa terburu-buru memilikinya, hingga lupa bahwa ini membutuhkan lebih dari sekedar keinginan untuk menjadikannya berhasil. Beberapa lainnya lari menghindari ini karena merasa terlalu banyak hal yang dituntut, dan memutuskan untuk selamanya berpindah dari satu kesibukan kepada kesibukan lain. Sedangkan yang lain merasa bahwa kehidupan jam 5 sore adalah sebuah pencapaian saja, sama seperti karir.

Namun seperti yang saya katakan, kehidupan setelah jam 5 sore adalah kehidupan yang jujur. Tidak ada yang bisa menipu atau berpura-pura dalam menjalaninya. Dan karenanya, tidak semua orang dapat mengklaim telah memiliki kehidupan ini. Kita mungkin bisa saja memutuskan untuk keluar dari tempat bekerja kita karena berbagai alasan, namun semudah itukah kalau kita ingin keluar dari kehidupan setelah jam 5 sore?

Pada akhirnya, apapun perlakuan dunia pada kita, baik atau buruk, kita butuh tempat pulang. Kita semua butuh kehidupan setelah jam 5 sore, tidak peduli seberapa berat perjuangan kita untuk memilikinya.

Maka ketika saya mengganti baju kerja dengan kaos oblong dan celana tidur, memakai masker, naik ke lantai dua, dan menyapa 3 orang wanita kosan sambil membicarakan barang apa yang sedang diskon di online shop, gosip artis apa yang sedang ramai dibicarakan netizen, atau secara random nyeletuk “Kapan sih kita nikah?”, atau “main tebak lagu yuk!”, jauh di lubuk hati, saya tahu bahwa hidup saya tidak sekedar berdarmawisata.



Itu cukup, setidaknya untuk saat ini.

dia dan ketakutan-ketakutannya

Berlalu, lalu kini kau menunggu serap seram di pundakmu.
Lambat laun kan menari, kan berlari...

(Api dan Lentera - Barasuara)


Semua orang punya ketakutannya masing-masing. Ketakutan, aku pikir adalah sebuah keniscayaan dalam hidup seorang manusia. Sehingga jika dipikir lagi lebih dalam, logikanya menjadi sangat sederhana, kalau ketakutan adalah sebuah keniscayaan, kenapa kita harus takut? Toh takut atau tidaknya kita dengan ketakutan, kita akan tetap memilikinya. Mungkin cara terbaik menghadapi ketakutan justru dengan menghadapinya secara langsung.

Ini seperti berdiri di tepian jurang saat di depan kita adalah sebuah tebing yang sudah ramai didaki oleh orang-orang. Sambil berdiri, kita berpikir bagaimana caranya orang-orang itu bisa sampai di tebing itu, saat jalan satu-satunya menuju ke sana adalah dengan terjun bebas ke jurang. Kita berpikir, adakah tangga yang bisa dinaiki sesampainya di bawah? Adakah parasut yang bisa digunakan? Apakah di dasar jurang itu akan sangat gelap? Apakah ini hal yang benar untuk dilakukan?

Rasanya kita ingin berbalik arah dan menuju dataran yang lama, walau kita tahu, tidak ada apa-apa lagi yang tersisa di sana, dan kitapun tahu bahwa melangkah maju adalah hal yang harus kita lakukan. Walau ada rasa penasaran dalam jiwa kita yang mengatakan, ‘kalau orang-orang itu bisa sampai di sana, kenapa aku tidak?’, namun terjun ke jurang yang tidak memiliki kepastian, juga bukan sebuah keputusan mudah. Batas antara kita dan ketakutan yang kita miliki, pada akhirnya terletak pada keputusan kita untuk berani melompat atau tidak. Secara analogi, sesederhana itulah sebuah ketakutan.

Aku pribadi tidak pernah menganggap semua ketakutanmu sebagai hal yang berlebihan, tidak relevan, atau tidak beralasan. Ketakutanmu, sebagaimana ketakutanku atau ketakutan orang-orang lain, sah dan valid apa adanya. Kita semua bebas memiliki ketakutan, kita semua memiliki hak untuk merasa takut. Tapi dalam kasusmu, ketakutanmu itu beririsan dengan hidupku, sehingga ada bagian dari ketakutanmu yang memaksaku untuk ikut merasa takut.

Kamu sering sekali hadir, tiba-tiba, dan membawa ketakutan-ketakutan yang itu-itu lagi. Sekali lagi, aku tidak menganggap itu hal yang tidak penting, namun…. setelah sekian lama, ketakutanmu ternyata hanya berputar di situ-situ saja. Dan karena ketakutanmu berisisan dengan aku, kamu selalu bisa membawa aku merasakan ketakutanmu dan merasa bahwa memang tidak ada jalan keluar dari ketakutan itu. Kamu selalu membiarkan ketakutan itu tetap menjadi sebuah ketakutan, bahkan setelah sekian lama. Kamu selalu punya cara membuat aku merasa bahwa ketakutan itu adalah milik kita, dan karenanya aku harus merasakan ketakutan itu. Lalu kamu akan pergi dan kita akan kembali berjarak. Selalu bukan titik akhir, hanya koma panjang yang tidak berkesudahan.

Maka biarkan aku menyampaikan ini.

Aku bisa memahami kalau kamu memiliki banyak ketakutan. Hanya saja, itu bukan ketakutanku, bahkan bukan ketakutan kita. Kita memiliki irisan ketakutan yang cukup lebar, namum masing-masing dari kita memiliki ketakutan yang berbeda, jauh berbeda. Kamu mungkin berpikir aku tidak memikirkan ketakutanmu, tapi aku memikirkan ketakutanmu. Hanya saja itu bukan ketakutanku, itu ketakutanmu dan hanya kamu yang tahu bagaimana cara menghadapinya. Dan apa kamu pikir aku tidak punya ketakutanku sendiri? Tentang kita, tentang aku, tentang kamu? Aku punya, dan akupun harus menghadapinya.

Tidakkah kamu menyadari bahwa sebagian besar dari setiap ketakutan hanya bersemayam di kepala manusia? Semua ketakutan selalu bersumber pada masa depan, pada hal-hal yang belum jelas di masa yang akan datang, pada hal-hal yang belum bisa diprediksi. Manusia akan selalu takut pada hal-hal yang tidak dia kenali atau belum dia pahami, bukankah manusia selalu begitu? Maka siapapun yang merasakan ketakutan, hanya perlu diperlu dibesarkan hatinya untuk berjalan. Hanya perlu ditemani untuk melihat sesuatu agar dapat memahami lebih baik lagi. Kamu, hanya perlu sedikit bantuan.

Selama ini kita tidak pernah saling memaksa. Aku percaya kamu bisa mengatasi banyak ketakutanmu sendiri. Kamu tidak selemah itu, dan tidak sepenakut itu, itupun aku paham. Tapi demi semua waktu, dan semua pertanyaan, kamu benar-benar harus memutuskan untuk berani menghadapi ketakutanmu yang berisisan dengan aku, atau selamanya hidup dengan ketakutan itu. Kamu sudah terlalu lama berada di tepian jurang. Dan andai aku bisa, aku sudah mendorongmu masuk jurang, dan memaksamu berjalan ke depan. Jika saja aku diperbolehkan, sebetulnya aku bisa membantumu. Tapi ini kan hidupmu, kamu yang harus putuskan. 

Cukup untuk mengingatkanku soal ketakutanmu. Aku sudah lebih dari paham perkara itu. Jika kamu harus hadir lagi hanya untuk memberitahuku bahwa kamu masih memiliki ketakutan yang itu-itu lagi, tidak peduli seberapa besar perasaan yang kamu punya, aku akan membiarkan ketakutanmu memakan habis semua waktumu. 

Kecuali jika kamu bersedia menghadapinya.



Kita kan pulang dengan waktu yang terbuang dan kenangan yang berjalan bersama

Minggu, 28 Oktober 2018

Saran


Lepaskan saja, karena mengikatkan diri terlalu dekat membuat kita tidak bisa bernafas.

Lepaskan saja, karena menggenggam terlalu erat dan terlalu lama itu bentuk siksaan.

Lepaskan saja, karena kebebasan yang menanti akan menjadi hadiah.

Lepaskan saja, biar terbuka jalannya...

Lepaskan saja, sudahlah...

Lepaskan saja.


Kata mereka.


Aku menjawab, bagian mana yang harus dilepaskan? Tidak ada lagi yang masih tersisa, selain keinginan-keinginan lama dan sisa-sisa harapan. 

Ya, lepaskan itu juga.

Lalu aku bertanya, apakah masih disebut manusia, jika tidak lagi memiliki keinginan dan harapan?

Dan mereka terdiam.


Senin, 22 Oktober 2018

Ransel dan Koper

Hati dan akal pikiran itu serupa ransel dan koper. Memilih mana yang hendak kita masukan ke koper atau ke tas ransel, sama seperti memilih mana yang harus kita masukan ke hati atau ke pikiran.

Pikiran ini terbesit ketika saya selesai mengepak mengepak barang-barang di sebuah malam menjelang kepergian ke luar kota. Waktu itu saya cukup galau karena harus membawa cukup banyak barang bawaan hanya ke dalam satu tas ransel dan satu tas koper. Hampir saya menyerah dan ingin membawa satu lagi tas tentengan. Tapi mengingat saya akan berpergian sendirian, tentulah tidak praktis jika membawa tiga tas, sedangkan tangan saya hanya dua. Maka saya memilih untuk menggunakan tas koper yang lebih besar dari yang biasa saya gunakan, dan satu tas ransel. Setelah proses pengepakan yang cukup lama, akhirnya semua barang-barang itu masuk dalam satu tas koper yang akan dimasukan ke dalam bagasi, dan satu tas ransel yang akan saya bawa ke dalam kabin pesawat. Hap!

Menjelang tidur, saya pandangi ransel dan koper itu, dan saat itulah pikiran tentang analogi hati dan pikiran menyelinap masuk.

Jika diibaratkan, masalah hidup sama seperti barang bawaan. Kadang banyak, kadang sedikit. Kadang penting, kadang tidak penting. Dan ibaratkan kita hanya memiliki satu tas koper dan satu tas ransel, maka memisahkan mana yang harus dibawa dan mana yang akan dimasukan ke koper atau ransel, serupa dengan proses pengambilan keputusan.

Semua yang pernah berpergian pasti tahu, dengan muatan tas ransel yang terbatas, barang-barang yang akan dimaksukan kedalamnya adalah hal-hal penting, yang sewaktu-waktu kita butuhkan, seperti dompet, buku bacaan, jaket, atau alat elektronik. Maka serupa akal manusia, seterbatas itulah kapasitasnya. Akal manusia tidak akan mampu menampung lebih banyak hal, dari selain yang kita ijinkan.

Akal manusia hanya mampu merekam hal-hal yang pernah kita alami, dan tidak akan sanggup membayangkan apa yang belum pernah terjadi. Kapasitas akal manusia hanya akan mengingat hal-hal yang pernah kita alami, baik dari pengalaman sendiri atau dari sumber lain seperti bacaan, lagu, film, atau cerita orang lain. Selebihnya, akal manusia tidak akan sanggup menanggungnya.

Katakanlah dalam pengalaman kita melakukan perjalanan menggunakan pesawat, kita pernah merasa kedinginan, maka dalam penerbangan selanjutnya, kita akan membawa jaket dalam tas ransel kita. Sama halnya dengan pikiran. Saat masalah datang, akal pikiran hanya sanggup memberikan penyelesaian sebatas dari apa yang pernah kita alami. Memberikan gambaran rasa sakit, atau sedih, hingga estimasi waktu kita akan pulih, dari pengalaman kita sebelumnya, atau dari hasil mendengar cerita atau membaca atau menonton.

Lalu apa jadinya jika kita seketika mengalami hal yang belum pernah kita alami sebelumnya? Jika kita belum pernah kehilangan orang yang paling kita sayangi sebelumnya misalnya, atau benda yang paling kita jaga tetiba hilang dan itu adalah kali pertama? Bagaimana akal menanggung semuan itu? Oh…. menurut saya sih, akal tidak akan sanggup. Bersender pada akal saat mengalami masalah berat, hanya akan membuat kita semakin nelangsa.

Mari kita beralih ke koper, dengan muatan besar tapi tersimpan di bagasi. Apa isi koper kita saat berpergian? Saya selalu mengisi koper dengan hal-hal yang saya butuhkan selama saya di daerah atau di lokasi tujuan. Mulai dai pakaian dalam hingga sepatu lari, semuanya saya simpan di koper.

Sebesar-besarnya tas ransel yang kita miliki, pasti akan ada koper dengan muatan yang lebih besar. Jadi jika dalam sebuah perjalanan, kita hanya boleh membawa satu tas ransel dan satu koper, maka yang mungkin untuk dibesarkan kapasitasnya adalah koper.

Sama seperti saya yang akhirnya memilih koper yang lebih besar, untuk barang-barang saya yang banyak. Hati manusia juga punya kelenturan luar biasa untuk melihat masalah. Hanya hati yang punya keyakinan tanpa batas, saat pikiran justru buta dan tidak melihat solusinya. Hanya hati yang punya kesabaran yang luas, saat pikiran menjadi begitu sempit melihat. Hanya hati yang sanggup menampung semua keterkejutan dari masalah yang tetiba datang, saat pikiran justru berubah sebegitu kalutnya. Hanya hati yang bisa.

Maka jika tetiba kita mendapatkan banyak masalah, atau hidup membuat kita terkejut dengan hal-hal buruk yang menimpa, maka luaskan hatinya, lebarkan hatinya, dan sejenak… berhentilah berfikir. Kita semua butuh tenang, sebelum berfikir.

Hanya hati yang sanggup, dan itulah mengapa keyakinan itu bersumber di hati, bukan? Keyakinan akan semua hal, bersumber pada hati, bukan pada akal. Bukankah dari jaman ke jaman, semua jawaban itu berawal dari hati, dan kita disarankan untuk mendengarkan kata hati?

Maka begitulah analogi satu tas ransel dan satu tas koper. Kapanpun kita mempunyai masalah yang besar, oh ataupun ketika kita memiliki keinginan yang besar, yang seakan tidak masuk akal, maka lenturkan saja hati kita untuk sanggup menampung itu semua. Milikilah keyakinan dalam hati, Karena memikirkan itu semua dan menyerahkan pada akal pikiran, percayalah akal manusia tidak akan sanggup.


Minggu, 21 Oktober 2018

Memakan Tempat

Walau belum pernah membaca hasil riset atau kajian tentang bagaimana sebuah tempat dapat membantu seseorang berdamai dengan masa lalunya, tapi setidaknya hal itu berlaku bagi saya.

Hal ini saya rasakan pertama kali dengan tempat yang juga sebuah ibukota Sulawesi Selatan, Makassar. Hubungan saya dengan Makassar sempat memburuk saat saya masih SMP. Bahkan saat SD, setiap kali mendengar kata Makassar atau Ujung Pandang disebut, saya pasti keringatan, ketakutan panjang, dan rasanya ingin marah. Tapi karena saat itu masih SD, emosi saya pastilah dianggap tidak valid.

Ketakutan saya bersumber dari “keharusan” saya melanjutkan SMP di Makassar. Mengapa harus? Itu juga yang sampai sekarang masih menjadi misteri. Intinya dari yang tadinya berada di jogja, karena satu dan lain hal, saya harus pindah ke Makassar. Saat kejadian itu benar-benar terlaksana, saya benar-benar pindah ke Makassar dan akhirnya menjalani masa-masa SMP saya di sana, Makassar bagi saya seperti sebuah ruangan sempit yang kotor, bau, banyak coretan, dan tidak ada sinar mataharinya. Sumpek. Untuk bertahan selama 3 tahun, bukan hal yang mudah untuk saya. Banyak kejadian yang saya alami selama saya berada di Makassar, dan beberapa diantaranya menjadi titik terrendah yang saya alami sepanjang hidup saya. Walau saya mampu mengenang manis-manisnya Makassar lewat makanan dan persahabatan saya dengan 2 orang teman SMP saya, tapi selebihnya, Makassar sungguh traumatis, baik untuk dikenang, maupun untuk diulang.

Setelah lulus SMP, saya kembali ke Jogja dengan mengubur dalam-dalam semua hal tentang Makassar. Kalau ada yang bercerita tentang Makassar atau bertanya tentang masa-masa SMP, ekspresi saya pasti langsung berubah dan membuat saya terdiam. Rasanya hanya dengan mendengar kata Makassar kembali disebut, sudah cukup bikin ingatan saya melayang pada masa-masa SD di mana keputusan soal pindah ke Makassar itu dibuat, dan tentu saja… masa-masa saat menjalaninya selama 3 tahun. Makassar manjadi sebuah ingatan yang tidak pernah ingin saya kulik-kulik lagi.

Hingga 7 tahun berlalu sejak kepulangan saya ke Jogja…. ada sebuah kejadian yang mengharuskan saya kembali ke Makassar. Dan epiknya, itu kejadian sedih karena ada seseorang yang berpulang. Pikiran saya berkecamuk saat itu, entah karena saya akan kembali ke Makassar, atau karena harus menghadapi berita kematian. Yang jelas, saya ingat betapa saya, di dini hari, di bandara Soekarno Hatta, Jakarta, duduk sendiri di ruang tunggu pesawat, dan hanya memasang pandangan kosong. Saya bingung, saya takut.

Tiba di Makassar saat itu, selain disibukan dengan manata hati dalam serangkaian agenda kematian, saya melihat Makassar dengan tatapan yang berbeda. Tatapan dari pribadi yang sudah mengalami banyak hal selama 7 tahun. Selama di sana, saya memberanikan diri untuk pergi ke tempat-tempat yang memiliki riwayat traumatis bagi saya. Walau pada akhirnya saya hanya mampu terdiam dan mencoba mengingat apa yang terjadi pada diri saya 7 tahun yang lalu, tapi setidaknya saya menghadapi luka-luka dan ingatan buruk itu secara langsung. Semacam duel dengan diri sendiri. Ada satu tempat di Makassar, yang membuat saya ingin bertemu diri saya 7 tahun lalu, dan memberikan semacam pelukan hangat, dan mengatakan bahwa hidup saya akan baik-baik saja, bahwa saya hanya harus bertahan sedikit lagi.

Kenyataan bahwa saya sanggup menghadapi ketakutan demi ketakutan di masa lalu, pun membuat saya kaget (dan kagum). Dengan hati yang lebih kuat dan dengan pribadi baru yang lebih matang, saya bersedia untuk melihat semua hal yang pernah membuat saya trauma. Hingga saat kembali ke Jogja, saya tidak sadar bahwa ada bagian dari Makassar yang tadinya terluka, perlahan sembuh. Ada bagian dari diri saya, yang tidak lagi menganggap Makassar sebagai sebuah trauma. Ada bagian dari diri saya, yang menjadi enteng saat mengingat Makassar.

Tahun 2017, kurang lebih 4 tahun setelah kunjungan pertama saya ke Makassar, saya kembali ke datang ke Makassar, dan kali ini dalam rangka jelajah Sulawesi. Makassar adalah kota terkahir yang saya kunjungi bersama sahabat saya, Najiyah Nana. Walau Makassar masih tetap mengingatkan saya akan kenangatan buruk selama SMP dan SD, tapi bedanya, saya tidak lagi merasa buruk dengan itu semua. Bermodalkan pribadi yang lebih baru lagi, saya dengan berani kembali mengunjungi tempat-tempat ‘angker’ bagi saya selama SMP. Saya menghadapi trauma demi trauma dengan elegan. Kurang lebih seminggu di Makassar, saat berada di Bandara Hasasanudin menuju kepulangan saya ke Jogja, saya merasa bahwa luka-luka selama di Makassar saat SMP sudah semakin kering. Saya lebih mudah menerima Makassar sebagai bentuk masa lalu yang menjadikan diri saya seperti hari ini.

Di akhir tahun 2017, karena alasan pekerjaan, saya kembali ke Makassar. Tidak tanggung-tanggung, saya bahkan bolak-balik Makassar-Jakarta selama 4 kali dalam kurun waktu 1 bulan. Menariknya, Makassar tidak hanya memberikan saya sebuah pengalaman indah yang baru, tapi saya benar-benar bisa berdamai dengan Makassar serta semua yang pernah terjadi di tahun 2003, saat saya masih SMP. Yaaa… tidak benar-benar semuanya terobati sih… tapi luka yang memang sudah kering, kini hanya tinggal bekas dan tidak lagi mengganggu saya. Makassar tidak lagi menyeramkan, dan bahkan saya berniat mengunjunginya secara rutin.

Saya pikir semua orang akan mengakui bahwa sebuah tempat hanyalah asosiasi dari kejadian yang pernah menimpa kita. Hingga akhirnya otak kita mengaitkan tempat itu dengan sesuatu, baik itu pengalaman menyenangkan atau menyedihkan. Ya… hitung-hitung semua tempat memiliki potensi untuk menjadi monumen pribadi bagi kita. Mulai dari warung pecel hingga tempat elit, jika sesuatu pernah terjadi di situ, maka otak akan mencatat dan hati akan mengenang.

Hal yang sama kini berulang dengan Jakarta. Walau tidak semua tempat di Jakarta memiliki kenangan magis bagi saya, tapi kawasan Menteng dan Jalan Sabang adalah 2 diantaranya. Sama seperti Makassar, beberapa tempat di Jakarta mampu membuat saya diam dan menghela nafas panjang. Seperti ada sesak yang entah apa, hanya dari sekedar lewat di beberapa sudut jalan-jalan tersebut. 

Di sebuah malam di Bulan April sejak kepindahan (sementara) saya ke Jakarta, misalnya, saya bertemu dengan seorang teman di KFC Cikini. Itulah kali pertama saya ke Cikini sejak kepindahan saya tahun ini, dan otak saya seketika memutar sebuah kejadian, dan jahatnya menarik hati saya untuk mengingat. Alhasil, malam itu saya pulang ke kos, dan sedu sedan menangis. Oh… Betapa magisnya sebuah tempat bisa menarik saya pada kenangan demi kenangan.

Pun ketika saya melihat kembali salah satu Mall di Jakarta Barat, ada perasaan yang mau meledak karena pikiran saya memaksa saya untuk mengingat apa yang pernah terjadi. Bahkan di bulan-bulan awal ketika saya pindah (tidak tetap) ke Jakarta, dengan tempat tinggal di Rawasari dan kantor di Thamrin, saya seperti dipaksa untuk kembali mengingat apa yang terjadi sepanjang 2 atau 3 tahun terakhir ini. Tapi sebagaimana Makassar, tempat-tempat itu akhirnya diisi dengan pengalaman dan perasaan yang baru, dan lama kelamaan, luka-luka yang tadinya basah, mengering dengan sendirinya. Sudut-sudut Jakarta yang tadinya memiliki kenangan, menjadi bias. Tempat-tempat itu perlahan kehilangan daya magisnya. Pada akhirnya, saya berdamai dengan semua kenangan dan harapan.

Maka itulah yang saya rasakan, bahwa jika sebuah tempat berpotensi membangkitkan kenangan atau perasaan yang tidak menyenangkan, maka cara terbaik agar bisa berdamai dengan itu semua adalah dengan mengunjunginya lagi, dan lagi, dan lagi hingga tempat itu menjadi sekedar tempat. Hingga kita tidak lagi merasa terseret dengan kenangan-kenangan di tempat itu.

Tapi sebaliknya, jika kita menginginkan sebuah tempat tetap memiliki kenangan yang sama dengan apa yang pernah menimpa kita, maka mengunjunginya hanya akan membuat kenangan itu terkikis. Setidaknya itu yang saya rasakan sejauh ini. Untuk itu, ada beberapa tempat yang sengaja tidak akan saya kunjungi, kecuali sedemikian terpaksanya. Saya hanya ingin menjaga kenangan itu agar tidak hilang dan tetap ada di tempatnya. Agar saya ingat bahwa sesuatu pernah terjadi di tempat itu, dan membiarkan hati dan akal saya mengingatnya serupa dengan kejadian aslinya. Agar saya tidak mempunyai kenangan baru yang dapat menggantikan kenangan lama. Dan agar saya ingat bahwa kenangan di tempat itulah, satu-satunya yang kini tersisa. 

Satu diantara banyak tempat yang akan saya jaga kenangannya adalah Metropole. 


Senin, 16 Juli 2018

Tidak semua orang suka buah durian, dan itu wajar

Ketidakpuasan adalah hal yang baik. Tidak melulu hal-hal seperti 'tidak puas', 'tidak suka', atau 'kurang sreg' pada suatu hal harus dikaitkan dengan ketamakan, kerakusan, atau ekstrimnya sikap kurang bersyukur.

Hal ini saya sadari dari seringnya saya mendengar beberapa teman bercerita tentang hidupnya menggunakan kalimat: "Bukannya engga bersyukur nih... tapi....". Entah karena mereka ingin melembutkan materi keluhan mereka, atau memang konsep 'tidak bersyukur' dan 'hal-hal yang tidak kita sukai' hakikatnya adalah dua hal yang berbeda.

Teman saya misalnya, sudah menikah 2 tahun dan belum diberikan momongan. Dalam kasusnya, menunggu datangnya momongan adalah hal yang tidak menyenangkan, karena berbeda dengan saya yang tidak terlalu menyukai anak kecil, dia ini begitu cinta dengan anak-anak, sehingga dia merasa hidupnya akan lebih sempurna jika ada seorang anak dalam rumah tangganya. Tapi toh dia tetap bisa menikmati rumah tangganya dengan baik. Dari dia saya belajar bahwa menikmati hidup bukan berarti kita harus berpura-pura suka terhadap kejadian menyebalkan yang sedang mampir dalam hidup kita. Sebagai manusia, tentulah wajar jika kita mengeluh atau berkata dengan lantang bahwa kita tidak menyukai kondisi di mana kita merasa sedih atau sesak. Selama kita bersedia merubah keadaannya, saya pikir kita boleh-boleh saja mengatakan ketidaksukaan kita. Kecuali jika kita tidak melakukan apa-apa dan hanya bisa mengeluh sepanjang hari, kalau itu yang terjadi, barulah itu yang  dinamakan 'kurang bersyukur'.

Pun saya. 

Di akhir bulan Juni lalu, saya pergi ke Lombok. Itu adalah kunjungan ke Lombok setelah kunjungan terakhir saya di akhir tahun 2016. Dalam perjalanan dari Bandar Udara International Lombok menuju hotel, saya begitu menikmati sensasi denyutan jantung yang terhibur karena akhirnya bisa lepas dari Ibukota selama beberapa hari. Melihat langit Lombok yang cerah, merasakan lagi deburan ombak pantainya, hingga makan plecing kangkungnya yang mahsyur itu, membuat saya tersadar betapa tidak sukanya saya akan beberapa hal yang sedang saya alami di Ibukota. Perjalanan singkat saya ke Lombok mampu membuat saya kembali berharap agar saya bisa lebih banyak menghabiskan waktu di daerah-daerah ketimbang berada dalam kantor hampir setiap hari. Tapi jangan salah sangka dulu, bukan berarti saya tidak bersyukur dengan apa yang sedang saya alami saat ini, yaitu berada di Ibukota dan menjalani semua aktivitasnya. Hanya saja, saya harus mengatakan bahwa walau tidak semua hal berjalan dengan buruk, tapi ada beberapa bagian yang... yang kurang saya sukai. 

Saya merasa lebih mengenal diri saya lebih baik lagi saat ini. Saya kini lebih tahu, pada hal-hal mana  saja yang ingin saya kejar dan mana yang ingin saya tinggalkan, apa yang ingin saya tuju dan apa yang ingin saya abaikan, apa yang membuat saya bahagia dan apa yang membuat saya nelangsa. Dan itu semua berawal dari rasa tidak puas dan tidak suka. Perasaan tidak suka dan tidak puaslah yang mendorong saya berusaha lebih keras untuk mencari tahu dan akhirnya berjuang untuk bertahan pada hal-hal yang telah menjadi jalan saya. Karena saya percaya bahwa 'suka' dan 'bisa' adalah dua hal yang jauh berbeda. Kita bisa saja mengerjakan sesuatu hal dengan paripurna, tanpa harus kita sukai. Yaa... paling-paling jiwa kita nanti yang akan mati pelan-pelan.

Untuk itu saya akan menghargai perasaan dan jiwa saya jika mereka merasa tidak nyaman, tidak puas, atau tidak suka akan sesuatu hal. Bagi saya itu adalah sebuah sinyal paling lembut sekaligus paling kuat bahwa saya harus mencari hal lain, atau kembali pada hal lain yang telah menjadi jalan saya. Tentu ini berbeda dengan berada dalam zona nyaman atau takut menghadapi tantangan. Saya pikir, jiwa kita bisa membedakan dengan sangat baik mana hal-hal yang secara alami kita tidak suka, dan mana hal-hal yang walaupun sulit medannya, tapi kita tahu kita harus berjuang. Tidak ada yang harus dipaksa, toh hidup juga bukan tentang paksaan. Hidup itu tentang pilihan. Sama seperti pilihan memakan buah durian, kalau tidak suka, ya pilih saja buah pisang.


It is a good thing to dislike something, that is how Universe tries to lead you into your own path.

Kamis, 12 Juli 2018

25 Juni 2018

Saya baru genap merayakan ulang tahun saya yang ke 27 tahun bulan lalu. Sedikit berbeda dari biasanya, kali ini saya merayakannya di Jakarta, dengan status baru saya sebagai penghuni tidak tetap Jakarta. 

Sedikit banyak, saya cukup tercengang dengan cepatnya saya berlari dari satu tahapan ke tahapan lainnya dalam hidup, sekaligus membuat saya merenung tentang capaian apa yang sudah saya lakukan sejauh ini. Tetapi merenungkan tentang apa yang sudah saya lakukan sebagai seorang manusia di hari ulang tahun ternyata bukanlah ide yang bagus. Ya tentu saja bukan ide yang bagus, karena di hari ulang tahun, seharusnya bukan kontemplasi yang dilakukan, tetapi melakukan perayaan dengan diri sendiri. Merayakan semua keajaiban, karena setelah sekian banyak hal yang saya lalui terhitung ulang tahun di tahun lalu, saya masih hidup, sehat, dan cantik. Yeay, alhamdulilah!

Di usia baru ini, saya lebih suka melihat dunia ini dengan imbang. Menyadari bahwa jika satu bagian dari hidup saya tidak berjalan dengan baik, bukan berarti secara keseluruhan hidup saya ambruk. Saya lebih suka melihat bahwa hidup saya, dalam fase apapun akan selalu punya skenario yang tidak menyenangkan, tapi di satu sisi juga punya skenario yang menyenangkan. Berjalan dengan seseimbang itu. Mencoba menerima dengan lapang dada pada hal-hal yang belum bisa saya gapai, entah itu mimpi yang kandas, harapan yang tidak jelas arah tujuannya, atau kepahitan-kepahitan hidup yang selalu datang. Tetapi di satu sisi, saya menerima dengan syukur karena hidup saya berjalan dengan sangat teratur di porosnya. Poros yang mengantarkan saya mencoba hal-hal menarik yang belum pernah saya coba. Mendapatkan banyak kebaikan-kebaikan dari manusia baik yang ada di sekeliling saya sekarang. Hingga merasakan banyak adrenalin baru.

Tidak semua hal harus terjadi sekarang juga, setidaknya itu yang sedang saya pelajari sekarang. Selayaknya magrib yang tidak akan pernah terlambat, semua harap dan mimpi juga akan sampai di waktu yang tepat. Maka tepatlah jika saya meminta agar saya selalu menjadi orang yang sabar, dan tidak mudah digoyahkan, baik oleh prasangka orang, atau oleh pesimistis diri sendiri.

Selamat ulang tahun, anak cantik!



PS: Tepat di tanggal 25 Juni 2018, saya mau mengucapkan terimakasih kepada manusia-manusia terkasih.

1) Mama yang selalu berdoa tanpa putus-putus buatku;
2) Geng Kosan (Icha, Yuni, Putri, Upik), yang bela-belain bikin surprise party dan ngasih kado yang lucu banget;
3) Thalia dan Yarra Regita yang menyediakan waktunya untuk ketemuan dan ngasih kado-kado lucu;
4) Titiw Hidayatiw yang walaupun telat, tetep punya bingkisan menarik;
5) Teman-teman baru aku di lantai 9 yang kasih selamat di pagi hari.

Semoga kalian selalu dalam lindungan Allah SWT.

Cheers,
Alifah!

Kamis, 08 Februari 2018

Merah

Masih pagi saat itu, dan telefonku berbunyi. Dia berkata, "Aku belum tidur. Aku baru aja ngasih makan arwah leluhurku".

Dan aku tertawa. Tidak paham.

Sudah malam saat itu, saat telepon tidak juga tertutup dan suara petasan di kelentengnya terdengar jelas. Aku berkata, "Aku mau ah, foto pakai baju merah".

Dan dia tertawa. Tidak paham.



Kita pernah tenggelam dalam ketidakpahaman, lalu larut dalam ketidakmengertian.



Sabtu, 20 Januari 2018

Tidaklah berdusta semua bisikan jiwamu saat malam

Aku percaya bahwa saat malam dan tengah malam tiba, jiwa manusia bisa menjadi sejujur itu. Menjadi nyata, terang, dan jelas. Hanya malam yang tahu, penuh dan kosongnya sebuah jiwa, hingga tak mungkin lagi bisa mengelak. Dia bisa mengingat apa yang seharusnya, memanggil apa yang sudah semestinya, dan mencari apa yang dimauinya. 

Mungkin itu menjelaskan mengapa malam bisa menjadi sangat panjang, saat sebuah jiwa sedang berantakan. Mungkin itu juga menjadi alasan, mengapa langit terbuka dan menangkap semua harapan saat malam.

Mungkin malam memang sengaja dicipta, agar semua jiwa-jiwa punya pikiran yang jernih tentang apa yang dia mau, dan siapa yang dia rindu. 


Tentang Kabar

Dia pernah datang padaku, berdarah dan terluka. Hampir sekarat.
Di tengah semua kebingungan, aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang bisa aku lakukan, atau apa yang sebenarnya dia butuhkan.

Tapi karena dia sudah datang, walau tidak begitu jelas apa maksudnya, maka aku mencoba merawat sebisanya.

Saat kini, tidak banyak yang aku tahu tentangnya, aku kadang bertanya-tanya, apakah dia masih sekarat? Apakah lukanya benar-benar pulih?


© RIWAYAT
Maira Gall